Profesi hakim adalah profesi yang mulia atau officium nobile. Terlebih lagi mendapatkan mandat menjadi hakim agung dengan anggapan sebagai hakim senior atau yang diprioritaskan --primus inter pares. Namun, ketika kejadian miris (unpredictable incident) justru terjadi di tubuh Mahkamah Agung (MA) sendiri pada 23 September lalu, di mana KPK resmi menahan salah satu hakim agung Kamar Perdata dalam kasus suap pengurusan perkara di MA, keadaan dilematis semacam ini memunculkan tanda tanya besar, akankah keadilan yang selama ini dicari dapat dibayar dengan kertas rupiah?
Dan, terkesan keadilan hanya bagi mereka yang memiliki materi yang melimpah sehingga dapat melakukan praktik jual beli perkara semaunya. Ini menandakan bahwa ada yang keliru dalam sistem pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh MA dan Komisi Yudisial (KY). Di samping itu, hal yang tidak kalah pentingnya ialah merosotnya profesionalitas hakim, ditambah dengan proses rekrutmen yang cenderung "politis".
Rekrutmen Politis
Berangkat dari proses rekrutmen calon hakim agung yang problematis dan cenderung politis, mengingat proses rekrutmen calon hakim agung termaktub dalam UUD 1945 Pasal 24A ayat (3) yang kurang lebih berbunyi: calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial kemudian diusulkan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya baru ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Diatur juga dalam UU No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 1 Tahun 2014 Tentang Seleksi Calon Hakim Agung.
Jika memperhatikan alur pada format aturan tersebut, maka seolah-olah DPR dan Presiden (Legislatif dan Eksekutif) memiliki posisi yang superior ketimbang hakim (Yudikatif). Artinya, intervensi dan pengaruh politis sangat besar peluangnya dalam proses rekrutmen calon hakim agung. Dalam proses rekrutmen calon hakim agung seharusnya lebih transparan, bersih, dan terbebas dari unsur "politis". Kelihatannya ada ketidakseimbangan antarlembaga dan jauh dari konsep trias politica.
Perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidaklah menganut paham trias politica meskipun perumus UUD 1945 sangat terpengaruh dengan paham trias politica. Lebih lanjut memperhatikan, jika yang menjadi pertimbangannya ialah checks and balances, maka seharusnya checks and balances tidak dalam konteks mekanisme atau alur rekrutmen calon hakim agung namun dalam hal lain misalnya dalam mengawasi kinerja hakim atau lembaga, karena ini merupakan salah satu titik krusial dalam menjaga independensi hakim.
Kemudian, dalam hal pembukaan pendaftaran calon hakim agung seharusnya KY dan MA bekerja sama dengan cara menjemput bola dalam artian terjun langsung ke lapangan untuk melihat langsung kinerja para hakim dan melakukan seleksi tertutup terhadap kandidat yang kira-kira dirasa cocok menjadi calon hakim agung baik dengan memperhatikan, rekam jejak (track record) dan kapasitasnya selama menjadi hakim di peradilan agar dapat mengangkat calon hakim agung yang berkualitas dan berintegritas.
Proses rekrutmen hakim meskipun keliatan sederhana namun sangat krusial. Implikasinya tentu pada proses penegakan hukum yang tidak bersih. Yang terjadi dewasa ini malah sebaliknya, dan ada yang menarik dalam tulisan dosen kami Zainal Arifin Mochtar bahwa "semakin seorang hakim dianggap bersih dan didukung oleh banyak masyarakat sipil, biasanya semakin tidak terpilih. Terkadang sebaliknya, hakim-hakim yang mendapatkan catatan dari masyarakat sipil, malah semakin menjadi favorit politisi".
Pengawasan dan Pembinaan
Pengawasan seringkali dirasakan sebagai penghalang bagi berlangsungnya kemandirian kekuasaan kehakiman, tetapi jika tidak dilakukan maka akan timbul suatu kesewenang-wenangan. Pengawasan terhadap badan peradilan yang bersifat internal dilakukan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI (Bawas MARI) dan secara eksternal dilakukan oleh KY yang secara bersama-sama bersinergi mengawasi badan peradilan sesuai dengan kewenangan dan tugas pokok masing-masing.
Struktur organisasi pengawasan masih mengandung kekurangan yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan sehingga perlu ada restrukturisasi organisasi pengawasan, penguatan SDM pelaksana fungsi pengawasan dan penggunaan parameter pengawasan yang objektif. Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat bahwa terdapat beberapa masalah dalam pengawasan terhadap hakim, misalnya kurang maksimal dalam hal pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh MA terhadap hakim, juga kurang tegasnya MA dalam menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran kode etik dan sanksi yang diberikan rata-rata bersifat administratif sehingga disiplin dan integritas hakim menurun.
Selain itu, pengawasan eksternal melalui KY belum menjadi lembaga yang "ditakuti" oleh para hakim dan wewenang KY pun masih terbatas, pengawasan yang dilakukan oleh KY hanya bersifat rekomendasi dan tidak dapat memenjarakan. Kemudian dengan personel yang terbatas maka tentu pengawasan terhadap kinerja hakim pun kurang maksimal mengingat bahwa ada banyak peradilan di tingkat Kabupaten maupun tingkat provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sekalipun hakim memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 047/KMA/SKB/IV/ 2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009, namun tetap saja praktik negatif selalu kita saksikan.
Pada dasarnya, kode etik tersebut dirumuskan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim. Namun, ada yang menarik dalam sistem pengawasan, para hakim kelihatannya tidak takut dengan pengawasan yang dilakukan oleh MA dan KY namun lebih takut apabila ada KPK yang mengintai dalam hal tindak pidana korupsi misalnya, karena KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Maka, hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembinaan dan pengawasan ialah ketegasan dan sanksi yang dapat memberikan efek jera terhadap para pelanggar dan pelaku tindak pidana.
Integritas Hakim
Hakim ialah penjaga gawang terakhir dari keadilan, lalu bagaimana keadilan dapat ditegakkan ketika hakim mengalami degradasi moral? Keadilan bukan hanya berbicara tentang apa yang menjadi titah undang-undang (legal justice), tetapi lebih dari itu dan melibatkan prinsip-prinsip moral (moral justice). Menurut Franz Magnis Suseno, profesionalitas yang tinggi dapat dimiliki apabila mencapai tingkat integritas moral yang memadai, sebab profesionalitas bukan hanya memiliki keahlian semata tetapi kualitas dalam bekerja yang melampaui keahliannya. Salah satu ciri orang yang memiliki integritas moral ialah tidak main kotor.
Kasus suap pengurusan perkara yang terjadi di MA menyisakan luka yang mendalam karena dalam hati dan harapan (publik) sebagai pencari keadilan, hakim ialah orang yang memiliki integritas tinggi, tidak main kotor, tidak menipu, tidak munafik, dan memiliki akhlak terpuji. Sesuai dengan ungkapan bahwa hakim ialah wakil Tuhan yang memiliki akhlak Tuhan (Teomorfik). Hal ini tercermin dalam setiap putusan hakim di Indonesia yang diawali dengan irah-irah atau ungkapan religius "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Namun bagaimana jadinya jika asumsi publik itu dikhianati dan dihadapkan dengan potret perilaku hakim agung yang menjual keadilan demi kertas rupiah. Lalu, mau dibawa ke mana keadilan di negeri ini? Tidak dapat dipungkiri bahwa misi suci (mission sacre) hakim untuk menegakkan keadilan memang sulit di samping banyak rintangan dan godaan. Kendatipun demikian, misi suci harus tetap ditegakkan teringat old maxim bahwa fiat justitia ruat caelum --keadilan harus tetap ditegakkan meskipun langit akan runtuh.
Dalam pandangan KY, prinsip integritas itu sebagai sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Dalam konteks jabatan hakim selaku pejabat negara yang ditugasi menegakkan hukum dan keadilan, unsur integritas calon hakim dapat diperoleh melalui rekrutmen dan seleksi yang sehat, bersih, transparan, dan adil. Namun demikian, integritas itu harus dipupuk dan dikembangkan secara berkelanjutan melalui pembinaan.
Jika seorang hakim memiliki integritas, dengan sendirinya ia memiliki potensi, dan kemampuan yang pada akhirnya akan melahirkan kewibawaan dan kejujuran. Kita hanya dapat berdoa, berharap, dan stay positive semoga upaya MA dalam mewujudkan peradilan yang agung serta melahirkan hakim-hakim yang berintegritas dapat benar-benar direalisasikan, tentu harapan ini harus terus digaungkan dan diingatkan oleh segenap masyarakat sebagai pengawas publik.
Kolom
Merosotnya Integritas Hakim

Ahmad Fadli Fauzi
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta -