Kolom

Merevolusi Lembaga Penegakan Hukum

Rendi Yudha Syahputra - detikNews
Selasa, 23 Agu 2022 14:30 WIB
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/AndreyPopov
Jakarta -
Drama pembunuhan berencana yang ramai diperbincangkan dan memenuhi lini masa beberapa pekan terakhir,harusnya membuat rakyat mulai tersadar bahwa psiko-hierarki dan psiko-politik dalam penegakan hukum adalah nyata dan merupakan ancaman serius bagi supremasi hukum di negeri ini.

Istilah psiko-hierarki secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu keadaan batin yang terbelenggu akibat adanya posisi atau kedudukan yang lebih rendah, sehingga cenderung tidak mampu berbuat apapun selain mengikuti atau menuruti keinginan pihak yang posisinya lebih tinggi. Sedangkan psiko-politik secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu keadaan batin yang terbelenggu akibat adanya relasi kelompok atau kubu, sehingga cenderung tidak mampu berbuat apapun selain mengikuti atau menuruti keinginan kelompok tersebut. Psiko-politik secara spesifik mungkin dapat juga disebut dengan psiko-grup.

Menyeruaknya istilah psiko-hierarki dan psiko-politik ke permukaan tentu tidak lepas dari potret penegakan hukum pidana yang dirasa telah mencampakkan keadilan dengan dua bentuk khasnya, yaitu penegakan hukum "tebang pilih" dan "tajam ke bawah". Seakan-akan prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) sudah tidak berlaku lagi di negeri ini.

Ketika suatu lembaga penegakan hukum gemar mempertontonkan praktik tebang pilih dan tajam ke bawah, maka itu sebenarnya menjadi sebuah tanda bahwa sistem tata kelola dan tata kerja organisasi lembaga tersebut perlu dievaluasi karena tidak mampu memberikan jaminan penegakan hukum yang adil. Artinya, sistem tata kelola dan tata kerja organisasi yang digunakan, cenderung melahirkan praktik-praktik ketidakadilan di lapangan penegakan hukum.

Lembaga penegakan hukum mestinya menjadi contoh bagaimana prinsip-prinsip hukum direalisasikan dalam tata kelembagaan, seperti misalnya dengan membangun sistem tata kelola dan tata kerja organisasi yang mengarah pada terwujudnya "budaya hukum". Budaya ini dimaksudkan untuk menciptakan insan-insan penegak hukum yang menjunjung tinggi dan setia kepada hukum (menempatkan hukum sebagai sentral). Bukan malah melestarikan budaya yang sebaliknya, yaitu "budaya kekuasaan". Sebuah budaya dogmatis yang menempatkan pemegang tampuk kekuasaan sebagai sentral. Budaya ini lebih banyak melahirkan "hamba-hamba" yang terlampau setia pada "Raja"nya dan sangat rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Jika budaya hukum melihat segala sesuatu dengan kacamata hukumnya (peraturan perundang-undangan), maka budaya kekuasaan melihatnya sesuai dengan kacamata orang yang berkuasa. Lalu bagaimana ketika misalnya yang berkuasa pada suatu lembaga penegakan hukum adalah "oknum"? Apakah lembaga lain seperti Kepresidenan atau Kementerian atau Komisi Nasional atau bahkan rakyat sendiri harus ikut mengawal setiap perkara di Negeri ini supaya keadilan dapat terjaga dan hak-hak rakyat dapat terlindungi?

Budaya Hukum versus Budaya Kekuasaan

Membangun tata kelola dan tata kerja organisasi berbudaya hukum pada lembaga penegakan hukum, lebih menjamin kepastian akan hak-hak rakyat dibandingkan dengan tata kelola dan tata kerja organisasi berbudaya kekuasaan. Hal ini disebabkan adanya prinsip kesetaraan dalam budaya hukum yang tidak dimiliki oleh budaya kekuasaan. Budaya kekuasaan menganut prinsip ketidaksetaraan yang tercermin dari adanya pembagian golongan, kasta, serta tingkatan derajat yang membentuk suatu hierarki dan bersifat sentralistik.

Berawal dari pembedaan tersebut, kemudian disematkan anggapan bahwa golongan/kasta/derajat yang lebih tinggi selalu benar dan yang lebih rendah selalu salah. Anggapan ini secara tidak langsung memunculkan konsep "raja" (selaku pihak yang benar) dan "hamba" (selaku pihak yang salah), di mana seorang hamba harus tunduk pada rajanya (satya haprabu).

Lalu secara psikologis menyebabkan adanya penegak hukum dengan status raja dan penegak hukum dengan status hamba, yang di kemudian hari menjadi cikal bakal gangguan psiko-hierarki dan psiko-politik. Artinya, penegakan hukum yang notabene dimaksudkan untuk melindungi hak-hak rakyat, menjadi kabur arahnya karena peran raja maupun raja-raja kecil dalam tata kelola dan tata kerja organisasi penegak hukum itu sendiri.

Berbeda halnya dengan budaya hukum. Budaya ini tidak mengenal adanya pembagian kasta maupun derajat. Tidak mengenal adanya penegak hukum berstatus hamba maupun penegak hukum berstatus raja. Malahan, setiap insan penegak hukum menempatkan dirinya pada posisi yang sejajar yaitu sama-sama sebagai "hamba" yang mengabdikan diri pada hukum (menjadikan hukum sebagai rajanya). Jadi, hukum betul-betul memegang peranan sentral dalam penegakan hukum, sehingga hak-hak rakyat menjadi lebih terlindungi.

Dalam tata kelola dan tata organisasi berbudaya kekuasaan, kejahatan yang dilakukan oleh raja, kelompok raja ataupun yang mendapat restu dan dilindungi raja akan amat sangat sulit dibongkar. Mengapa? Karena "kebenaran" mutlak ada di tangan sang raja. Walaupun kejahatan itu terang benderang dan jelas-jelas mengangkangi hak-hak rakyat, tetap akan dianggap sebagai sesuatu hal yang benar.
Kemudian ketika hamba ataupun kelompok hamba mencoba melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut (baca: tanpa pandang bulu), akan dianggap sebagai sesuatu hal yang salah. Selanjutnya, hamba-hamba "bersalah" ini akan diberikan label radikal, pengkhianat, pembangkang, dan sebagainya oleh sang raja. Setelah itu, penyandang label-label tersebut akan dihukum tanpa melalui proses beracara yang layak dengan tindakan kekerasan maupun administratif seperti pemukulan, penyiraman air keras, penembakan, penjara, mutasi dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, keadaan ini akan membuat penegakan hukum menjadi tebang pilih dan tajam ke bawah, karena semangat penegakan hukum sudah bukan lagi untuk memberantas semua kejahatan, melainkan hanya untuk membasmi mereka yang berseberangan atau menjadi lawan dari sang raja. Law enforcement is not for killing the criminals, but for killing the opponents.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa psiko-hierarki dan psiko-politik yang dipopulerkan oleh Menkopolhukam sejatinya merupakan "anak kandung" dari budaya kekuasaan. Kemudian, pengembangbiakan budaya kekuasaan dalam tata kelola dan tata kerja organisasi lembaga penegakan hukum, melahirkan dua macam penegak hukum yaitu penegak hukum dengan status "selalu benar" dan penegak hukum dengan status "selalu salah", yang menjadi faktor penyebab adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Supaya dapat menegakkan hukum dengan adil, lembaga penegakan hukum yang menganut budaya kekuasaan harus senantiasa mendapat pengawalan langsung dari lembaga lain maupun rakyat. Artinya, lembaga lain maupun rakyat harus rela meluangkan waktu (atau bisa dikatakan mendapat pekerjaan tambahan) untuk selalu dan selalu mengawasi secara langsung setiap penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum tersebut. Jika pengawasan semacam itu mustahil untuk dilakukan, maka mau tidak mau harus dilakukan revolusi budaya dalam lembaga penegakan hukum tersebut. Panjang umur keadilan, panjang umur perjuangan!
Rendi Yudha Syahputra praktisi dan pemerhati hukum



(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork