Kolom

Bank Sustainable dan Syariah Indonesia

Hendra Friana - detikNews
Rabu, 28 Des 2022 09:30 WIB
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Penerapan prinsip environmental, social and governance (ESG) mungkin jadi upaya perbankan dalam menjalankan bisnis yang lebih bertanggung jawab. Tapi di Bank Syariah Indonesia (BSI), implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) tersebut sebenarnya sudah berlangsung secara alamiah dan menjadi bagian integral dari nilai-nilai yang dijalankan perusahaan.

Direktur Keuangan dan Strategi BSI, Ade Cahyo Nugroho punya penjelasan menarik terkait hal ini. Dalam seminar virtual bertajuk 'How Indonesia's Financial Institutions & Stakeholder Respond to Climate-Related Financial Risks' pada Maret tahun lalu, ia menyebut pemilihan sektor dalam penyaluran kredit di bank syariah secara tak langsung menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan.

Sebab bank syariah, seperti BSI, tak bisa menyalurkan pembiayaan ke sektor atau industri non-halal. Pemilihan sektor atau industri dalam kategori halal dan non-halal bukan hanya terkait dengan hal-hal seperti alkohol dan rokok. Namun juga industri yang memiliki mudharat lebih luas-termasuk yang berdampak buruk bagi lingkungan.

"Sangat jelas bagi industri non halal, kami tidak bisa memberi mereka pinjaman apapun atau bahkan kita tidak memiliki hubungan apapun dengan mereka," ujarnya dalam acara yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) itu.

Dengan laku bisnis demikian, tak mengherankan jika BSI dinobatkan sebagai bank teraktif dalam praktik green banking DI ajang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Awards 2022.

Mengutip laporan keberlanjutannya pada 2021, BSI sendiri telah menyalurkan 27 persen portofolio pendanaan kepada kegiatan usaha berkelanjutan. Tak hanya perorangan atau industri besar, dalam memberikan pembiayaan UMKM pun pemilihan debitur diprioritaskan pada usaha yang berwawasan lingkungan, sosial dan tata kelola.

Per 31 Desember 2021, tercatat penyaluran pembiayaan kepada UMKM sebesar Rp 39.461 miliar atau 108,35 persen dari target 2021.

Rasio portofolio UMKM terhadap total pembiayaan BSI sendiri mencapai 23 persen, didominasi oleh sektor perdagangan besar dan eceran yang mencapai 33,19 persen. Serta sektor pertanian yang mencapai 14,04 persen dari total keseluruhan pembiayaan UMKM.

Tak hanya dalam hal pembiayaan, inisiatif lain juga dilakukan BSI dalam menerapkan prinsip ESG pada operasionalnya. Secara internal, mereka menerapkan strategi green banking melalui efisiensi penggunaan listrik, air, kertas, serta pengelolaan limbah.

Tentu upaya ini masih terbatas. Namun dalam RAKB yang telah disusun dan dievaluasi, target kinerja keberlanjutan dipastikan tercapai sesuai dengan yang rencana perseroan. Baik secara internal maupun eksternal.

Dalam hal sosial misalnya. Perusahaan bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Lembaga Amil Zakat untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, juga

mengembangkan program revitalisasi tempat ibadah hingga pemberian santunan bagi masyarakat yang membutuhkan.

Ada pula, pemberdayaan pada 14 desa binaan, serta program literasi dan inklusi keuangan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap perbankan syariah.

"Ini sesuatu yang kami yakini di masa depan dengan dorongan dari pemerintah dan juga dari regulator dan dengan memahami masyarakat Indonesia menjadi lebih peduli untuk melakukan hal-hal yang baik bank syariah menjadi lebih relevan di masa mendatang," paparnya.

Barangkali, hal itu pula yang membuat 58,8 persen dari 1.112 responden dalam Survei Inventure-Alvara pada 2021 memilih lembaga keuangan syariah dibanding lembaga keuangan konvensional.

Dari sisi kinerja, perbankan syariah pun terlihat masih tumbuh lebih tinggi ketimbang perbankan konvensional. Hal tersebut tercermin dari sisi pertumbuhan aset, pembiayaan, hingga Dana Pihak Ketiga (DPK) hingga akhir 2021.

Hal tersebut tampaknya juga didukung oleh pertumbuhan kinerja Bank Syariah Indonesia (BSI) yang menguasai lebih dari 40 persen aset bank syariah nasional. Tercatat, bisnis BSI masih moncer dengan mencatatkan laba bersih Rp 3,03 triliun atau tumbuh 38,42 persen (YoY) pada 2021.

Sementara itu, aset BSI hingga akhir 2021 juga telah mencapai Rp 265,28 triliun. Nilai tersebut tumbuh 10,72 persen dari Rp 239,58 triliun pada akhir 2020 lalu.

Direktur Utama BSI Hery Gunardi pun tetap optimistis masih dapat mempertahankan kinerjanya hingga akhir 2022 ini. BSI, kata dia, membidik pertumbuhan pembiayaan di kisaran 7 persen hingga 7,5 persen. Target pertumbuhan pembiayaan tersebut selaras dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 2022 yang diprediksi di kisaran 4,6 persen hingga 5,16 persen.

"Sedangkan pertumbuhan DPK diperkirakan mencapai 8 persen," kata Hery Gunardi dalam wawancara khusus April lalu.

Meski demikian, menurutnya industri bank syariah masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Salah satunya minimnya kantor cabang. Hery menyebut pada 2020, share outlet bank syariah terhadap bank umum hanya mencapai 7,7 persen.

"Artinya dari 1 juta penduduk hanya dilayani oleh 9 cabang bank syariah, dibandingkan 114 cabang oleh bank umum," ujarnya.

Tak hanya itu, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2019 mencatat inklusi keuangan syariah di Indonesia baru mencapai 9,1 persen. Sedangkan untuk angka literasi keuangan syariah di kisaran 8,9 persen. Padahal, literasi bank konvensional nasional telah mencapai 37,7 persen dan tingkat inklusi bank konvensional sudah mencapai 75,3 persen.

Industri keuangan syariah bisa jadi membutuhkan momentum untuk mempercepat pertumbuhan. Oleh karena itu, Hery yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) berharap ketentuan spin-off yang dicanangkan oleh regulator akan mendukung industri perbankan syariah. Serta mendongkrak inklusi serta literasi keuangan syariah.

"Melalui berbagai kebijakan dan ketentuan yang diterbitkan, kami berharap bank syariah dapat menjaga efisiensi dan efektivitas dalam mengambil aksi korporasi ke depan. Selain itu, yang paling penting bagaimana membesarkan bank syariah dan menjaganya dari sisi tata kelola, risiko, dan kepatuhan," tandas Hery.

Hendra Friana, Jurnalis Fortune Indonesia




(ads/ads)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork