"Komodo di Pulau Rinca dan di Pulau Komodo itu komodonya juga sama, wajahnya juga sama. Jadi kalau mau lihat komodo silakan ke Pulau Rinca, di sini ada komodo. Mengenai bayarnya berapa, tetap," kata Presiden Joko Widodo di Pulau Rinca, Kamis (21/7), dikutip dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden.
Maksudnya, kalau mau melihat komodo dan merasa mahal tiketnya, cari saja yang murah. Tak perlu ke Pulau Komodo dan Pulau Padar yang tetap memberlakukan tiket baru Rp 3,75 juta per orang mulai 1 Agustus 2022. Di Pulau Rinca melihat komodo masih murah, sekitar Rp 50.000 per orang.
Komodonya sama? Ya, sama. Yang beda sensasinya. Melihat komodo di Pulau Komodo, tentu lebih afdol karena di rumah aslinya. Di Pulau Rinca? Ah, komodonya kurang sangar. Saya pernah ke sana, tetapi hanya jumpa beberapa komodo yang bermalas-malasan. Mirip melihat komodo di Kebun Binatang Surabaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi kali ini bukan mempersoalkan sangar tidaknya komodo. Saya cuma mau melihat sisi "sangar" kebijakan pemerintah. Walau ada penolakan dari masyarakat, toh pemerintah bersikukuh menaikkan harga tiket ke Taman Nasional Komodo menjadi Rp 3,75 juta per orang.
Bahkan, sampai-sampai masyarakat di Desa Komodo pun "mengutuk" kebijakan pemerintah tersebut. Padahal, sejak leluhurnya mereka hidup berdampingan dengan komodo. Sekarang, simbiosis kedua makhluk itu diputus kebijakan.
Perspektif Makrokosmos
Leluhur mereka tentunya telah mempraktikkan kehidupan makrokosmos. Dalam perspektif makrokosmos makhluk hidup itu tidak sekadar manusia dan hewan, tetapi ada tumbuhan, ganggang, organisme bersel satu, bisa jadi juga virus. Kepada makhluk hidup di alam raya ini kita (manusia) selayaknya saling berbagi kasih.
Buat apa berbagi kasih? Tentu saja buat mengakrabkan manusia dengan alam semesta ini. Menjalin kasih akan membangun keakraban, sekaligus membuat saling mengenal satu sama lain. Manakala gagal membangun keakraban dengan makhluk makrokosmos berakibat malapetaka bagi manusia. Fakta bahwa kian sering terjadi bencana alam hingga pagebluk Covid 19 menunjukkan manusia tak akrab dengan alamnya.
Kesadaran bahwa setiap makhluk di alam semesta ini punya hak untuk hidup akan membuat manusia memperhitungkan segala tindakan terhadap alam. Dalam setiap tindakan manusia musti diperhitungkan dampaknya terhadap makhluk lain yang ada di jagad ini, sekalipun itu hanya virus. Saat kita menebang pohon atau membunuh hewan tertentu, secara moral tidak terlarang, namun akibat tindakan itu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Inilah konsep life-centered ethic.
Dari konsep itu berkembang menjadi teori nilai intrinsik. Berdasarkan teori ini manusia justru dituntut untuk melindungi makhluk lain di jagad ini. Kata Paul Taylor, filsuf pendukung teori ini, secara moral manusia terikat untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan makhluk lain yang non manusia. Jadi, kita punya tanggung jawab, bukan sekadar menindas. Semakin menindas, alam kian melawan. Bahkan kita balik ditindas lewat bencana hingga pagebluk.
Itulah yang diajarkan leluhur mereka lewat kearifan lokal yang ada. Bila mereka memberi kenyamanan kepada komodo, maka komodo akan balik memberikan kehidupan bagi manusia di sekitarnya. Namun sekarang yang terjadi, kebijakan pemerintah malah memutus makrokosmos itu. Masyarakat setempat dipisahkan dengan komodo. Binatang ini tak lagi maksimal memberikan kehidupan bagi manusia di sekitarnya.
Wajar jika ada "kutukan" tersebut. Dalam Surat Pernyataan Sikap Masyarakat Desa Komodo yang diberitakan detikTravel, masyarakat desa Komodo mengutuk keras rencana kenaikan harga tiket masuk di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) menjadi Rp 3,75 juta yang akan diterapkan mulai 1 Agustus 2022 mendatang.
"Kami masyarakat desa Komodo mengutuk keras wacana harga tiket ke Pulau Komodo karena hanya bisa dijangkau oleh pasar menengah ke atas. Dari wacana tersebut sangat berdampak negatif terhadap kunjungan wisata ke Taman Nasional Komodo," demikian pernyataan tersebut.
Jalan Tengah
Komodo untuk rakyat, maka perlu jalan tengah. Konservasi tercapai, penghasilan masyarakat terjaga. Usulan jalan tengah, semisal pariwisata holistik yang disampaikan Keuskupan Ruteng. Tema ini diusung dalam Program Pastoral Keuskupan Ruteng 2022. Motonya berpartisipasi, berbudaya, dan berkelanjutan.
Berpartisipasi berarti pariwisata yang melibatkan dan mensejahterakan masyarakat lokal. Berbudaya berarti pariwisata yang berakar dan bertumbuh dalam keunikan dan kekayaan kultur dan spiritualitas setempat. Berkelanjutan berarti pariwisata yang merawat dan melestarikan alam ciptaan.
Juga bisa meniru jalan tengah ala Candi Borobudur. Ribut-ribut tiket Rp 750.000 akhirnya bisa diredam dengan cara sederhana. Pengunjung bisa masuk ke kawasan Candi Borobudur dengan tiket Rp 50.000 tetapi area wisatawan dibatasi hanya satu meter dari tangga menuju candi. Di pintu masuk sebelum membeli tiket, ada petugas yang mensosialisasikan kebijakan itu. Pengunjung tampaknya memahami.
Ketika saya ke sana awal Juli lalu, pengunjung cukup berfoto berlatar belakang candi. "Sing penting iso mlebu candi," komentar seorang pengunjung. Maksudnya, yang penting bisa masuk candi. Mirip Borobudur, ada baiknya Pulau Komodo dibuka terbatas. Artinya, hanya di zona tertentu boleh ada wisatawan, selebihnya tertutup demi konservasi.
Toto TIS Suparto penulis filsafat moral