Syafii Ma'arif (2012) menyebutkan bahwa politik identitas secara substantif dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Berangkat dari pengertian ini sesungguhnya praktik politik identitas sudah berjalan jauh di masyarakat. Hal ini dikarenakan praktik perlawanan terhadap penindasan, diskriminasi, dan dominasi mayoritas kepada minoritas telah terjadi sepanjang sejarah manusia.
Penggunaan istilah politik identitas dapat dilacak dalam tulisan L. A Kauffman ketika menjelaskan sebuah gerakan mahasiswa anti kekerasan di Amerika Serikat pada awal 1960-an. Dalam pandangan Kauffman, politik identitas pertama kali berkembang di Barat sebagai respons atas dominasi kelompok tertentu. Kauffman merujuk kepada perjuangan kesetaraan gender dan masyarakat kulit hitam dalam kehidupan sosial masyarakat Barat yang rasial saat itu.
Banyak Rupa
Politik identitas dewasa ini menjelma dalam banyak rupa. Gerakan feminisme di Eropa, gerakan proletar di Amerika Latin, gerakan anti-apartheid di Afrika, pergolakan zionisme vis a vis pengakuan bangsa Palestina, gerakan summer spring di Timur Tengah, dorongan pemekaran wilayah berasas etnis atau suku hingga gerakan separatisme di negara kita adalah wajah-wajah dari politik identitas. Begitu luasnya spektrum politik identitas, dari otoritarian hingga demokrasi, dari kesetaraan hingga keberpihakan, dari modern hingga kearifan lokal, dari negara bangsa hingga negara agama.
Dalam perjalanan politik bangsa ini, politik identitas sebetulnya bukanlah barang baru. Pada era Orde Lama, politik identitas pernah tumbuh subur. Partai politik dengan beragam corak identitas, dari partai politik yang berhaluan ekstrem kiri hingga kanan dengan bebas mengikuti pemilu dan mengkampanyekan identitasnya. Rakyat pun dengan leluasa menyalurkan aspirasi sesuai dengan identitas masing-masing. Mungkin terdapat kekurangan dalam berbagai aspek, seperti efisiensinya dalam pemerintahan saat itu, namun tidak dapat dipungkiri pada masa itu ideologi atau identitas begitu kaya atau beragam.
Politik identitas dalam wajah politik Indonesia mendapat sorotannya dalam Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Dalam dua even pemilihan inilah politik identitas banyak dibicarakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dua hajat demokrasi tersebut telah menampakkan pembelahan di masyarakat. Sebuah polarisasi yang menjadi racun, merusak dan kontraproduktif bagi kehidupan demokrasi. Narasi cebong dan kampret telah meracuni setiap sendi kehidupan. Dengan mudahnya orang akan melabeli mereka yang tidak sependapat sebagai cebong atau kampret. Daya rusak polarisasi ini telah memutus hubungan antar tetangga, pertemanan bahkan keluarga.
Dalam pandangan Buya Syafi'i politik identitas di Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran. Dewasa ini politik identitas di Indonesia lebih bercorak pemaksaan kehendak, anti pluralisme dan anti nasionalisme. Dalam istilah Buya, politik identitas yang diperlihatkan para elite sekarang banyak bercorak negatif-destruktif.
Dalam pandangan Musdah Mulia (2012), jika di negara-negara Barat politik identitas dilakukan oleh minoritas untuk menentang mayoritas, di Indonesia justru terjadi kebalikannya, saat ini politik identitas lebih banyak mempertunjukkan pemaksaan identitas mayoritas terhadap minoritas. Atas nama mayoritas mereka menekan minoritas agar menyesuaikan diri. Melabeli kelompok minoritas sebagai sempalan atau menyimpang. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak cendekiawan bangsa yang khawatir dengan politik identitas.
Hal ini semakin diperparah ketika para pengusung politik identitas hanya beridentitas di permukaan. Politik identitas hanya menjadi alat para elite untuk memuaskan syahwat politiknya. Para elite bahkan dengan mudahnya mengubah identitasnya demi kepentingan elektoral. Acap apa yang ditampilkan para politisi di depan khalayak atau media bertolak belakang dengan kesehariannya atau kebijakan yang diambil. Semua tindakannya hanyalah sebuah pengelolaan kesan semata (impression management) atau dramaturgi. Sebuah kondisi bagaimana aktor politik menampilkan wajah berbeda ketika di panggung depan dan di panggung belakang.
Dikerdilkan
Saya sepenuhnya menyadari bahwa mereka yang tidak sependapat dengan politik identitas berangkat dari kekhawatiran terjadinya polarisasi bangsa seperti yang ditunjukkan dalam gelaran Pilkada dan Pilpres. Politik identitas dianggap bisa mengancam pluralisme dan keutuhan bangsa. Dalam berbagai literatur-, akhir-akhir ini politik identitas di Indonesia lebih banyak dipotret dalam kacamata bagaimana seseorang memandang relasi negara dan agama.
Gerakan-gerakan menjadikan norma agama sebagai dasar negara yang penuh dengan kekerasan di masa lampau telah memberikan dampak traumatik bagi bangsa ini. Dalam tahap ini, penolakan politik identitas dapat diterima. Siapa pun yang mencintai bangsa ini tentu tidak ingin kekerasan sesama anak bangsa terulang kembali. Namun demikian bisakah politik identitas ditiadakan, atau dalam kata lain, adakah politik yang tanpa identitas?
Dalam studi komunikasi politik kontemporer, Voicu (2013) mengatakan bahwa tindakan komunikasi selalu memiliki identitas, termasuk di dalamnya tindakan komunikasi politik. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, politik dan identitas layaknya dua sisi mata koin. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Setiap tindakan politik pasti membawa identitasnya. Setiap identitas pasti memerlukan politik dalam eksistensinya. Lewat identitas itulah politik memiliki makna. Melalui kehadiran identitaslah sebuah tindakan politik dapat dinilai.
Politik identitas telah mendorong peradaban di berbagai belahan dunia. Politik identitas sejatinya adalah bentuk perjuangan mereka yang merasa terpinggirkan oleh arus besar. Maka, sangat disayangkan jika akhir-akhir ini politik identitas secara gebyah uyah sering dibingkai dalam sebuah frame negatif, dikerdilkan tanpa penjelasan identitas seperti apa yang harus diwaspadai. Tidak semua politik identitas itu bercirikan negatif-destruktif.
Politik identitas tidak hanya diusung oleh mereka yang mengekspresikan keberagamaannya dalam ruang publik, namun identitas bisa mengambil banyak wajah. Pembelaan kepada kaum terpinggirkan, seperti perempuan, difabel, buruh, masyarakat miskin kota, petani, nelayan, komunitas agama dan komunitas adat hanyalah sedikit bentuk lain dari politik identitas. Selayaknyalah politik identitas diletakkan dalam posisi dan takaran semestinya.
Dalam perspektif ini, penolakan terhadap politik identitas sejatinya menolak kebhinekaan itu sendiri. Di dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, kebhinekaan adalah identitas bangsa. Dalam kebhinekaan itulah persatuan hendak diwujudkan. Selama masih dalam bingkai NKRI dan ada dalam cara-cara konstitusional semua identitas harus diperlakukan secara adil. Perbedaan tersebut hendaklah dipandang sebagai bagian dari bhineka tunggal ika.
Dalam era demokrasi pragmatis seperti sekarang, sebuah era ketika batas-batas ideologi partai begitu kabur, ketika semua partai politik hanya berhitung perolehan suara, ketika begitu mudahnya para elite berganti wajah demi tujuan kekuasaan, ketika begitu masifnya politik pencitraan, motif ekonomi telah menjadi identitas bersama di antara elite dan rakyat. Politik transaksional telah terjadi di hampir semua lapisan masyarakat.
Kondisi tersebut tidak kalah destruktifnya dengan identitas keagamaan yang selama ini dianggap mengancam keutuhan bangsa. Kehadiran politik identitas yang bersumber dari ideologi, nilai-nilai luhur, yang menghargai keragaman, justru sangat dibutuhkan. Partai politik harus mampu menunjukkan politik identitas dalam wajah sejatinya: keberpihakan kepada masyarakat yang terpinggirkan oleh arus besar. Partai politik harus didorong kejelasan dan konsistensi identitasnya, karena hanya identitaslah yang bisa membedakan partai yang satu dengan partai lainnya. Sehingga tidak ada lagi idiom kabeh partai pada wae!
Ridwan Imamul Huda mahasiswa Pacasarjana Ilmu Komunikasi UNTIRTA
Simak juga 'Titipan Jokowi ke KPU untuk Pemilu 2024: Adu Ide bukan Adu Domba':
(mmu/mmu)