Sore itu, ketika matahari bergelayut di langit yang tertutup oleh awan, saya mengunjungi sebuah rumah yang terletak di antara himpitan bangunan rumahan yang penuh sesak di Kalinyamat, Kecamatan Bandungan. Untuk mencapai rumah itu, saya harus melalui sebuah gang sempit yang di sepanjang kanan dan kiri jalan dipenuhi dengan hotel dan karaoke. Karena masih sore, suasana tidak terlalu ramai. Lokasinya tak jauh dari letak Alun-Alun Baru Bandungan serta Pasar Baru Bandungan.
Rumah yang saya kunjungi tak ubahnya rumah warga sebagaimana biasanya. Tak ada yang berbeda. Ketika tiba di depan teras rumah, seorang perempuan paruh baya dengan rambut pirang dan berkulit sawo matang menyambut saya dengan begitu hangat. Perempuan itu tak segan dan mempersilakan saya untuk masuk ke rumahnya. Namanya Dewi Setiawati (48), ia merupakan penggagas perkumpulan pekerja wisata atau Perkawis di Kalinyamat.
Bersamanya saat itu, ada dua perempuan yang sedang duduk manis dan berbincang di dalam rumahnya. Belakangan saya ketahui, ternyata dua perempuan itu adalah Nurul dan Rani. Sosok pekerja seks komersial atau PSK di Kalinyamat yang tinggal di kontrakan kepunyaan Dewi. Kemudian, saya memasuki sebuah ruangan di rumahnya dengan pohon cemara yang tidak terlalu besar menghiasi salah satu sudutnya. Sementara dinding-dinding ruangan begitu ramai dengan foto-foto Yesus dan domba-domba yang tertata dengan baik.
Saya disuguhi secangkir teh hangat dan sepiring roti. Sangat cocok dengan cuaca kala itu yang teramat dingin. Ketika tengah menikmati aroma wangi teh yang menyeruak sembari memandangi foto-foto di sepanjang dinding ruangan, seketika suara tangis bayi pecah dan seolah memenuhi ruangan. Sumber tangis itu ada pada sebuah kamar tak jauh dari tempat saya duduk. Dewi meninggalkan saya sejenak untuk menuju kamar itu. Tak lama, ia keluar lagi dengan menggendong bayi di kedua tangannya.
Kami pun berbincang sembari Dewi menimang bayi yang belum genap satu tahun itu dengan penuh kasih dan sayang. Agaknya saya sedikit kaget ketika Dewi mengatakan bahwa bayi yang ada padanya bukanlah anak kandungnya, melainkan anak asuhnya. Ia menceritakan, anak itu merupakan anak PSK anggota Perkawis yang dititipkan kepadanya. "Karena tak mungkin mereka harus bekerja sembari mengurus anak," tuturnya.
Mengentak Nurani
Dewi mendirikan Perkawis sekitar tahun 2015 silam, tepatnya selepas kepulangannya merantau dari Jakarta bersama suaminya. Ketika itu, ia menghadapi sebuah kasus yang sangat mengentak nuraninya. Seorang pekerja seks komersial di Kalinyamat didapatinya tewas karena overdosis. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya jenazah akan diantarkan ke rumah asalnya sesuai yang tertera di KTP.
Namun, ternyata KTP-nya palsu. Jenazah tidak sampai ke rumah asal. Mereka pun kebingungan, dan hal itu membuat Dewi prihatin. Meskipun pada akhirnya rumah asli dari pekerja itu ditemukan, namun untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa itu, ia memutuskan mendirikan perkumpulan pekerja wisata atau Perkawis.
Meskipun menggunakan terminologi pekerja wisata, Perkawis hanya beranggotakan pekerja seks komersial di area Kalinyamat. Istilah pekerja wisata dipilih karena alasan kemanusiaan. "Istilah semacam wabin, lonte, atau pelacur bagi saya terlalu kasar. Saya hanya melihat mereka sebagai pekerja saja, kerena mereka bekerja di tengah hiruk pikuk pariwisata, tidak lebih," ucap Dewi sembari memanjakan bayi yang kini dipangkunya. Sementara itu, saya menyeruput teh hangat yang sangat wangi itu.
"Perkawis menjadi wadah bagi pekerja seks komersial untuk bekerja dengan aman, sehingga diharapkan tidak ada dampak buruk yang terjadi baik untuk pekerja seks komersial itu sendiri ataupun untuk masyarakat. Saat ini, Perkawis memiliki 70 PSK sebagai anggota."
Selain Dewi, tidak ada pihak lain yang mencoba peduli dengan pekerja seks komersial. Upanya untuk mendirikan Perkawis mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat. Hal ini, menurutnya, lantaran mayoritas warga Kalinyamat adalah pengusaha. Dan, sebagian kecil lainya bekerja kepada pengusaha-pengusaha itu.
"Semua usaha di sini jalan karena ada mereka-mereka ini," ujar Dewi sembari menunjuk dua perempuan yang ada pada sudut lain ruangan. Mereka tampak malu dan sering menyembunyikan wajahnya. Bahkan, sekelas pemerintah dalam lingkup terkecil pun sama sekali tak memiliki andil terhadap usahanya. Jikapun ada hanya sedikit, "Silakan sampeyan ke Pak RT, lalu bertanya seputar pekerja seks komersial di sini. Pasti tidak akan dijawab. Malahan sampeyan disuruh bertemu saya. Ke Bu Dewi aja."
Aturan Ketat
Melalui Perkawis Dewi telah menetapkan beberapa aturan ketat untuk para PSK dan penampungnya dalam bekerja. Hal ini untuk meminimalisasi dampak negatif bagi seluruh pihak: PSK dan masyarakat. Dewi menceritakan, setiap PSK yang datang di Kalinyamat akan didata dan diberikan kartu tanda anggota Perkawis olehnya. PSK harus membayar sepuluh ribu rupiah untuk mengganti biaya cetak. Hal ini lantaran Dewi bekerja swadaya, tidak dibayar dan tidak mendapat bantuan anggaran dari siapapun.
Pendataan ini dilakukan secara ketat sebanyak sekali dalam seminggu untuk menghindari kasus yang sempat membuatnya tersentak dulu. Selanjutnya, pendataan itu akan menjadi alat monitor untuk melakukan tes kesehatan bagi seluruh PSK yang ada di Kalinyamat. Dewi menuturkan, "Tes kesehatan wajib bagi semua PSK di sini, Mas. Kami akan memberikan tanda khusus bagi PSK yang belum melakukan tes kesehatan. Mereka yang sudah melakukan tes sudah diperbolehkan bekerja, sementara yang tidak atau belum melakukan tes, dilarang untuk bekerja. Setidaknya di lingkungan Kalinyamat."
Lebih jauh, untuk memastikan aturan itu dijalankan, Dewi juga menghimpun seluruh pemilik panti dan kos tempat PSK mangkal. Mereka juga diberikan kartu anggota sebagai tanda bahwa aturan yang dibuat oleh Dewi adalah hal serius yang harus dijalankan. Kendatipun demikian, menurutnya, kesadaran PSK terkait penggunaan alat kontrasepsi masih lemah. Hal ini lantaran adanya iming-iming bayaran yang jauh lebih tinggi dari para tamu kepada PSK apabila mau berhubungan tanpa alat kontrasepsi.
Jikapun sudah teguh dalam menggunakan alat kontrasepsi dengan tamu, namun tidak dilakukan ketika bersama pacarnya. Hal ini menyebabkan banyak dari PSK hamil, seringkali tanpa laki-laki yang bertanggung jawab. Karena malu, mereka lebih memilih menggugurkannya dengan berbagai cara. Jikapun dilahirkan, kemudian dibuang. "Baru saja kemarin ada dua anak kembar PSK dimakamkan lantaran meninggal karena digugurkan."
Saya tertegun sejenak mendengar hal itu. Membuang bayi yang dilahirkan tentu pilian yang sangat buruk. Dewi sangat mengecam tindakan-tindakan semacam itu. Sebab itu, ia begitu gigih mengawasi dan mendekati para PSK di Bandungan dengan harapan mereka mau terbuka dengannya. Caranya cukup berhasil. Dewi berhasil mengetahui beberapa dari mereka yang hamil. Bersama suaminya ia mengawal kehamilan PSK hingga masa persalinan untuk menjamin baik ibu dan bayi selamat dan sehat, dan selepas itu si bayi tidak dibuang.
"Saya selalu memberikan dukungan secara psikis kepada mereka. Saya tidak mau bayi di kandungan mereka digugurkan, karena bayi itu memiliki hak hidup yang diberikan Tuhan. Seperti ada semacam kelegaan hati tersendiri ketika bayi itu lahir ke dunia mendapatkan hak hidupnya."
Bertahan Hidup
Selama hampir tujuh tahun Perkawis berdiri, Dewi sudah menangani banyak kasus yang menimpa para PSK di Kalinyamat. Yang paling sering adalah tindakan resek para tamu yang berbuat kasar dengan memukul para PSK. Dewi, tanpa tedeng aling-aling akan selalu membelanya. Melalui Perkawis, Dewi bertekat untuk melindungi para PSK di Kalinyamat agar dapat bekerja dengan aman. Karena, mereka berkeja juga untuk bertahan hidup.
"Mereka di sini karena tidak ada pilihan lain. Mereka harus bekerja banting tulang untuk keluarganya, meski sebetulnya keluarganya tidak tahu tentang pekerjaan mereka. Jika dapat mengubah takdir, mereka tidak ingin seperti ini," ucapnya.
Kegigihan Dewi selama ini bukan tanpa alasan. Deretan cerita dan realitas pahit yang ia alami berkelindan dengan PSK di sekitarnya telah membuatnya tanpa henti berupaya untuk melindungi mereka. "Mengasihi sesama umat manusia" adalah prinsip yang ia pegang teguh selama ini. Tidak peduli siapa dan apakah latar belakangnya.
"Sebisa mungkin jangan hina dan kucilkan para pekerja seks komersial. Mereka tidak ingin seperti ini. Beban mereka sudah sangat berat, yang mereka butuhkan adalah diterima dan dikasihi," pungkasnya.
Firhandika Ade Santury Koordinator Ruma Baca Pustaka Bestari
(mmu/mmu)