Kalau cuma memberi makan anak kami bisa belikan lebih mahal, nggak usahlah paksa-paksa saya izin kerja cuma buat ambil bahan makanan yang harganya tidak seberapa. Dikiranya kami nggak mampu apa, cuma gara-gara katanya anak bungsu saya stunting. Lha padahal anaknya yo sehat-sehat saja. Lari-lari dan bermain sama teman-temannya biasa saja. Begitulah curhatan dari seorang ibu muda ketika ditanya mengapa tidak mau mengambil paket tambahan makanan yang sudah disediakan.
Informasi itu mengemuka dalam evaluasi capaian kegiatan, yang lazim dilakukan menjelang akhir pelaksanaan tahun anggaran di kantor saya. Sebagai Kepala Tata Usaha sebuah fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, hari-hari saya pada bulan-bulan akhir tahun anggaran antara lain memang disibukkan dengan evaluasi kegiatan.
"Petugas-petugas saja yang lebay. Katanya anak stunting akan terhambat daya pikirnya, terhambat pertumbuhan fisiknya. Padahal dulu sepupu-sepupunya dia juga sebesar anak saya waktu bayi. Nggak masalah juga, masih bisa sekolah dan bermain seperti teman lainnya. Kalau sesekali sakit yo wajar saja kan, namanya anak-anak. Sesekali sakit untuk ngentheng-enthengi karena mau bertambah akalnya," imbuh ibu tersebut seperti disampaikan petugas lapangan kami.
Tampaknya ibu muda tersebut merasa gerah anaknya menjadi "objek" dari kegiatan-kegiatan instansi pemerintah yang menyasar pada bayi-balita stunting. Kejengkelan dia ungkapkan dengan kalimat-kalimat yang menyiratkan adanya perbedaan pemahaman antara dirinya dengan petugas kesehatan.
Perhatian Banyak Pihak
Meski sebenarnya bukan barang baru, permasalahan stunting akhir-akhir ini menjadi perhatian dari banyak pihak. Banyak kegiatan dilaksanakan, banyak anggaran digelontorkan. Baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Jika dua-tiga dekade lalu, istilah gizi buruk populer untuk menyebut balita kekurangan gizi. Namun, akhir-akhir ini istilah stunting lebih nge-hits untuk menyebut kondisi kurang gizi pada balita tersebut.
Perbedaan tersebut berasal dari perbedaan indikator pemantauan pertumbuhan. Istilah gizi buruk digunakan pada saat indikator pertumbuhan anak lebih ditekankan menggunakan ukuran berat badan. Sekarang analisis pemantauan pertumbuhan dilakukan dengan mengukur tinggi badan, dengan asumsi lebih mencerminkan kondisi status gizi jangka panjang. Beda metode pengukuran ternyata tidak mengubah urgensi masalah, yaitu under nutrition (kurang gizi).
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, satu dari empat balita menderita stunting. Tidak jauh beda dengan kondisi dua-tiga dekade lalu ketika pemantauan pertumbuhan dengan menggunakan berat badan. Mengapa permasalahan gizi pada balita masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan setelah banyak upaya dilakukan oleh pemerintah? Adakah sesuatu yang terlewat dari perhatian para pihak?
Ilustrasi di awal tulisan ini merupakan salah satu gambaran permasalahan yang terjadi bahwa belum semua penanggung jawab pengasuhan anak memahami permasalahannya. Masih banyak permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Bisa jadi yang panik dengan data-data tingginya angka stunting hanya petugas saja, terlebih petugas kesehatan yang mempelajari betul apa efek jangka panjang dari kondisi tersebut. Dan, paham pula bahwa kondisi tidak bagus ini merupakan salah satu indikator gagal tumbuh yang disebabkan kurangnya asupan gizi kronis yang dimulai sejak janin dalam kandungan.
Pertanyaan berikutnya, apakah sudah tepat berbagai macam bentuk intervensi yang dilakukan selama ini untuk mengatasi permasalahan stunting? Sudahkah intervensi dilakukan berdasarkan akar penyebab masalahnya?
Sudah Lama Merumuskan
Para pakar sudah lama merumuskan penyebab yang menjadi pangkal persoalan masih tingginya kasus stunting. Praktik pengasuhan anak yang kurang baik, kurangnya asupan nutrisi, buruknya kualitas lingkungan, serta akses terhadap layanan kesehatan yang seringkali dituding menjadi penyebabnya.
Intervensi yang populer antara lain pemberian makanan tambahan, ada pula pemberdayaan keluarga dengan diajari beragam keterampilan yang dimaksudkan untuk menambah income, penyuluhan-penyuluhan baik tatap muka maupun dengan media cetak yang entah bagaimana hasilnya apakah ada peningkatan pengetahuan atau tidak.
Ketika kita buka kembali file lama tentang keberhasilan program Keluarga Berencana, ada satu kesamaan pandangan yang berhasil ditanamkan bahwa dengan memiliki jumlah anak dua saja sudah cukup, dan diyakinkan bahwa dengan dikendalikannya jumlah anak maka dapat membantu keluarga mewujudkan kesejahteraan. Jumlah anak yang tidak terlampau banyak akan berimbas pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lebih mudah daripada jumlah keluarga yang besar.
Namun hal ini tidak dapat disamaratakan ketika isu stunting atau anak dengan gizi buruk. Karena stunting penyebabnya bermacam-macam. Mestinya bermacam-macam pula solusi yang bisa ditawarkan, disesuaikan dengan penyebab masalahnya.
Jika penyebabnya penyakit penyerta, maka penyakit tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika penyebabnya faktor ekonomi karena kondisi orangtuanya tidak memungkinkan memberikan asupan yang cukup, maka pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan perekonomian menjadi solusinya. Jika penyebabnya ketidaktahuan orangtua atau pengasuh dalam menyajikan makanan bergizi bagi keluarga, maka edukasi pemilihan menu makanan bisa jadi alternatif pemecahan masalah.
Jika masalahnya ketidakpedulian orangtua atau pengasuh terhadap tumbuh kembang anak yang menjadi tanggung jawabnya, apa solusinya? Bagaimana mendesakkan hak anak untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal di tengah lingkungan yang tidak peduli?
Seorang dokter spesialis anak yang sering menerima rujukan konsultasi kasus stunting pernah mengeluhkan kecuekan pengasuh anak ketika datang konsultasi ke rumah sakit pada suatu kesempatan rapat koordinasi. Perhatian tidak difokuskan penuh saat sesi konsultasi. Seolah setelah mengkonsumsi obat yang diresepkan, masalah stunting anaknya sudah kelar.
Cerita senada disampaikan pula oleh seorang pengelola suatu TFC (Therapeutic Feeding Center), di mana bayi-balita stunting mendapat asuhan gizi seharian full, lengkap dengan pengasuh dan pendidik anak dengan harapan pola pengasuhan dan asupan gizi yang diberikan di TFC dapat diterapkan di rumah. Dan, apa yang terjadi? Hampir sebagian besar ibu pendamping balita sibuk dengan handphone masing-masing. Seolah anaknya bukan tanggung jawabnya.
Efektivitas Kegiatan
Entah apakah sudah dihitung atau belum efektivitas kegiatan, termasuk pemanfaatan sumber daya yang dialokasikan untuk operasional TFC milik pemerintah daerah tersebut. Tampaknya mendesak untuk dievaluasi kembali apakah program yang dirancang untuk penanganan stunting oleh masing-masing pemerintah daerah ataupun bahkan pemerintah pusat sudah mengakomodasi bermacam-macamnya faktor penyebab ini --senyampang dengan proses usulan kegiatan dan anggaran untuk tahun depan yang sedang berjalan pada bulan-bulan akhir tahun.
Jangan-jangan memang masih terjadi anak stunting yang disebabkan ketidakmampuan orangtuanya menyediakan asupan makanan yang bergizi diberikan intervensi penyuluhan saja. Atau, anak yang tidak dipedulikan orangtuanya diberikan terapi pengobatan penyakit penyertanya saja. Karena desain template intervensi tergantung masing-masing pemilik kewenangan intervensi.
Program intervensi stunting mestinya bukan semacam telanjur membeli tiket terusan wahana permainan; akan rugi jika tidak digunakan maksimal. Akan lebih pas penggunaannya jika disesuaikan dengan umur dan kondisi anak.
Ana Widiastuti bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah di Yogyakarta
(mmu/mmu)