Tahun 2022 merupakan tahun dengan berbagai dinamika namun diharapkan melanjutkan pemulihan ekonomi yang telah tumbuh positif sejak kuartal II - 2021 sebesar 7,07 persen. Sebuah success story yang berhasil dibuat dengan ditandai melandainya kasus terkonfirmasi positif Covid-19 menjadi lampu hijau bagi kebangkitan ekonomi nasional. Upaya pemerintah yang telah menggencarkan vaksinasi secara masif dan dibarengi dengan disiplin masyarakat terhadap protokol kesehatan berbuah manis.
Pada 18 Mei 2022, Presiden Jokowi mengumumkan masyarakat boleh 'melepas masker' ketika berada di luar ruangan yang tidak padat manusia. Perbaikan derajat kesehatan ini menjadi modal dasar untuk mengangkat ekonomi yang sempat terpuruk bahkan resesi akibat pandemi.
Kisah sukses di atas tidak serta merta membuat bangsa ini terlena. Situasi geopolitik yang berdampak sistemik berpotensi menghadang perbaikan ekonomi nasional. Meroketnya harga-harga komoditas ekspor nasional dianggap menjadi 'berkah' bagi neraca perdagangan. Namun di sisi lain rantai pasok yang terganggu juga diterjemahkan menjadi angka inflasi yang semakin menanjak.
Prediksi inflasi di awal tahun oleh IMF direvisi ke atas untuk negara-negara berkembang maupun negara-negara maju. Pada Januari 2022, IMF memproyeksikan inflasi negara-negara berkembang berada pada posisi 5,9 persen dan negara-negara maju di angka 3,9 persen. Selanjutnya pada April 2022 IMF merevisi proyeksinya masing-masing untuk negara berkembang sebesar 8,7 persen dan 5,7 persen untuk negara maju.
IMF telah memberikan insight bahwa ada ancaman inflasi yang meningkat hingga akhir tahun. Kira-kira, berapa inflasi yang pas untuk Indonesia?
Inflasi diharapkan tidak bergejolak atau stabil. Stabil dalam artian tidak hanya dengan besaran yang optimal namun juga tidak menyebabkan indikator makroekonomi satu sama lain saling bergesekan. Hubungan antar-indikator makro telah banyak diteliti oleh pengamat ekonomi sejak dahulu, termasuk tentang inflasi terhadap pengangguran. Sebut saja salah satunya yang dikeluarkan oleh A.W.Philips pada 1958.
Philips menemukan bahwa hubungan antara inflasi dan tingkat pengangguran berbanding terbalik. Semakin tinggi inflasi, justru dapat menyebabkan pengangguran menurun dan demikian juga sebaliknya. Apakah teori Philips masih relevan? Tentunya terbuka ruang penelitian untuk menjawab pertanyaan ini.
Kasus harian terkonfirmasi Covid-19 yang meningkat akhir-akhir ini merupakan sinyal bahwa dunia masih diliputi suasana extraordinary. Pandemi menyebabkan permodelan kadang tidak fit untuk memprediksi kondisi ekonomi. Terlepas dari teori tersebut, nyatanya Badan Pusat Statistik telah merilis angka pengangguran posisi Februari 2022 mencapai 5,83 persen. Angka pengangguran ini menurun dibandingkan angka tahun sebelumya yang mencapai 6,26 persen.
Penurunan pengangguran ini terjadi saat bangsa didera oleh tekanan inflasi yang terus meningkat dengan carut marutnya peristiwa kenaikan harga minyak goreng. Inflasi juga kerap dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa penelitian yang menelaah hubungan antara keduanya dengan kesimpulan yang berbeda-beda.
Berbagai perbedaan teori pengaruh inflasi pada pertumbuhan ekonomi mengarah pada teori ambang batas inflasi. Semakin tinggi inflasi dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi dengan arah yang sama hingga batasan tertentu. Apabila ambang batas (threshold) ini telah dilewati, maka sebaliknya inflasi yang meningkat justru dapat melemahkan atau menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Terdapat perbedaan angka ambang batas inflasi yang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti. Widaryoko (2013) menemukan bahwa threshold inflasi di Indonesia pada titik 9,53 persen. Selanjutnya Galih dan Safuan (2017) menemukan ambang batas yang fit untuk inflasi Indonesia di titik 5,26 persen.
Target inflasi pemerintah yang hingga saat ini masih berada di range 3 plus minus 1 persen merupakan target yang masih relevan dengan penelitian-penelitian di atas. Ambang batas inflasi pada level atas sebesar 4 persen berdasarkan target inflasi pemerintah. Besaran inflasi biasanya secara siklus tinggi menyambut euforia Ramadhan dan Idul Fitri.
Badan Pusat Statistik telah merilis inflasi pada April dan Mei 2022 yang notabene memuat momen Ramadhan dan Idul Fitri masing-masing sebesar 3,47 persen dan 3,55 persen. Kerja keras pemerintah lewat Tim Pengendali Inflasi perlu diapresiasi mengingat di tengah tekanan inflasi global, inflasi nasional masih berada pada ambang yang telah ditargetkan yaitu maksimal 4 persen.
Ambang inflasi juga perlu dipertimbangkan mengingat inflasi juga berdampak pada penentuan level daya beli masyarakat. Apabila daya beli masyarakat tidak dapat dikatrol mengiringi inflasi, maka kemiskinan akan menyambutnya. Timbangan terhadap ambang inflasi yang tepat untuk bangsa Indonesia saat ini sangat diperlukan. Namun sekali lagi tidak ada permodelan yang dapat memetakan kesimpulan yang fit pada kondisi extraordinary saat ini.
Diharapkan pemerintah dapat menjaga ambang inflasi agar tidak meningkatkan kemiskinan dan pengangguran, namun sekaligus juga tidak menurunkan pertumbuhan ekonomi. Harapan yang berat untuk diwujudkan, namun bukan tidak mungkin berbekal pembelajaran ekonomi yang telah ditakar pada tahun-tahun sebelumnya. Kolaborasi antar-pemangku kepentingan sangat diperlukan agar jawaban terhadap persoalan inflasi juga dapat menyelesaikan masalah-masalah lain yang terdampak inflasi.
Tita Rosy, S.ST, MP Fungsional Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kalimantan Selatan
Simak juga 'Ngeri, Negara-negara Ini Terancam Bangkrut Seperti Sri Lanka':
(mmu/mmu)