Kita harus jujur bahwa hampir semua terkaget-kaget dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Bagaimana tidak, Perppu dikeluarkan di pengujung tahun, di mana hampir semua tingkatan dan kalangan masyarakat tengah bersuka cita setidaknya atas keberhasilan melewati tahun 2022 dengan segala kesulitannya. Terlebih, dari aspek substansi, Perppu ini hanya copy-paste dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Maka tidak mengherankan jika ada yang menjulukinya Perppu "sembunyi-sembunyi" atau "akal-akalan".
Baru saja kita mendapatkan kabar baik tentang pencabutan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang harapannya akan berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Tapi, rupanya pencabutan PPKM ini adalah bagian dari paket kebijakan yang jauh lebih menyulitkan, yaitu Perppu No. 2 Tahun 2022 ini.
Kegentingan Memaksa?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulisan ini akan mencoba melihat kehadiran Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini dari aspek prosedur dan wadah hukumnya. Sedangkan dari aspek substansi, telah banyak dituliskan dan dibicarakan oleh ahli lainnya.
Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) adalah kebijakan "khusus" yang dikeluarkan hanya dalam kondisi dan keadaan khusus pula. Mengapa khusus? Karena sekalipun substansinya selevel dengan undang-undang, pembuatan Perppu tidak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang notabene adalah wakil rakyat. Dalam adagium hukum modern, dikenal doktrin tidak boleh ada peraturan yang mengatur tentang rakyat, tanpa pelibatan dan persetujuan rakyat.
Karena rakyat yang akan diatur, maka aturan itu harus disetujui oleh yang akan diatur. Perppu tidak melewati prosedur ini, sekalipun mengatur tentang rakyat, namun pembuatannya tidak melalui persetujuan rakyat. Mengapa demikian? Karena Perppu dikeluarkan hanya jika terdapat kegentingan yang memaksa, yang menuntut untuk segera diambil suatu kebijakan, yang jika tidak maka keselamatan negara dan rakyat akan terganggu.
Oleh karena itu, Perppu adalah kebijakan yang sakral; ia adalah senjata terakhir yang dipercayakan kepada presiden, jika memang kondisinya sudah "darurat". Bahkan, founding fathers sejak dulu membayangkan, Perppu hanya dikeluarkan apabila negara dalam keadaan darurat saja.
Secara teoritik, memang ada perdebatan mengenai alasan dikeluarkannya Perppu, apakah harus objektif berdasarkan keadaan yang sebenarnya, ataukah boleh subjektif berdasarkan pada penilaian presiden semata. Namun demikian, terlepas dari apakah menggunakan alasan objektif atau subjektif, tetap saja "kegentingan memaksa" adalah prasyarat utama dikeluarkannya Perppu. Jika prasyarat ini dikesampingkan, maka dampaknya akan sangat berbahaya bagi tegaknya supremasi hukum dan demokrasi.
Sekarang pertanyaan lanjutannya, di mana letak kegentingan memaksa lahirnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini? Jika pemerintah mengatakan ada situasi ekonomi global yang mengancam akibat Covid dan Perang Rusia-Ukraina serta ancaman inflasi yang semakin tinggi, kita tentu sepakat, karena memang peristiwa itu dialami oleh hampir seluruh negara di dunia. Namun apakah memang mengeluarkan Perppu adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh? Rasanya tidak, kita masih punya cukup waktu untuk bersama-sama membicarakan arah UU Cipta Kerja, bahkan masyarakat sipil sejak semula sudah menunggu proses itu untuk dilaksanakan.
Kedua, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, karena cacat prosedur pembuatannya. MK menilai proses perencanaan, pembahasan, dan pengesahan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melanggar asas keterbukaan. Asas keterbukaan yang dimaksud jika dibaca lebih dalam adalah terbukanya partisipasi publik dalam segala tahapan pembuatan undang-undang.
Dalam putusan ini, MK juga memberikan rambu-rambu bagaimana sebaiknya partisipasi publik itu dilakukan, yaitu melalui meaningfull participation atau partisipasi yang bermakna. Dalam konteks ini, keluarnya Perppu No. 2 Tahun 2022 telah melanggar dua aspek sekaligus, yaitu pelanggaran karena telah mengesampingkan atau bahkan mengakali putusan MK; ini akan menjadi preseden buruk sistem ketatanegaraan kita.
Selain itu, juga melanggar partisipasi masyarakat, sebagaimana yang diamanatkan MK, karena pembuatan Perppu memang hanya atas inisiatif presiden semata. Bahkan, sekalipun nantinya akan dibahas oleh DPR, tetap saja tidak akan melalui proses penjaringan partisipasi yang memadai karena yang akan dilakukan oleh DPR nanti hanya sekedar menyetujui atau menolak Perppu.
Masa Depan Perppu
Mari sedikit membaca ke mana arah Perppu ini nantinya.
Setelah dikeluarkan oleh presiden, Perppu ini akan dibahas oleh DPR untuk diterima atau ditolak. Jika ditolak, maka akan dikembalikan kepada presiden untuk dicabut. Namun jika diterima, maka akan disahkan menjadi UU dan diundangkan dalam Lembaran Negara. Ada dua catatan pada proses ini. Pertama, UUD hanya menyebut jika Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Artinya, tidak ada kepastian kapan Perppu itu akan dibahas, padahal Perppu langsung berlaku sejak ia dikeluarkan oleh presiden. Jadi bisa saja karena alasan politik, DPR menunda-nunda untuk membahas suatu Perppu, toh Perppu tersebut tetap berlaku.
Kedua, dengan komposisi dukungan politik atau koalisi pemerintah seperti saat ini, maka hampir tidak mungkin akan ada penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja. Apalagi, UU Cipta Kerja sebelumnya, yang isinya sama persis dengan Perppu ini juga telah disetujui oleh DPR. Jadi, hampir bisa dipastikan, jalan mulus Perppu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.
Ada satu jalan yang masih menyimpan harapan, yaitu judicial review di MK sebagaimana yang dilakukan terhadap UU Cipta Kerja sebelumnya. Baik Perppu Cipta Kerja ini, maupun saat kelak sudah disetujui menjadi UU, keduanya tetap bisa diujikan ke MK. Pertanyaannya, dengan komposisi hakim yang berbeda sekarang ini, beranikah MK memutus sama dengan yang sebelumnya? Karena prosesnya sama-sama seperti yang diistilahkan oleh MK, tidak meaningfull participation.
Dr. Despan Heryansyah, SH., MH peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
Simak Video 'Aktivis Kritik Perppu Ciptaker, Singgung Cuti Haid hingga Keguguran':