Judul Buku: Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan; Penulis: Mumu Aloha; Penerbit: Diva Press, Januari 2023; Tebal: 266 halaman
"Obrolan tentang kucing kamu anggap receh? Kucing itu makhluk hidup, dan kehidupan kamu anggap receh?"
Saya agak kesulitan memaknai komentar kawan saya itu, saat saya mengatakan bahwa saya sangat terkesan berbincang dengannya meski kami hanya mengobrol receh saja. Entah dia sekadar berkelakar atau sungguh-sungguh sedang menegur saya, yang jelas saya merasa begitu tertampar dengan kalimatnya tadi. Saya jadi merasa betapa jemawanya saya hingga menganggap pembicaraan tentang kucing adalah hal yang remeh-temeh, hanya karena kebetulan saya terlahir dan menjalani takdir sebagai manusia.
Buku Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan ini pun lagi-lagi menampar saya. Melalui empat puluh lima esainya, Mumu Aloha banyak bercerita tentang hal-hal sederhana seperti kucing di pinggir jalan, anjing-anjing yang meninggalkan seringainya, kalkun, dan burung layang-layang. Terutama kucing, setidaknya ada beberapa esainya yang menyinggung-nyinggung perihal makhluk mungil berbulu itu. Dari mulai membicarakan hidup mereka yang sekadar mengalir saja, sampai menyoroti soal privilese yang nyatanya bukan milik manusia semata.
Hingga tanpa sadar saya bergumam: "Astaga...Hanya dengan melihat kucing jalanan saja sudah langsung bisa dieksekusi menjadi sebuah esai reflektif."
Namun sesaat kemudian saya kembali tersadar, betapa pongahnya diri ini yang lagi-lagi menganggap kucing sebagai urusan yang seolah tidak penting. Padahal manusia juga tak ubahnya seperti seonggok daging bernapas yang kelak ketika ruh meninggalkan jasad, keberadaannya pun tidak lebih dari sekadar jadi santapan belatung. Lalu apa lagi yang membuat manusia seakan merasa lebih segalanya dibanding makhluk lainnya?
***
Meresapi esai Menyelamatkan Burung Layang-Layang kurang lebihnya sama seperti yang dirasakan penulis saat membaca karya fiksi yang menggabungkan sains dan hiburan dengan latar sejarah. Jika sejarah umat manusia dipenuhi berbagai peristiwa tragis, dan pencapaian peradaban pun hanya menghasilkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi, maka ke mana lagi kita hendak berharap, kalau bukan kepada imajinasi yang tiada batas?
Ya, imajinasi yang punya jangkauan luas tidak hanya menjadi pelarian dari masalah kehidupan kita sehari-hari, lebih dari itu juga membangkitkan energi mental dan rangsangan kreatif untuk senantiasa memikirkan kembali banyak hal. Merenungkan seperti apa yang direnungkan Mike Evans dalam novel Trisurya tentang mengapa hanya manusia yang perlu diselamatkan? Mengapa menyelamatkan spesies lain dianggap tidak penting? Siapa yang menempatkan manusia setinggi itu?
Tidak, manusia tidak perlu diselamatkan. Manusia bahkan sudah hidup lebih baik daripada yang seharusnya. Kita hanya perlu diam sejenak, membersihkan hati dan pikiran untuk diisi kembali dengan ide-ide yang mampu memberi sentuhan kebaikan bagi kehidupan.
***
Di esai yang berjudul Memprediksi yang Tak Terprediksi, penulis menguliti sebagian dari kita yang menurutnya tak jauh beda dengan sekelompok kalkun yang terkecoh oleh sebuah pola karena terlanjur menganggapnya sebagai kebenaran mutlak. Sehingga tidak siap menyambut kenyataan bahwa kehidupan bisa berubah kapan saja, lantas memandang dengan tatapan penuh prasangka saat mendapati anak muda zaman sekarang yang 'berbeda' dengan generasi dulu.
Ia menuturkan bahwa generasi muda kini memang terkesan kurang 'heroik', minim jargon dan narasi-narasi besar dalam menyuarakan kepedulian pada isu-isu yang menyangkut masa depan kehidupan privat warga negara dan hak-hak demokratisnya. Sebab mereka mengolah kosa kata dari dunia keseharian mereka sendiri yang ringan, polos, lucu, dan autentik. Kemudian mereproduksinya sebagai bentuk suara perlawanan, sebuah aspirasi politik yang meski sekilas terlihat main-main, dangkal, dan tidak menukik, namun bukan berarti sama sekali tidak paham substansi.
***
Ngomong-ngomong, esai Mencintai yang Serba Sementara benar-benar mengungkit-ungkit kenangan manis masa kecil saya bersama almarhum bapak dan ibu. Alhasil, saya jadi baper. Tapi konon, tidak ada yang perlu kita dekap erat. Sebab, yang akan lepas selalu punya jalan untuk terlepas dan yang kita cari seringkali bisa kita temui secara tak disangka-sangka. Maka yang telah berlalu cukuplah menjadi kenangan karena apa yang kita punya hari ini, itu adalah segalanya, bukan yang tersisa.
***
Ilmu bisa datang dari mana saja, bahkan dari hal-hal kecil di sekitar kita yang seringkali luput dari pengamatan kita. Seperti desir angin dan rintik hujan pun terkadang mampu menginspirasi, menumbuhkan tunas-tunas ide yang akhirnya mekar menjadi asas-asas besar dan hal-hal ajaib lain yang sulit dicari padanannya.
Pendek kata, di dalam buku setebal dua ratus enam puluh enam halaman ini terangkum banyak sekali kisah inspiratif yang menarik, yang meski tidak semuanya bisa saya sepakati namun justru di situlah letak keseruannya. Sudut pandang jadi lebih berwarna, tidak tunggal belaka.
Dengan melahap kumpulan esai analisis-reflektif terbitan Diva Press ini, segala sesuatu yang tadinya di mata kita tampak biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi penuh makna. Dan mungkin, kelak kita takkan pernah lagi memandang remeh pada hal-hal yang sekilas terlihat sepele serupa kucing, kalkun, atau burung layang-layang. Karena setiap kehidupan bernilai sama, semua spesies di muka bumi ini setara.
Syukur-syukur bisa memberi kita inspirasi untuk menjadi juru selamat, walau hanya bagi seekor kucing liar yang tersuruk-suruk mengais makanan di tempat sampah. Jika ada lebih banyak orang seperti itu, bahkan sedikit saja, barangkali dunia akan berbeda.
Di sela desir angin dan rintik hujan, saya menuntaskan lembar demi lembar kitab ilmu ini sembari menikmati secangkir teh hangat. Ya, nikmat. Dan benar saja, tatkala menghirup wangi aroma tehnya, menuang, dan menyesapnya, itu adalah saat-saat magis di mana secercah keabadian tiba-tiba hadir menginterupsi waktu.
Miki Loro Mayangsari ibu dua anak, tinggal di Surabaya
(mmu/mmu)