Salah satu hal yang dituding sebagai biang keladi jatuhnya demokrasi Indonesia adalah menguatnya kekuatan populisme kanan yang dimobilisasi oleh figur-figur elite. Ini tampak dalam ragam agenda yang berupaya membangunkan kembali mood otoritarian, misalnya, lewat pengesahan KUHP atau penahanan para aktivis kritis, juga retorika dan ceramah-ceramah yang menyesatkan.
Sebelumnya, secara beruntun lema politik kita diisi oleh sentimen intoleransi, pembelahan sosial akut, beserta narasi-narasi konspiratif yang begitu khas sebagai ciri utama kekuatan kelompok kanan. Namun demikian, ketika arus utama riset-riset politik hari ini tersedot pada pemeriksaan kebangkitan sayap kanan populis (right wing populism) di Indonesia, di manakah letak kelompok kiri?
Mengapakah kekuatan kelompok kanan, yang sering diasosiasikan sebagai kombinasi mematikan antara retorika konservatisme dan agenda otoritarianisme, dibaca semata-mata sebagai gejala degradasi demokrasi? Mengapa ia tak lagi ditafsir sebagai pertanda betapa lemahnya kekuatan yang diharapkan sebagai penyeimbang, yakni kiri, yang bertumpu pada narasi besar keadilan sosial, progresivitas demokrasi, dan anti-diskriminasi?
Pertanyaan ini mengambang di antara derasnya perdebatan ihwal bertumbuhnya kekuatan populisme kanan sebagai tren dalam vokabulari politik yang relatif baru. Ada keengganan dalam meletakkan soal sebagai pertama-tama masalah ideologis. Lebih menarik bagi kita semua adalah telaah atas akibat-akibat aktual yang tampak di depan mata. Apakah sebegitu tak menariknya memeriksa "kiri" sebagai kekuatan alternatif atas buntunya situasi demokrasi elitis kita hari ini?
Terkucil
Kendati berkali-kali diramal bangkrut, Morris (2022) justru mencatat bangkitnya kekuatan dan narasi kiri secara global. Beberapa negara seperti Inggris, Macedonia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Latin menunjukkan relevansi aktor dan kelompok-kelompok kiri dalam merespons krisis ekonomi politik. Narasi anti-kapitalisme berbunyi nyaring dalam menunjukkan kegagalan sistemik sistem ekonomi liberal yang menyeret seluruh elemen negara ke kubang krisis.
Di Inggris, kelompok feminis kiri dengan keras melawan kebijakan partai konservatif kanan berkuasa yang memutuskan untuk memotong dana pendampingan para korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violences). Gerakan-gerakan ini bertopang pada kesadaran ideologis bahwa konservatisme sulit hidup mesra dengan demokrasiβseolah-olah keduanya mengandung antitesis abadi atas satu sama lain.
Pada konteks Indonesia, seluruh asosiasi makna menyangkut istilah "kiri" telanjur mengalami pengucilan besar-besaran, apalagi dalam lanskap sejarah politik kita. Semua kritik yang dialamatkan pada rezim harus nir-kiri, tak boleh mengandung perlambang dan asosiasi apapun yang membawa orang mengingat ke-kiri-an dalam nuansanya yang traumatik. Meski diajarkan dalam semua departemen politik di universitas di Indonesia, piranti teori kiri sangat jarang muncul dalam wacana-wacana terdepan.
Tren terbaru justru membawa kita pada penyederhanaan akut atas realitas politik dengan cara memberi tempat besar-besaran bagi survei-survei politik yang mengukur elektabilitas kandidat. Keriuhan ini membelakangi fakta bahwa kuantifikasi politik lewat survei a la kuda pacu semakin menjauhkan orang dari pemahaman yang mendalam atas problematika hari ini.
Bagaimana kita mengetahui peta ekonomi-politik para oligark di lingkaran kekuasaan tanpa basis-basis dan fondasi teoretik yang dipinjam dari buku-buku yang telanjur dicibir sebagai kiri? Bagaimana kita mendeteksi kemiskinan struktural atau krisis ekologi yang disumbang oleh peraturan-peraturan predatoris dan peran elite, atau menganalisis peran aktif para elite yang menyembunyikan kepentingannya di balik nilai-nilai moral dan agama?
Analisis elite dan kelas politik, analisis propaganda media, atau studi mengenai budaya marjinal, adalah sedikit wilayah yang semakin tak populer di tengah arus konservatisme. Beberapa sumbangsih penting kelompok kiri adalah menyediakan pisau analitik untuk membaca soal-soal itu.
Menghilangkan terminologi kiri berikut seluruh afiliasi ideologis kiri, dengan demikian, berhasil memukul mundur kita karena dua hal mendasar. Pertama, dengan bertahun-tahun menghindari, atau pura-pura tak tahu, tentang relevansi dan pengembangan lebih lanjut teori kiri, kita secara langsung telah memberi napas panjang bagi propaganda anti-kiri sebagaimana rezim dikerjakan Orde Baru.
Kiri dianggap sebagai hantu yang harus diusir sehabis-habisnya tanpa kecuali. Ia harus diasosiasikan sebagai problema historis yang mengancam nasionalisme, sebuah kekuatan yang bergentayangan dan tak henti-henti melabrak agama. Akibatnya, hingga kini kita masih sering membaca laporan bagaimana elite dengan mudah mengeksploitasi narasi anti-kiri dan antikomunisme untuk menuding kelompok-kelompok kritis, sekaligus menjual sekali lagi memori kelam 1965 sebagai bahan baku kampanye politik.
Kedua, munculnya kegagapan fondasi teoretik pada ranah politik praktis sekaligus akademik. Menguatnya konservatisme politik dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bukan saja pada diamnya mayoritas akademia, melainkan juga menunjukkan kegamangan bersikap: apa yang dapat dikerjakan dalam mengimbangi, jika bukan melawan, gelombang besar politik identitas.
Sementara itu, di antara aktor-aktor politik oposisi nyaris tidak ada idealisme yang tegak yang memandu perlawanan atas soal-soal di depan mata. Bahkan yang terjadi jauh dari yang diharapkan: jatuhnya semua elemen oposisi ke dalam resep konservatisme. Ironi terbesarnya adalah bahwa konservatisme seolah-olah hanya mampu dilawan dan diimbangi dengan konservatisme yang lain. Politisasi agama harus dilawan dengan politisasi agama dalam bentuknya yang lain.
Maka, masa depan demokrasi kita tidak akan pergi ke mana-mana tanpa sumbangsih kritik yang kokoh dan berdasar. Retorika beracun yang penuh dengan sentimen pembelahan sosial harus dilawan segera. Dengan ini, referensi penting dari partai buruh Inggris patut dikutip di sini. Beberapa bulan lalu, serikat buruh transportasi Inggris mogok total hingga dua minggu karena ketakjelasan arah kebijakan ekonomi yang dipimpin oleh partai konservatif.
Serikat dengan keras menggugat media agar adil dalam memberitakan kegagalan elite dan bagaimana menderitanya para buruh. Dengan relatif cepat mereka mendapat simpati publik turut merasakan malpraktik kebijakan. Dalam banyak debat di media massa, serikat sukses besar membungkam para elite dan konservatif kanan yang mencoba meremehkan keadaan.
Ketika ditanya apa resep utama dari sebuah gerakan rakyat, Mick Lynch, sekretaris jenderal serikat, menjawab: tugas kita hari ini adalah satu dan ini fatal, yakni jangan sampai terpecah atas nama apapun!
Refleksi atas politik kiri, diakui atau tidak, telah menuai keberhasilan di beberapa negara dengan banyak referensi yang dapat dikutip. Kita di sini seyogianya mampu memetik kearifan darinya, sesedikit apapun itu.
Rendy Pahrun Wadipalapa peneliti, doktor politik dari University of Leeds, UK
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini