Kolom

BSI dan Jalan Dakwah Ekonomi Syariah untuk Menundukkan Radikalisme

Oryza Ardyansyah Wirawan - detikNews
Minggu, 25 Des 2022 13:05 WIB
Foto: dok. BSI
Jakarta -

Bank Syariah Indonesia (BSI) hadir pada saat yang tepat, pada saat kelompok kelas menengah muslim di Indonesia tengah menguat dari aspek finansial maupun gairah keagamaan. Sementara pada saat yang sama, ancaman radikalisme masih membayangi dan mendistorsi penguatan gairah praktik keagamaan tersebut.

Boston Consulting Group (BCG) mencatat pada 2020, jumlah kelas menengah muslim di Indonesia mencapai 64,5 juta jiwa atau 27,5 persen dari 233 juta penduduk Muslim Indonesia. Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, mereka membutuhkan pilihan produk, jasa, dan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah yang dianut.

Salah satu prinsip syariah yang mereka praktikkan adalah ekonomi syariah, terutama dalam hal pengembangan sektor usaha produktif. Mereka berusaha meminimalisasi riba dan berusaha sebisa mungkin menolak bunga perbankan dalam berbisnis. Mereka membentuk komunitas tersendiri dan membangun sistem yang saling menguatkan agar tak terjerumus riba.

Masalah ekonomi syariah (untuk menyebut sistem anti bunga) selama ini memang menjadi salah satu isu krusial di kalangan umat Islam Indonesia. Satu kelompok mendukung pendapat bahwa bunga bank haram. Mereka menyamakan bunga bank dengan riba yang tidak diperbolehkan dalam urusan bermuamalah atau bermasyarakat.

Robert W. Hefner dalam buku Islam, Pasar, Keadilan [2000] mengutip salah satu survey pada 1990 terhadap 479 umat Islam di Jakarta. Hanya 34 persen yang menyetujui bunga bank. Sisanya sebanyak 25,9 persen menyatakan kurang setuju dan hampir 40 persen tidak setuju atau sangat tidak setuju.

Sejak lama kelompok kelas menengah Islam di Indonesia ingin mendirikan bank Islami tanpa bunga. Hefner menyebutkan, "Ide untuk bank semacam ini telah didiskusikan sejak awal 1970-an tetapi terus-menerus ditolak oleh para pejabat di dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Departemen Keuangan serta oleh tokoh-tokoh di dalam ABRI. Para pejabat ini khawatir persetujuan pemerintah terhadap bank semacam ini akan menyebabkan kesan bank-bank konvensional bertentangan dengan hukum Islam."

Penolakan ini bisa dipahami jika menengok bunga merupakan salah satu elemen penting dalam kapitalisme. Sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam karya Abdul Qoyum et al [2021], "teori distribusi para ekonom klasik... menggambarkan laba sebagai "reward" (imbalan) atas risiko yang diambil dan manajemen suatu perusahaan... laba adalah residu yang tersisa setelah menanggung biaya upah, bunga, sewa, dan bahan yang dibutuhkan dalam produksi."

Tak pelak, di kalangan kelompok Islam skripturalis yang menafsirkan teks agama dengan sangat ketat dan kaku, penolakan terhadap aspirasi ekonomi syariah ini memperkuat anggapan bahwa pemerintah Indonesia tak bersahabat dengan umat. Isu ketidakadilan ekonomi terhadap umat Islam ini yang kemudian menjadi salah satu bahan bakar kelompok radikal untuk menyebarkan kebencian terhadap negara. Indonesia dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam yang kaffah. Maka kelompok-kelompok ini, walau minoritas di kalangan umat Islam, meyakini bahwa negara Islam adalah solusi satu-satunya bagi Indonesia.

Dalam alam demokrasi, tentu saja tidak ada yang bisa membungkam pendapat dan keyakinan. Problemnya adalah sebagian kelompok ini kemudian memilih untuk menggunakan jalur kekerasan untuk memperjuangkan keyakinan mereka. "Radikalisme adalah sebuah paham bahwa yang benar hanya ideologinya sendiri dan yang sudah disepakati harus dibongkar dengan berbagai cara," kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.

Negara memiliki program deradikalisasi untuk menangkal ancaman tersebut. Salah satunya melalui jalur pendidikan. Namun isu ekonomi harus ditangani secara ekonomi pula, dan di sinilah kenapa Bank Syariah Indonesia (BSI) memainkan peran sangat penting. Kehadiran BSI merupakan bentuk kehadiran negara dalam menangkap keinginan umat Islam.

Presiden Soeharto memang yang pertama kali memberikan izin lahirnya bank syariah pertama di Indonesia. Namun Bank Muamalat bukanlah badan usaha milik negara (BUMN). Dengan kata lain, tidak ada campur tangan pemerintah dalam hal pelayanan publik.

Keberpihakan pemerintah untuk menangkap aspirasi umat terlihat saat tiga bank syariah BUMN resmi melakukan merger pada 1 Februari 2021, yakni PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah. Aset entitas usahanya mencapai mencapai Rp214,6 triliun dengan modal inti lebih dari Rp 20,4 triliun.

Situs resmi BSI menyebutkan, penggabungan ketiga Bank Syariah tersebut merupakan ikhtiar untuk melahirkan Bank Syariah kebanggaan umat, yang diharapkan menjadi energi baru pembangunan ekonomi nasional serta berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat luas.

Pemerintah ingin agar 'keberadaan Bank Syariah Indonesia juga menjadi cerminan wajah perbankan Syariah di Indonesia yang modern, universal, dan memberikan kebaikan bagi segenap alam (Rahmatan Lil 'Alamin)'.

Konsep rahmatan lil 'alamin inilah yang perlu dipahami dan konsisten diterapkan BSI. Ini yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional. BSI harus menunjukkan preferensi yang kuat untuk kepentingan umat Islam dalam menggerakkan perekonomian. Sudah ditekankan dalam situs resmi BSI, bahwa: 'kehadiran BSI menjadi sangat penting. Bukan hanya mampu memainkan peran penting sebagai fasilitator pada seluruh aktivitas ekonomi dalam ekosistem industri halal, tetapi juga sebuah ikhtiar mewujudkan harapan Negeri'.

Saat ini ada gairah untuk menjadikan masjid sebagai pusat gerakan perekonomian umat, melalui usaha mikro kecil menengah (UMKM). Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki pernah mengatakan pada April 2021, anak-anak muda di lingkungan masjid berinisiatif untuk mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis masjid. Dewan Masjid Indonesia juga telah membentuk Indonesia Islamic Youth Economic Forum atau ISYEF yang memberdayakan ekonomi berbasis masjid.

Dengan jumlah UMKM di Indonesia saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 61,97 persen atau senilai Rp 8.573,89 triliun, maka fenomena gerakan UMKM berbasis masjid tak bisa dipandang sebelah mata sebagai bagian dari kekuatan itu.

Fenomena ini hendaknya ditangkap BSI dengan menumbuhkan kepercayaan pada kalangan muda Islam ini agar tak berpandangan pesimistis terhadap sistem ekonomi di Indonesia. BSI harus intensif mendekati kelompok-kelompok Islam kelas menengah yang tengah mengembangkan UMKM, terutama kaum muda di masjid kampus. Perkuat komunitas mereka dengan memberikan pelatihan syariah dan cara mengakses permodalan yang prudent sesuai prinsip-prinsip perbankan.

Selama ini kelompok radikal menjadikan kampus sebagai sasaran pengembangan doktrin. Dengan mempermudah akses ekonomi dan menguatkan literasi perbankan di kalangan kaum muda yang bergiat di masjid kampus, BSI akan menjadi antitesis 'das sein' bagi doktrin 'das solen' kelompok radikal.

Kita percaya, saat ekonomi umat berkembang dan mendapat kesempatan yang sama di negeri ini, maka tidak ada ruang bagi radikalisme untuk tumbuh. Itulah sebenar-benarnya ikhtiar BSI sebagai jalan lain dakwah Islam moderat untuk menundukkan radikalisme dan menyelamatkan bangsa ini.

Oryza Ardyansyah Wirawan




(akd/akd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork