Antitesa Kepemimpinan

Zulfan Lindan - detikNews
Kamis, 20 Okt 2022 12:14 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Saya dituding memancing kegaduhan politik usai mengatakan bahwa Anies Baswedan adalah antitesis Presiden Jokowi pada sebuah diskusi di forum dialog Total Politik-detikcom. Pernyataan saya berujung pada teguran dari NasDem, partai yang saya ikut melahirkan. Saya tak pernah diundang untuk memberikan penjelasan. Juga tak pernah diberi ruang untuk membela diri. Tiba-tiba surat peringatan untuk saya dari kepengurusan beredar di media sosial.

Surat ini baru saya terima setelah ramai di linimasa dan grup-grup WA. Ini mengesankan elite partai dimana selama ini saya mengabdi, bukan ingin 'mengingatkan' namun mempermalukan. Tak sekedar menonaktifkan saya dari kepengurusan yang sebenarnya saya tidak duduk lagi sebagai pengurus DPP Nasdem sejak saya ditetapkan sebagai komisaris Jasa Marga tahun 2020. Surat peringatan yang dikirimkan ke media sosial itu juga mempertontonkan arogansi dan kekuasaan. Karena alih-alih mengajak saya berbicara, mereka lebih memilih menyebar surat itu kemana-mana.

Tapi sudahlah. Hal ini menunjukkan di dalam tubuh partai ini tanda-tanda otoritarianisme semakin menampakkan diri sebagai tesis. Sebagaimana teori dialektika yang dikembangkan oleh GW Friedrich Hegel, di dalam tesis selalu terkandung antitesis. Ironi dari peristiwa yang saya hadapi justru ketika saya sedang berbicara perkara pentingnya memperhatikan antitesis kepemimpinan sebagai kebutuhan perubahan, partai saya sendiri terkesan panik dan ketakutan.

Sebagaimana 'manusia merdeka' lainnya, saya siap menghadapi risiko dan konsekuensi dari apa yang saya lakukan. Karena, persoalan bangsa jauh lebih besar ketimbang mengurusi kasus ini. Urusan saya dengan partai saya terlalu kecil. Dan saya akan memberikan pelajaran kepada partai saya tentang substansi demokrasi dan kemerdekaan berpendapat.

Saya justru ingin menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan maksud dari antitesis yang saya sampaikan. Sesuatu yang lebih mengutamakan gagasan mengapa menurut saya Anies Baswedan adalah sebuah antitesis.

Anies Baswedan dalam kacamata Hegelian

Saya ulangi sekali lagi dengan gamblang apa yang saya sampaikan. Antitesis itu saya alamatkan kepada sosok Anies Baswedan. Sementara tesisnya adalah Presiden Jokowi. Tanpa pretensi menjadi deterministik, keduanya menurut saya adalah kebutuhan dan bagian dari perjalanan bangsa ini. Presiden Jokowi telah memerankan dirinya berdasarkan laku dan praxis yang telah dipilih dan memberi warisan kepada negeri ini. Setelahnya menurut pembacaan saya, Indonesia memerlukan perbedaan dan kebaruan dan bukan kemiripan dan kemapanan.

Anies Baswedan menurut saya menyediakan hal itu dibanding calon-calon presiden lainnya. Dan lebih penting lagi tugas politik saya adalah mengingatkan Anies Baswedan untuk menyiapkan diri dan memiliki visi. Menjadikan dirinya sebagai antitesis dari era sebelumnya. Bukan hanya karena cara itu yang akan membuat Anies memenangkan Pilpres melainkan karena itulah jalan sejarah yang dibutuhkan demi kemajuan Indonesia. Saat saya menyampaikan pentingnya antithesis, saya berbicara di dalam konteks teori dialektika yang saya pahami. Saya tidak sedang berbicara politik dukung-mendukung semata. Apalagi 'mempertentangkan' Presiden Jokowi dengan Anies Baswedan secara hitam putih.

Jika dulu saya mendukung Jokowi dan kini mendukung Anies Baswedan itu bukan karena ketidaksukaan pribadi atau politik, melainkan melihat keduanya sebagai proses dan kontinuum yang dialektis. Sikap saya terhadap siapa yang tepat menggantikan Presiden Jokowi tidak ditentukan atau menunggu siapa gerangan sosok yang diinginkan Presiden Jokowi dan koalisinya, namun oleh pembacaan saya pribadi terhadap kebutuhan bangsa ini. Tentu saja penilaian saya bisa salah saat menilai Anies Baswedan akan menjadi antitesis Presiden Jokowi. Sebab itulah diskusi gagasan di ruang publik menjadi penting guna menguji argumentasi.

Anies Baswedan Antitesis Jokowi

Tanpa berpretensi menjadi filosofis, saat saya mengatakan hubungan Anies Baswedan dan Presiden Jokowi sebagai hubungan tesis dan antitesis adalah dalam kerangka teori dialektika. Dalam pemahaman saya, dialektika itu melihat relasi tesis-antitesis-sintesis sebagai relasi internal yang saling terhubung untuk menjelaskan sekaligus menyelesaikan kontradiksi inheren di dalam relasi itu sendiri. Karena menurut Hegel, seluruh sejarah dunia adalah sejarah pergumulan kontradiksi dan dialektika.

Setiap tesis selalu menyediakan kontradiksi di dalam dirinya, siapapun itu dan sehebat apapun itu, yang kemudian melahirkan antitesis. Kontradiksi itu di dalam dialektika Hegelian tidak muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalam dirinya. Unsur antitesis selalu terkandung di dalam tesis begitu juga sintesis selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis karena hubungan relasional di internal.

Dialektika Hegel ingin mengajarkan kepada kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang penuh logika negasi terhadap negasi. Namun negasi itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan melampaui tesis dan antitesis sebelumnya.

Dalam konteks Pilpres 2024, pengertian negasi itu bukan berarti membuat Anies Baswedan jika terpilih menjadi presiden, mengabaikan hal-hal yang bisa bahkan harus dilanjutkan dari kepemimpinan sebelumnya, namun keperluan untuk melihat dirinya sebagai antitesis demi menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi sebelumnya dan demi tersedianya sintesis atau perubahan terus-menerus yang senantiasa selalu dibutuhkan bangsa ini.

Presiden Jokowi sudah berkiprah dan akan meninggalkan warisan penting bagi bangsa ini terutama penyediaan infrastruktur yang berorientasi publik kuat. Tanpa keraguan saya memuji dan mengapresiasi capaian ini. Namun mengikuti dialektika Hegelian, di dalam diri Jokowi sebagai presiden, secara objektif ia juga meninggalkan kontradiksi-kontradiksi kepemimpinan yang tak terelakkan. Persis pada titik itulah saya ingin mengemukakan pendapat saya bahwa dari calon-calon presiden lain, Anies Baswedan adalah antitesis yang paling tersedia dan meyakinkan guna menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini. Pembacaan saya ini bisa diuji dan diperdebatkan, tentunya dengan kacamata dialektika.

Mengapa saya merasa harus menjelaskan hal itu karena pelbagai pihak bertanya soal dasar pikiran mengapa partai saya mendukung Anies Baswedan menjadi bakal calon presiden. Saya bertanggung jawab terhadap pilihan partai saya mendukung Anies Baswedan karena itu saya berbicara.

Jika saja kita menghargai kebebasan asal yang kita miliki, diskusi publik tentang perlunya Anies Baswedan atau siapa saja calon kuat lainnya menjadi antitesis dari era sebelumnya mungkin lebih banyak manfaatnya bagi bangsa ini daripada upaya pembungkaman dengan beragam alasan.

Koalisi di mana partai saya ada di dalamnya akan berjalan hingga 2024 dan itu komitmen politik yang kami pegang teguh bersama Presiden Jokowi. Namun setelah 2024 Indonesia harus berjalan terus. Dan soal siapa yang akan menggantikan Presiden Jokowi adalah soal gagasan yang harus didiskusikan. Partai saya sudah memilih untuk memulai diskusi ini dengan menetapkan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Menurut saya pilihan itu tak terelakkan dan harus dijelaskan secara transparan. Menurut saya ini jauh lebih penting daripada menindas kebebasan berekspresi dan berusaha membungkam kader sendiri dengan alasan kepentingan disiplin koalisi.

Simak juga 'Pengamat: Narasi Anies Antitesa Jokowi bisa Merusak Strategi NasDem':






(tor/tor)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork