Saat peringatan kemerdekaan negeri ini yang ke-77 dan di tengah keprihatinan atas dunia hukum yang tercoreng martabatnya oleh sekian banyak oknum penegak hukum, penyair besar Chairil Anwar seperti mengingatkan kembali dengan keras pentingnya kemerdekaan hukum agar terhindar dari keadaan yang Bungkuk jalannya — Lesu/Pucat mukanya — Lesu.
Petikan kalimat yang terakhir itu diambil dari sajak Chairil berjudul Hukum, bertiti mangsa 1943, artinya dibuat beberapa tahun sebelum hari proklamasi. Sebuah sajak yang termasuk jarang dibidik sebagai objek analisis, namun mengandung kecemerlangan seorang Chairil dalam membaca realitas saat itu, dan saya kira masih relevan kandungan pergulatannya hingga saat sekarang. Lebih lengkap sajak itu tertulis (dikutip dari Chairil Anwar, Aku ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2011):
HUKUM
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya — Lesu
Pucat mukanya — Lesu
Pucat mukanya — Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Maret 1943
Lirik Saban sore ia lalu depan rumahku menunjukkan, di mata penyair, hukum menjelma dalam sesosok subjek yang berjarak dengan penyair. Bagi pembaca yang pernah belajar hukum barangkali akan tergoda untuk menafsirkan larik tersebut bahwa Chairil sedang mengartikan hukum sebagai petugas yang menjalankan norma-norma dan prosedur yang memaksa. Tentu saja hukum bisa berwajah jamak pada level diskursus, baik sebagai sistem, nilai, filsafat, undang-undang, atau penampakan di pengadilan.
Lirik Saban sore ia lalu depan rumahku menunjukkan, di mata penyair, hukum menjelma dalam sesosok subjek yang berjarak dengan penyair. Bagi pembaca yang pernah belajar hukum barangkali akan tergoda untuk menafsirkan larik tersebut bahwa Chairil sedang mengartikan hukum sebagai petugas yang menjalankan norma-norma dan prosedur yang memaksa. Tentu saja hukum bisa berwajah jamak pada level diskursus, baik sebagai sistem, nilai, filsafat, undang-undang, atau penampakan di pengadilan.
Tilikan Chairil unik, mengambil unit paling mikro: hukum yang dialami subjek. Jika otentisitas pengalaman merasakan dunia, termasuk hukum, hanya mungkin tersingkap pada diri subjek, maka teks hukum yang tertera pada undang-undang dan proses yang memungkinkan sebuah norma ditegakkan sampai pada putusan pengadilan, belumlah menyingkap hukum keseluruhan. Subjek yang merasakan boleh jadi akan berbicara banyak hal dan melampaui teks dan proses itu. Kandungan "banyak hal" mungkin terkait apakah subjek itu sedang diisap, diperlakukan tidak setara, didominasi, dipaksa, dimanupalasi, dan seterusnya.
Dalam buku biografi tentang penyair ini garapan Hasan Aspahani (2017) termuat kata-kata Chairil: Ketika saya berbicara tentang diri saya sendiri, di dalam sajak saya, maka itu artinya saya sedang berbicara tentang perasaan dan pikiran masyarakat saya. Dikaitkan dengan larik dalam sajak di atas, maka posisi penyair (yang mewakili "pikiran dan perasaan masyarakat") sedang menyaksikan hukum hanya ber-"lalu" terus-menerus di depan "rumah" aku-lirik. Hukum yang menjauh dari ruang publik. Penggunaan kata "sore" pada larik sajak ini ikut menggambarkan konteks berlangsungnya senjakala dunia hukum.
Kita mengetahui bahwa saat sajak itu dibuat Chairil, kolonialis Jepang masih bercokol bersama perangkat hukumnya beserta propaganda kolektivisme. Sebagian warisan hukum kolonialis Belanda (dengan fondasi individualisme) juga masih diterapkan lewat Pasal 131 Indische Staatsregeling, antara lain perihal pembagian kategori penduduk dan hukum yang dianutnya: Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera. Namun Chairil, dalam bangunan puitiknya, tidak mencirikan sisi individualistik yang banyak dilekatkan pembacanya atau mendayung di antara dua paham besar tersebut, melainkan bergerak pada arus hukum di aras praksis atau apa yang kerap disebut para ahli hukum sebagai law in action.
Pada titik inilah, sajak Chairil ini masih relevan dibaca. Jantung law in action adalah masalah penafsiran. Ketika penafsiran bekerja, persoalan bukan semata-mata penormaan hukum yang baik atau buruk belaka, namun siapa yang mengendalikan penafsiran atas norma dan proses bekerjanya hukum. Salah satu pendapat Taverne, seorang ahli hukum Belanda yang pendapatnya berkali-kali diikuti oleh para ahli hukum lainnya, masih penting diungkapkan kembali (dikutip dari Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, 2009):
Geef me goede Rechters, goede Rechters Commissarissen, goede Officieren Van Justitie en goede Politie Ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprocesrecht goed bereiken" (Berikan saya hakim yang baik, hakim pengawas yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka penegakan hukum akan berjalan walaupun dengan hukum pidana yang buruk).
Maka, ungkapan baris kedua sajak Chairil, Dalam baju tebal abu-abu, merupakan sebentuk kepiawaian Chairil dalam melaksanakan kredo sajaknya yang kemudian ditegaskan dalam pidato Chairil tahun 1946 (vide Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara, Horison/Yayasan Indonesia, 2000) lewati kata-kata Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materie), dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya....
Dikaitkan dengan sajak Hukum, Chairil tidak melakukan korespondensi pada baju yang biasa dikenakan oleh aparat hukum semisal hakim, jaksa, atau pengacara. Katakanlah diksi baju toga yang berwarna hitam. Chairil melakukan abstraksi setidaknya pada tiga aras sekaligus: norma hukum, yurisdiksi hukum, dan penegakan hukum. Penyebutan "abu-abu" mempertegas abstraksi tersebut ketika jantung di ketiga aras itu bermuara pada penafsiran hukum, sebagaimana komunitas hukum kerap mengatakannya dengan istilah "wilayah abu-abu" untuk mengidentifikasi kandungan norma yang ambigu, kabur, atau dilematis.
Pembacaan ini konsisten dengan ungkapan di bait selanjutnya sajak Chairil yang berbunyi: Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul. Subjek yang "jerih memikul" dan "Banyak menangkis pukul" merupakan situasi ruang publik yang diintervensi sedemikian rupa sehingga memperoleh beban berat untuk secara bebas melakukan produksi pemaknaan pada adat, institusi, dan kelangsungannya.
Pemaksaan penafsiran atas aturan dan konstruksi dunia hukum dipenuhi suara-suara liyan yang ganjil di luar nalar, kepatutan, dan kebiasaan. Ada juru tafsir yang menyebarkan pukulan dominasi narasi secara berulang. Pada gilirannya subjek yang bertubi-tubi didominasi, bahkan dengan kekerasan, menjadi subjek yang -- menggunakan diksi Chairil sendiri dalam bait selanjutnya di puisi ini-- "lesu" penafsirannya.
Subjek yang lesu ini hampir sepadan sebagai objek belaka yang rentan dieksploitasi, melahirkan keadaan "Bungkuk jalannya", dan harus tunduk pada sang juru tafsir yang berwatak kolonial. Akibatnya, represi dan kejutan-kejutan politik yang tak henti-henti pada tubuh subjek terkristal dalam kiasan "Pucat mukanya".
Selanjutnya, Chairil ingin keluar dari tekanan ini sebagaimana tertulis dalam bait keempat puisi Hukum: Orang menyebut satu nama jaya/ Mengingat kerjanya dan jasa// Melecut supaya terus ini padanya// Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga. Chairil tampak jelas memasukkan unsur "yang lain" atau liyan pada larik pertama. Nama "jaya" sebuah misteri yang mungkin saja nama seseorang yang nyata atau proyeksi imajinasi penyair tentang subjek, entah individu, institusi, atau masyarakat yang diidamkan.
Kata "jaya" ditemukan juga dalam puisi Chairil berjudul Siap-Sedia, bertiti-mangsa 1944, dalam salah satu baitnya: Matamu nanti kaca saja/ Mulutmu nanti habis bicara/ Darahmu nanti mengalir berhenti/ Tapi kami sederap mengganti/ Terus berdaya ke Masyarakat Jaya. Rincian konsep "Masyarakat Jaya" terbubuh dalam puisi ini dan dirinci pada bait lainnya dengan sebutan "Kemenangan", "Bahgia nyata", dan "Dunia Terang".
Apakah "Dunia Terang" yang diimajinasikan Chairil telah terbit setelah proklamasi kemerdekaan hingga 77 tahun kemudian, saat sekarang ini? Tentu saja kemerdekaan perlu diperjuangkan terus, sebagaimana cita-cita para pendiri negara saat proklamasi diucapkan. Tidak siapapun, termasuk Chairil jika bisa melihat dari alam sana, menginginkan ada kejadian yang terulang dari situasi tahun ketika sajak Hukum itu dibuat pada tahun 1943 dan dirangkum oleh Chairil dalam sajak lain dengan judul sama 1943, tertulis (dikutip tiga larik paling awal dan tiga larik paling akhir):
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
…..
Kau
Aku
Terpaku
Aku
Terpaku
Yana Risdiana advokat dan menulis puisi
(mmu/mmu)