Sampai di lokasi, dengan sigap Leni dan teman-temannya mengikat kayu kaso (kayu yang sudah diolah menjadi papan untuk reng). Mereka kemudian memanggul beberapa lembar di bahunya, membawanya mendaki bukit karena sungai yang menuju desa ada di baliknya.
Dari pematang bukit, kayu dilongsorkan ke sungai. Itulah yang mereka jalani lima tahun belakangan. Membantu suami yang bekerja menebang kayu atau memang sebagai pekerja. Tenaga mereka tidak habis di situ karena masih ada yang harus dilakukan. Debit sungai kecil kurang mendukung untuk mengalirkan kayu. Para wanita ini tidak berbeda beban kerjanya dengan pekerja laki-laki, ikut membendung sungai agar air cukup untuk mengalirkan kayu.
Sore hari, dam buatan dibuka. Dengan sigap Leni dan teman-temannya menarik kayu-kayu yang sudah diikat menjadi rakit, mengendalikannya mengikuti aliran sungai, tanpa bantuan perahu motor. Jika air cukup tinggi pekerjaan lebih mudah namun jika tidak, mereka harus kerja keras menarik kayu-kayu yang tersangkut di sungai untuk sampai ke pelabuhan di desa.
Terbayarlah energi yang terkuras karena rupiah akan didapat dari sang toke. Hitung-hitungan di kepala mereka pun segera bekerja kemana uang itu diperuntukkan. Tidak seberapa yang didapatkan, Rp 600.000 untuk satu kubik kayu (sekitar 100 batang). Dan itu bukan hasil kerja sehari. Uang ini akan segera berpindah untuk biaya keperluan sehari-hari, sekolah anak, bayar utang, dan lainnya. Itu masih belum cukup untuk menutupi keperluan, karena kondisi yang sulit inilah Leni dan lainnya melakoni pekerjaan ini.
Dulu ketika masih menakik karet, ia membantu suami ke kebun karet yang menjadi sebagai sumber utama ekonomi keluarga. Harga karet turun, hampir tak bernilai. Sebagian petani banting stir jadi penebang kayu. Penghasilan suami yang tidak memadai membuat kaum ibu ikut serta melakoni pekerjaan sebagai pemanggul kayu agar anak tetap bersekolah dan dapur ngebul.
Masyarakat Kampar Kiri Hulu secara turun temurun menggantungkan nasibnya sebagai petani karet namun harga karet di pasar dunia mulai merosot tahun 2015. Harga jual ke toke karet sangat rendah pernah mencapai Rp 2.000/kg padahal ketika jaya berkisar Rp 10.000-15.000. Fenomena merosotnya harga karet terlihat nyata, dulu di pinggir-pinggir sungai terikat bongkahan-bongkahan karet sekarang tidak lagi, justru dihiasi ikatan kayu.yang siap dihilirkan.
Lain halnya dengan Buyauni (60), warga Tanjung Belit, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau yang dikenal sebagai wanita yang paham berbagai jenis obat-obatan tradisional. Sedikitnya ada 107 tumbuhan obat yang dikenalinya di hutan Rimbang Baling. Sejak usia 15 tahun ia sudah dikenalkan oleh ibunya dengan berbagai tumbuhan yang bermanfaat untuk obat. Buyauni senang karena bisa membantu orang-orang yang tidak mudah mendapatkan pelayanan kesehatan.
Tanaman obat masih tetap dicari, namun ada keprihatinan karena beberapa tumbuhan sudah tidak didapati lagi di kampung sehingga harus dicari jauh ke dalam hutan. Ada puluhan orang di Kampar Kiri Hulu yang paham tanaman obat atau dikenal dengan etnobotani. Tantangannya adalah hilangnya berbagai biodiversitas karena degradasi hutan yang menghilangkan beberapa tanaman obat.
Masyarakat Kampar menganut sistem matrilineal yang menurunkan warisan kepada perempuan. Studi posisi perempuan dalam sistem tenurial lahan dan sumber daya alam pada masyarakat Desa Gajah Bertalut, Kampar Kiri Hulu, Kampar yang dilakukan oleh Yekti Wahyuni & dkk dari Universitas Indonesia (2018) menjelaskan peran sentral perempuan menurut adat Kampar. Secara turun temurun, perempuan berperan penting dalam pengolahan lahan dan sumber daya alam.
Perempuan ikut serta dalam membuka lahan baru dan mengolahnya menjadi kebun. Lahan dan kebun yang diolah menjadi milik perempuan. Perempuan juga berperan dalam pengembangan desa dimana perempuan memberikan tanah yang dimilikinya untuk suku lain yang memerlukan pemukiman.
Warisan merupakan harta bersama yang tidak boleh diperjualbelikan, hanya boleh dimanfaatkan untuk keperluan bersama. Perempuan dengan hartanya memerankan fungsi mengatur sumber daya alam agar dapat diwariskan kepada keturunannya. Ini yang menjadi satu factor pendukung terjaganya hutan di daerah Kampar.
Namun terjadi pergeseran tatanan adat matrilineal dalam penguasaan sumber daya alam seiring dengan tekanan ekonomi, ekologi, dan politik. Kepemilikan perempuan pada sistem matrilineal hanya sebatas fakta yakni perempuan sebagai subjek utama dalam tradisi pewarisan namun tidak memiliki otoritas pada tingkat yang lebih tinggi.
Perempuan tidak mengisi struktur suku dan kelembagaan adat sehingga pengambil keputusan dalam satu suku dilakukan oleh laki-laki. Ditambah lagi konsep yang umum berlaku di sistem pemerintahan atau yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan. Hal ini dapat menyebabkan kerancuan dalam sistem tenurial di masyarakat matrilineal.
Pemodal menguasai sumber daya alam suatu wilayah berkat lobi dengan para pemimpin di tingkat lokal. Atas nama kesejahteraan masyarakat, penguasaan tanah ulayat beralih ke orang luar dan masyarakat jadi penonton ketika uang yang diterima perlahan habis.
Kampar Kiri dilingkupi hutan-hutan yang relatif baik yang menyimpan keanekaragaman hayati, potensi ekowisata untuk mendukung pengembangan ekonomi berbasis masyarakat. Namun semua akan segera hilang jika tidak ada stabilisasi ekonomi. Leni dan teman-temannya pun akan terus mengambil kayu ketimbang menakik karet dengan upah yang tidak seberapa dibanding nilai kayu di hutan.
Harga satu kubik kayu kaso di pasaran berkisar Rp 1.300.000. Sementara kayu yang ditebang berumur puluhan tahun sudah pasti mampu menyerap ribuan karbon. Pohon Meranti misalnya yang berumur 1-6 tahun mampu menyerap antara 0,54-10,17 ton/ha CO2 (dari beberapa referensi). Jika ia dibiarkan hidup, meranti dan habitatnya bisa menjadi objek ekowisata yang dapat dikembangkan untuk edukasi dan wisata alam yang bernilai ekonomi jangka panjang.
Pengetahuan masyarakat mengenal tumbuhan hutan, tanaman obat, kearifan lokal, keindahan alam dikemas menjadi paket menarik untuk disajikan kepada penikmat wisata alam. Harga kayu di alam sudah pasti menghasilkan beribu kali Rp 1.300.000 dan memberikan manfaat kepada banyak orang. Tidak hanya bermanfaat bagi manusia, namun juga menyelamatkan keanekaragaman hayati yang hampir punah.
Lansekap Bukit Rimbang Bukit Baling dan sekitarnya yang membentang di Kampar Kiri, Kabupaten Kampar hingga ke Kuantan Singingi di Provinsi Riau adalah habitat bagi satwa langka, harimau sumatera. Mempertahankan kawasan ini tetap terjaga berarti menjaga legasi yang masih mampu bertahan hidup untuk tidak mengalami nasib serupa seperti kerabatnya harimau Jawa dan Bali. Kemampuan seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, korporasi dalam bentuk dan perannya masing-masing untuk merawat kekayaan yang tak ternilai harganya akan membawa kebanggaan bangsa dalam menjaga salah satu lanskap harimau global.
Masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang tangguh dan mewarisi tatanan kehidupan yang arif terhadap sumber daya alam. Jika didukung oleh kebijakan yang tepat dan komitmen yang kuat, maka sifat pekerja keras yang ditempa oleh alam, kearifan lokal dan budaya yang menjadikan alam sebagai sumber ilmu akan mampu membawa ketahanan Indonesia.
(mmu/mmu)