Mendidik murid di tengah derasnya digitalisasi dan pasca kondisi pandemi Covid-19 bukanlah hal mudah. Sebagai generasi milenial, saya sebagai seorang pendidik memiliki pengalaman di mana saya berada pada zaman sebelum teknologi berkembang begitu pesat. Saya menyadari banyaknya perbedaan-perbedaan dalam kegiatan pembelajaran dan pengalaman belajar di sekolah baik saat masih duduk di bangku sekolah sebagai siswa maupun sebagai guru.
Tulisan ini berawal dari kegelisahan saya saat menghadapi peserta didik di zaman teknologi masa kini. Saat mengetahui realitas pendidikan di mana peserta didik banyak yang mengalami learning loss (menurunnya pengetahuan dan keterampilan siswa baik secara spesifik maupun umum) saat pandemi, serta cultural shock akibat budaya belajar daring yang menuntut untuk menggunakan teknologi.
Banyak peserta didik yang putus sekolah akibat adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau pembelajaran daring yang memerlukan gawai dan kuota internet. Selain itu, pengendalian terhadap murid yang berada di rumah sulit dijangkau oleh guru merupakan rentetan tantangan pendidikan. Pun setelah berangsur-angsur pembelajaran mulai luring, kegiatan belajar mengajar tidak langsung berjalan sebagaimana mestinya.
Ditambah adanya perubahan kurikulum menjadi deretan tugas yang harus dilakukan oleh guru. Tidak sampai di situ, banyak orangtua murid yang mengeluh tentang betapa sulitnya mendidik anak di rumah. Bukan hanya learning loss, tetapi pembiasaan karakter atau budaya positif pun sulit untuk dilakukan.
Saya sering bergumam, "Kok gini ya, perasaan dulu saya nggak seperti ini. Dulu saya...." Pada akhirnya berujung pada membanding-bandingkan proses serta kemampuan belajar siswa dengan yang pernah saya alami dulu. Padahal sudah semestinya saya berpegang bahwa "setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya."
Karena kegelisahan tersebut, saya melakukan penelitian kecil dengan pengamatan dan berbincang dengan murid saya di sekolah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk asesmen diagnostik dan survei lingkungan belajar siswa. Fungsinya adalah memperoleh informasi yang lengkap mengenai siswa mulai dari kelebihan, kesulitan belajar, metode pembelajaran yang disukai, latar belakang sosial budaya siswa, latar belakang ekonomi keluarga serta karakteristik siswa yang bisa dijadikan acuan dalam merencanakan pembelajaran yang efisien serta memberi tindak lanjut yang tepat.
Salah satu hasil temuan menunjukkan bahwa yang dibutuhkan siswa saat berada di sekolah adalah guru yang relate dengan mereka. Mengapa saya gunakan kata "relate"? Kata "relate" adalah istilah gaul yang sering digunakan oleh netizen belakangan ini dan banyak berseliweran di media sosial. Kata "relate" berasal dari Bahasa Inggris yang secara verba memiliki tujuh arti, yaitu "memaparkan", "mengisahkan", "menceritakan", "mempertalikan", "menghubungkan", "berkenaan", dan "berhubungan dengan".
Dalam bahasa gaul, relate dimaknai berhubungan, menunjukkan posting-an yang diunggah melalui media sosial pernah atau dialami seseorang. Pendidikan yang merdeka berarti guru dengan murid memiliki perasaan yang gembira baik sebelum, saat, maupun setelah pembelajaran. Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, guru tidak bisa membawa murid ke masanya dahulu.
Guru harus menciptakan pengalaman belajar yang relate dengan muridnya yang juga sebagai generasi Z (lahir tahun 1997-2012). Di mana manga, game online, K-Pop/K-drama, TikTok maupun media sosial lainnya adalah pilihan yang mengasyikkan bagi mereka dibandingkan mendengarkan ceramah dari guru. Meskipun menjadi relate dengan murid bukan strategi jitu untuk menciptakan pendidikan yang merdeka, hal ini patut dicoba oleh guru sebagai upaya bangkit lebih kuat.
Menjadi dekat dengan murid --di mana sekarang kita berada di zamannya mereka-- is my dream. Tentunya dengan sebuah batasan dan memegang adab agar pendidik tidak kehilangan marwahnya. Menciptakan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, melepas penat dari masalah yang ada di rumah adalah cita-cita. Sehingga bukan lagi masalah perubahan kurikulum yang perlu dibahas. Tetapi media, metode, ataupun strategi pembelajaran yang tepat dan menyenangkan.
Bukan hanya sekadar menyenangkan, tapi juga tepat, efisien, dan efektif untuk diterapkan. Kolaborasi dengan berbagai pihak yang lebih berpengalaman juga mampu memberikan wawasan tentang bagaimana tantangan perubahan zaman akan semakin kompleks. Memanfaatkan apa yang disukai dan dialami oleh murid sebagai media pembelajaran bisa memudahkan dalam proses mendidik.
Kekhawatiran mengenai kemampuan dan pengetahuan akademis yang menurun bukanlah satu-satunya masalah dalam pendidikan. Karakter dan akhlak yang mengalami kemunduran merupakan tantangan bagi guru. Peserta didik lebih mudah menyerap dan meniru dari yang mereka sukai. Melihat banyaknya konten kurang mendidik yang tidak seluruhnya dapat terfilter dengan baik menjadi pemicu banyak masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Saya berharap menjadi relate dengan murid tidak disalahartikan dengan pandangan yang negatif bahwa nanti murid bisa semena-mena dengan guru. Sebagai orang dewasa di sekolah kita yang paling tahu porsi relate yang harus diterapkan. Sehingga murid tidak segan untuk menyampaikan permasalahan yang mereka alami. Menyampaikan permasalahan pada orang yang tepat lebih baik dibandingkan terjerumus dan justru malah menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang.
Silvia Noviana N, S.Pd guru
(mmu/mmu)