Berbagai kebijakan dibuat pemerintah untuk menggenjot kualitas pendidikan nasional. Kebijakan teranyar adalah dengan diluncurkannya Program Merdeka Belajar yang hingga kini telah berada pada episode ke-21. Konon, kebijakan yang digagas oleh Nadiem Makarim itu bertujuan untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul yang memiliki profil pelajar Pancasila.
Namun sayang, dari seluruh episode Merdeka Belajar tersebut, hanya ada satu episode saja yang berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas guru: Episode 5, Guru Penggerak. Sementara guru merupakan unsur terpenting dalam dunia pendidikan. Guru ibarat roda, menjadi penggerak pendidikan. Maju mundurnya kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Maka idealnya, porsi untuk guru tidak cukup hanya satu episode saja.
Bahkan jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendidikan nasional, maka yang seharusnya didahulukan bukanlah kebijakan Merdeka Belajar, tetapi kebijakan memerdekakan guru. Negara-negara yang pendidikannya telah maju, seperti Jepang atau Finlandia, misalnya, melakukan hal yang sama. Hal pokok yang mereka kerjakan bukanlah menggonta-ganti kurikulum, namun terlebih dahulu memperbaiki kualitas guru-gurunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab ketika guru berkualitas, mereka akan mampu mengembangkan kurikulumnya sendiri tanpa harus diintervensi pemerintah. Namun jika sebaliknya, mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Bahkan ketika pemerintah menyiapkan kurikulum terbaik pun, guru-guru akan kesulitan mengimplementasikannya. Kurikulum Merdeka, misalnya, ada banyak guru yang mengeluh kesusahan menerapkannya, jika tidak ingin disebut menyerah.
Puluhan episode dalam kebijakan Merdeka Belajar, menurut saya, masih belum menyentuh permasalahan pokok pendidikan (masalah di hulu). Namun, lebih pada penyelesaian masalah-masalah di hilir saja. Jika kebijakan semacam itu, yang telah menghabiskan anggaran yang cukup besar, masih tetap dipertahankan, impian pendidikan berkualitas sangat mungkin hanya sekadar angan-angan saja yang kita tak tahu kapan angan-angan itu akan terwujud.
Kebijakan terkait penyelesaian permasalahan guru, harus ditempatkan pada posisi puncak. Salah satunya adalah dengan mengubah pola perekrutan guru. Mayoritas guru saat ini, terlebih di sekolah-sekolah negeri, perekrutannya belum sepenuhnya memperhatikan tingkat kompetensi kepribadian, pedagogis, sosial, dan profesional mereka, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Terlebih guru-guru yang berstatus honorer, mereka kerap diterima di sekolah-sekolah bukan karena mereka berkualitas, namun karena faktor kedekatan dengan kepala sekolah, atau titipan dari pejabat dinas pendidikan atau pejabat-pejabat daerah lainnya. Bahkan tidak jarang pula ada guru honorer yang dititipkan oleh kepala daerah. Adanya iming-iming akan diangkat jadi ASN menjadi salah satu penyebab maraknya aksi titip-menitip itu.
Hal semacam ini sudah lama terjadi. Bahkan penerimaan calon guru PNS, pelaksanaannya baru mulai membaik dan lebih transparan sejak 2013 dengan sistem CAT (Computer Assisted Test). Sebelumnya, ada banyak pelamar harus menyogok agar diterima menjadi guru PNS. Dan mereka yang menyogok itu masih aktif sebagai guru hingga sekarang. Maka kita dapat membayangkan bagaimana kualitas pembelajaran berlangsung di ruang-ruang kelas.
Pola rekrutmen seperti apa yang harus dilaksanakan pemerintah? Pertama, harus dimulai dari perguruan-perguruan tinggi "pemroduksi" calon guru. Seluruh program studi di perguruan-perguruan tinggi itu sebaiknya serendah-rendahnya berakreditasi Unggul. Sebab sudah seharusnya seorang calon guru belajar dengan suasana kampus berkualitas terbaik, oleh para tenaga pengajar terbaik pula, dan fasilitas perkuliahan yang lengkap dan modern.
Lalu, bagaimana jika di sebuah daerah atau provinsi, misalnya, tidak ada perguruan tinggi keguruan berakreditasi Unggul? Di sinilah pemerintah harus hadir. Anggaran untuk sektor pendidikan jumlahnya cukup besar. Sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mampu meningkatkan kualitas perguruan-perguruan tinggi keguruan yang ada saat ini menjadi perguruan tinggi keguruan berakreditasi Unggul bahkan berakreditasi Internasional.
Selain itu, seleksi masuk perguruan tinggi keguruan juga harus dilaksanakan dengan sangat ketat. Harus jauh lebih ketat ketimbang program-program studi non-keguruan. Di samping seleksi masuk yang superketat, setiap calon mahasiswa keguruan juga diharuskan mengikuti ujian kompetensi kepribadian, pedagogis, sosial, dan kompetensi profesional. Sehingga mahasiswa yang nantinya diterima benar-benar pribadi yang siap menjadi guru.
Sebab tak dapat dimungkiri, saat ini, ada banyak mahasiswa keguruan yang passion-nya tidak sebagai guru. Namun mereka tetap memilih untuk masuk perguruan tinggi keguruan. Kenapa? Ada banyak alasan. Salah satunya adalah persaingan masuk di program studi keguruan dinilai lebih mudah ketimbang non-keguruan. Alasan lainnya, mereka tergiur dengan gaji guru yang saat ini kian membaik ditambah lagi adanya tunjangan profesi guru.
Dan terbukti, sejak kebijakan sertifikasi guru dikeluarkan pemerintah, jumlah mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi keguruan membludak, dari yang sebelumnya sepi peminat. Namun ternyata, tingginya animo masyarakat untuk masuk perguruan tinggi keguruan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas kampus dan perkuliahan. Selain itu, jumlah lulusan yang lebih besar daripada permintaan guru, mengakibatkan banyak sarjana pendidikan yang akhirnya bekerja di sektor non-pendidikan.
Maka hal ini juga harus menjadi perhatian pemerintah. Selain seluruh program studi harus serendah-rendahnya berakreditasi Unggul serta seleksi masuk yang lebih ketat sebagaimana telah saya tulis di paragraf sebelumnya, jumlah mahasiswa keguruan yang diterima setiap tahunnya juga harus dibatasi sesuai dengan seberapa banyak permintaan dari sekolah-sekolah.
Bagaimana caranya? Sebuah aturan harus dibuat yang mewajibkan setiap pemerintah daerah menjalin kerja sama dengan salah satu atau beberapa perguruan tinggi keguruan. Dengan kerja sama tersebut, pemerintah daerah nantinya akan menyampaikan kepada perguruan-perguruan tinggi itu berapa banyak guru yang dibutuhkan. Dengan begitu, pihak perguruan tinggi akan dapat merencanakan berapa banyak mahasiswa yang akan diterima.
Selanjutnya, lulusan perguruan tinggi keguruan itu nantinya akan kembali diseleksi dengan sangat ketat oleh pemerintah daerah. Dengan pola rekrutmen seperti itu, pemerintah akan mendapatkan guru-guru terbaik: guru-guru yang berkepribadian baik, yang profesional, yang memiliki kemampuan mengajar dan mendidik yang baik, serta guru-guru yang memiliki kemampuan bersosial, bergaul, bermasyarakat, dan berkomunikasi, yang baik dan efektif.
Satu lagi yang mungkin dapat dilakukan pemerintah untuk merekrut guru-guru terbaik adalah dengan mengadopsi cara perekrutan pegawai seperti yang dilakukan oleh beberapa kementerian/lembaga, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah kedinasan. Nantinya, sekolah-sekolah kedinasan itu akan menjadi tempat untuk menggembleng calon-calon guru untuk menghasilkan guru-guru terbaik yang nantinya akan menjadi penggerak di sekolah-sekolah di mana mereka ditempatkan.
Tapi, di atas semua itu, satu hal yang tidak kalah penting yang mesti diperhatikan pemerintah adalah kesejahteraan guru. Sebab, ketika guru-guru terbaik telah didapat, maka sangat wajarlah mereka diberi upah yang layak. Sistem pengupahan saat ini masih menimbulkan munculnya "kasta" di sekolah. Ada guru ASN bersertifikat pendidik: kasta tertinggi di sekolah. Selanjutnya, guru ASN belum bersertifikat. Dan kasta terendah, guru honorer. "Kasta-kastaan" ini harus segera diakhiri dengan sistem penggajian yang layak dan berkeadilan.
Hermanto Purba Guru Bahasa Inggris di SMP N 2 Pakkat Humbang Hasundutan, Calon Guru Penggerak
Simak juga 'Klarifikasi Nadiem Makarim soal 'Shadow Organization' di Kemendikbud':