Pustaka

"Membanding-Bandingkan" ala John Green

Makhsun Bustomi - detikNews
Sabtu, 15 Okt 2022 08:51 WIB
Jakarta -
Judul buku: The Anthropocene Reviewed; Penulis: John Green; Penerjemah: Andityas Prabantoro; Penerbit: Mizan, 2022; Tebal: 360 halaman

Bacuya (Badak Cula Cahaya) dipilih sebagai maskot Piala Dunia FIFA U-20 tahun 2023. Ini terinsipirasi Badak Jawa bercula satu, hewan asli Indonesia (www.pssi.org). Cula si Bacuya akan menyala ketika bermain sepakbola dan bergembira bersama anak-anak.Memperhatikan maskot yang terlihat lucu dan menggemaskan ini, tiba-tiba saya justru teringat Teddy Bear dalam The Anthropocene Reviewed.

Setiap saat kita dituntut mengambil keputusan. Dari menyukai, memilih dan memutuskan hal-hal yang mungkin remeh dan personal seperti memilih memutar lagu mana yang akan diputar di mobil pada suatu pagi, sampai hal-hal yang besar, berdampak panjang, kompleks dan global. Berlawanan dengan Ojo Dibandingke yang diviralkan Farel Prayoga, demi memutuskan sesuatu, sulit untuk tidak membanding-bandingkan satu hal dengan hal lain, seseorang dengan orang lain, produk ini dengan itu, peristiwa di sini dengan di sana.

Bukankah kita serba terhubung dengan orang lain? Segala sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, dialami mendorong kita untuk menilainya. Jadi, memberi rating itu penting. Saya belum pernah membaca novel-novel karya John Green, sebut saja salah satunya The Fault in Our Star. Jika The Anthropocene Reviewed karya non fiksinya kemudian ada di tangan saya, itu adalah semata-mata karena judulnya yang memikat minat. Di dalamnya termuat tak kurang 40 buah esai.

Silakan memulai dari judul mana saja. Topik-topiknya sekilas begitu lebar, acak dan tak saling bersinggungan. Mulai dari benda, peristiwa, lagu, penyakit, virus, kota, makanan, pemain bola, kebiasaan sampai atau komet Halley. Sungguh tepat diberi judul The Anthropocene Reviewed, karena fenomena yang diulas tak lepas dari Antroposen, dengan manusia sebagai pusatnya.

Antroposen adalah waktu geologis, periode di mana manusia telah menghuni bumi. Manusia adalah spesies paling kuat dan memiliki dampak paling besar pada dunia. Benarkah demikian?

Peka

John Green mengajak untuk merenungkan kekuatan alami manusia yang sering diabaikan, yaitu kemampuan berbisik. Suara yang dilirihkan tentu saja bisa ungkapan cinta, rumor atau gosip. Namun, berbisik adalah tanda kedekatan. Kesibukan membuat dunia kian berisik. Selain membutuhkan keheningan, hal ini perlu diikuti dengan kemampuan mendengarkan dan menyimak.

Di esai lain ia justru mengulas peristiwa universal setiap hari: matahari terbenam. Saya kira dia akan pelit memberikan lima bintang. Dugaan ini meleset. Menurutnya, kata siapa tidak ada yang sempurna, di dunia ini ada kok yang sempurna. Dengan kalimat bergaya novel ia mengulas indahnya matahari terbenam seperti gambar potoshop, sembari mengutip lirik puisi yang sentimentil, atau mistis bahkan dari sudut agama bersifat ilahiah.

Tak lupa dengan sudut pandang saintifik, saat matahari terbenam cahaya merambat melalui atmosfer lebih lama sehingga langit terlihat dipenuhi warna merah, dan oranye. Keindahan dapat dinikmati jika kita membiarkan diri rentan. Seperti saat memberi skala pada fenomena berbisik, kembali Green mengajak kita untuk lebih peka. Kepekaan ini pula yang menjadi kekuatannya sehingga tulisannya begitu nendang, berirama dan sarat makna.

Isu Lingkungan

Green terampil mempermainkan kontradiksi. Membandingkan dua kutub yang berjauhan. Soal Teddy Bear, boneka yang kita anggap imut dan lucu. Tiruan makhluk yang paling laku dan terjual jutaan item di pasar. Ironisnya, tinggal berapakah jumlah beruang sesungguhnya yang masih hidup?

Lain lagi pada esai tentang angsa Kanada. Ia mengisahkan hewan yang dianggap mengganggu, suka menjerit serta tak disukai. Namun, populasinya justru sulit dikendalikan. Sejatinya manusia punya kekuasaan menentukan spesies mana yang harus tetap ada dan harus punah. Namun cobalah bertanya pada diri sendiri, apakah sebagai individu anda merasa punya kuasa untuk menjaga keberadaan badak bercula satu?

Kenyataannya, meminjam kata-kata Green yang getir dan jenaka, "bahkan memaksa anak kita sarapan saja tak mampu". Iklim adalah sesuatu yang terjadi pada kita sekaligus kita bentuk. Lewat esai berjudul Air Conditioning, teknologi pengatur suhu memberi manfaat untuk menyimpan obat-obatan demi keperluan kesehatan dan tentu menjadikan kantor, kamar atau mobil terasa nyaman serta membawa manusia lebih produktif.

Ironisnya, betapa banyak orang yang merasa kedinginan di ruang ber-AC sehingga harus memakai jaket atau pakaian tebal. Ternyata remote AC di tangan manusia berhubungan erat bukan hanya pengaturan suhu tetapi merupakan pengaturan iklim. Catatan penting di antara isu-isu lingkungan yang bertebaran dalam buku ini adalah bagaimana memperluas definisi pengaturan iklim. Remote pengaturan iklim sejatinya ada di tangan manusia.

Kekuatan Kolaborasi

Kecerdasan manusia ojo dibanding-bandingke dengan spesies lain. Sejarah sains memunculkan tokoh-tokoh jenius, tetapi sejatinya penemuan dan inovasi bukanlah hasil kejeniusan individu melainkan kecerdasan kolektif. Papan qwerty yang sedang saya gunakan ini, misalnya, melewati proses panjang dan kolaboratif.

Kehebatan manusia menerka kapan Komet Halley melintas periodik setiap 74 sampai 79 tahun secara eliptikal, bukan kejeniusan Halley seorang, melainkan kejeniusan yang bersifat kolektif. Pada esai lainnya berjudul Academic Decathlon, Green membagikan kisah kemampuan manusia bersahabat juga akan banyak membantu melewati kehidupan. Sebaliknya, melalui celotehnya tentang permainan klasik bernama monopoli, ia mempertegas kerisauannya tentang kuasa dan tega manusia untuk menghisap manusia lainnya.

Esai bertajuk Super Mario Kart menekankan pentingnya meningkatkan kesetaraan dan keadilan. Dengan cerdik ia mengkritik, di dunia yang sering tak adil, kadang keberuntungan itu menjadi satu-satunya kesempatan untuk menang seperti ketika kita bermain Super Mario. Tak lupa, buku ini membawa pembaca untuk merasakan sisi-sisi manusia yang penuh emosi dan rapuh. Beberapa kali Green bicara tentang kematian, sakit dan virus sembari membandingkan dengan spesies lain.

Manusia adalah satu-satunya spesies yang sadar bahwa akan datang fana. Manusia mudah diliputi rasa cemas, sakit dan frustrasi. Sayangnya, seringkali kita tak pandai bersikap. Seperti kalimat dalam adegan pembuka film animasi Penguin Madagascar: "aku tak pernah mempertanyakan apapun". Sebuah sindiran, manusia sebanding dengan penguin yang berjalan beramai-ramai, lalu meluncur mengikuti pemimpin tanpa berpikir dan bertanya mau dibawa ke mana.

Sebagai buku yang ditulis di masa pandemi, termuat pula renungan perihal wabah. Wabah kadang menampilkan ketamakan, saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Dengan menekankan indahnya solidaritas di tengah musibah, Green berkata, "Wabah tentu saja fenomena satu bintang, tapi tanggapan kita terhadapnya tak harus satu bintang juga".

Mencoba jujur, saya sedikit tersendat saat menyimak The Anthropocene Reviewed. Di sana-sini bertabur kutipan. Boleh jadi, sebagai bacaan non fiksi, justru inilah kedalaman rujukannya yang menghanyutkan kita untuk menikmati renungan dan pengalaman Green kala memberi skala pada Antroposen. Lewat opini berbalut kisah, fenomena sehari-hari, masalah personal hingga isu global mampu terhubungkan relevansinya.

Manusia memang kuat tetapi rapuh, egois sekaligus mampu berkolaborasi, spesies yang dominan sekaligus lemah. Inilah bacaan yang menyajikan seni mbanding-bandingke untuk mencari makna hidup dan kehidupan. Membanding-bandingkan kutub-kutub yang berlawanan dan menimbang-nimbang aneka fenomena. Betul, banyak hal di sekeliling kita yang tak bisa di-rating lima bintang. Kalau semua ternilai sempurna artinya manusia setop membuat keputusan-keputusan.

Manusia adalah makhluk yang tahu kehebatannya, tetapi belum mau melakukannya. Kata belum perlu di-highlight, sebab kita harus menempatkan harapan sebagai inti dari kehidupan. Dengan mencontek cara John Green mengulas, maka mendengar Bacuya dipilih sebagai maskot Piala Dunia FIFA U-20 tahun 2023 memantik renungan, apa yang sudah dan akan kita lakukan terhadap nasib badak bercula satu? Perlu kepekaan, kejujuran dan keberanian untuk memberi skala pada segala aspek perilaku kita.

Makhsun Bustomi penulis dan policy analist, bekerja di pemerintah kota Tegal




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork