Indonesia memiliki tiga daerah otonom baru (DOB). Yakni Papua Barat, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Dengan begitu, total provinsi di Indonesia kini menjadi 37 dari yang awalnya 34 provinsi.
Peresmian tiga DOB Papua dilakukan pada Jumat (11/11) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Untuk sementara, tiga DOB Papua itu dipimpin oleh penjabat (Pj) sampai digelarnya Pilkada 2024 nanti.
Pembentukan tiga DOB Papua merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua yang diawali oleh keputusan DPR (30/6) yang menyetujui tiga rancangan undang-undang pembentukan DOB di Papua menjadi UU. Kemudian, tiga UU DOB Papua tersebut disahkan oleh Presiden Jokowi (25/7).
Geliat Desentralisasi Pasca Reformasi
Sejak Reformasi 1998, pemekaran daerah (desentralisasi) berlangsung dengan begitu masif. Hal itu terjadi seiring dengan kencangnya wacana desentralisasi yang bergulir pasca tumbangnya "kekuasaan terpusat" Orde Baru.
Pada 1999, Provinsi Maluku dipecah menjadi dua, yakni Maluku dan Maluku Utara dan juga Provinsi Irian Jaya dipecah menjadi Papua dan Irian Jaya Barat. Kemudian, pada tahun 2000, Provinsi Sumatra Selatan juga dipecah menjadi Sumatra Selatan dan Bangka Belitung.
Sementara itu, Provinsi Jawa Barat juga dipecah menjadi Jawa Barat dan Banten. Sedangkan Provinsi Sulawesi Utara dipecah menjadi Sulawesi Utara dan Gorantalo. Kemudian, pada 2002 Provinsi Riau juga dipecah menjadi Riau dan Kepulauan Riau.
Kemudian, pada 2012 Provinsi Kalimantan Timur juga dipecah menjadi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Dengan demikian, total provinsi di Indonesia pada 2012 sudah mencapai 34 provinsi dari yang awalnya hanya 27 provinsi pada masa Orde Baru.
Pasca Reformasi, gagasan desentralisasi itu pada mulanya disambut dengan sangat meyakinkan. Banyak pihak yakin bahwa gagasan itu akan mampu mengatasi kegagalan pembangunan yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru yang terpusat (Abdul Gaffar Karim, 2020).
Namun, dalam beberapa tahun belakangan kita pun menyadari bahwa gagasan desentralisasi itu bukan tanpa celah. Berbagai catatan akademik menemukan bahwa tren desentralisasi telah membuka jalan atas terbentuknya "raja-raja kecil".
Istilah "raja-raja kecil" merujuk pada kekuasaan kepala daerah yang memposisikan dirinya "bak raja tunggal" yang mengatur dan mendesain segala macam urusan birokrasi dan sumber daya ekonomi. Yang celakanya, diatur dan didesain untuk kepentingan dirinya sendiri berikut kelompok dan karib kerabatnya.
Karena itu, kemudian, muncullah istilah "desentralisasi dikorupsi" yang menggambarkan betapa ide dan praktik desentralisasi telah melenceng jauh dari semangat desentralisasi yang senyatanya. Alih-alih mandiri, fenomena terkini memperlihatkan justru banyak daerah yang menjadi beban pemerintahan pusat.
Hal itu terjadi karena banyak daerah otonom yang "salah urus", tidak mampu membaca peluang ekonomi dan politik. Luasnya kewenangan dan suntikan anggaran dari pemerintah pusat tidak mampu dikelola secara konsisten untuk kemajuan dan kemandirian daerah.
Oleh karena itu, wajar bila sampai kini banyak daerah-daerah otonom yang tetap saja tidak maju dan berkembang. Sebab, anggaran pembangunan daerah dari pusat yang seharusnya dialokasikan ke pembangunan infrastruktur dan ekonomi justru malah dikorupsi dan masuk ke kantong pribadi pejabat.
Desentralisasi politik yang diupayakan untuk mendekatkan demokrasi dengan masyarakat akar rumput menuai jalan buntu (Cohen, 2010). Desentralisasi bisa dikatakan belum bisa mendatangkan "berkah politik" yang benar-benar bisa diandalkan sebagai serangkaian gerakan dan gagasan politik deliberatif.
Nils Bubandt (2018) dalam bukunya yang berjudul Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus dalam Politik Kontemporer Indonesia mengatakan bahwa makhluk halus dan wacana desentralisasi di Indonesia memiliki kesamaan berupa "sama-sama gaib/halus". Wacana desentralisasi sampai kini belum mewujud menjadi kenyataan.
Makhluk halus dalam kamus mistik masyarakat Indonesia adalah makhluk yang tidak tampak oleh pandangan mata (gaib/halus/kasatmata). Menurut Bubandt, begitulah wacana desentralisasi di Indonesia, "gaib/halus", tidak tampak dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah konsep politik yang menjanjikan.
DOB Papua
Pembentukan DOB Papua dalam hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari semangat dan ide desentralisasi yang menggeliat sejak awal bergulirnya Reformasi 1998. Yakni, meningkat kesejahteraan dan pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur daerah. Dengan DOB ini diharapkan "negara hadir" secara lebih dekat dalam kehidupan rakyat.
Tetapi, sebagaimana telah diuraikan, nyatanya "desentralisasi" bukanlah yang terbaik. Ia hanya sebatas yang paling mungkin untuk diterapkan. Perjalanan panjang politik desentralisasi, setidaknya dalam dua dekade terakhir, telah memberi kita banyak pelajaran penting bahwa "desentralisasi" bukan tanpa celah.
Fenomena "raja-raja kecil" dan "desentralisasi dikorupsi" harus menjadi "catatan merah" dalam penyelenggaraan DOB Papua itu. Tampaknya, perlu ditegaskan kembali bahwa tujuan pertama dan utama dari pembentuk DOB Papua itu adalah memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat asli Papua (MAP) yang berada di dalamnya.
Evaluasi akademik mutakhir banyak menyiarkan kabar tak sedap perihal desentralisasi di Indonesia. Karena itu, harus diupayakan bahwa tiga DOB Papua itu tidak akan ikut mempertebal narasi tak sedap perihal wacana desentralisasi itu.
Karena itu, jangan sampai pembentukan DOB itu memunculkan kesan dan kenyataan bahwa pembentukan tiga DOB itu hanya sebatas "rekayasa politik Jakarta" untuk menguasai SDA tiga DOB Papua itu.
Farisi Aris peneliti pada Akademi Hukum dan Politik (AHP) Yogyakarta
Simak juga 'RI Kini Punya 37 Provinsi, Mendagri: Aspirasi Cukup Lama dari Masyarakat':
(mmu/mmu)