Misi damai Presiden Jokowi menemui Volodymyr Zalensky dan Vlaidimir Putin bisa dinilai macam-macam. Ada yang menilai gagal, karena serangan Rusia ke Ukraina tetap berlangsung bahkan kian gencar. Mereka yang selalu kontra terhadap Jokowi malah dengan sinis menyebut kunjungan tersebut tak lebih sebagai pencitraan semata, seremonial. Demi menaikkan gengsi di mata internasional sekaligus memulihkan kepercayaan dan popularitas di dalam negeri. Sesimpel itu!
Padahal kalau mau sedikit objektif, adakah riwayat konflik antar negara yang pernah terjadi di dunia ini selesai dalam satu kali pertemuan, 3-4 kali pertemuan? Nonsense! Lha wong untuk memindahkan para pedagang kaki lima ke Pasar Notoharjo saja, Wali Kota Solo itu butuh lebih dari 50 kali pertemuan. Rentang waktunya menghabiskan tujuh bulan. Lha, apalagi ini kelasnya Rusia-Ukraina.
Seruan damai oleh Jokowi dalam lawatan ke Ukraina dan Rusia, saya menilainya sebagai call tinggi. Salah satunya menunaikan tugas konstitusional seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi..."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aksi atau misi semacam ini juga pernah dilakukan Presiden Soeharto saat menemui Presiden Bosnia - Herzegovina Alija Izetbegovic di Sarajevo, Maret 1995. Padahal Sarajevo kala itu tengah dilanda peperangan. Sebelumnya, Soeharto bertemu dengan Presiden Kroasia Franjo Tudman dan Perdana Menteri Nikica Valentic di Istana Dvetce, Zagreb.
Apa maksud dan tujuan Soeharto kala itu? Ternyata sekedar menunjukkan empati, menghibur, dan membesarkan hati pemimpin dan rakyat Bosnia. "Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok," tutur Soeharto seperti disampaikan mantan Wakil Menteri Pertahanan Letjen Sjafrie Samsoeddin dalam buku Pak Harto, The Untold Stories.
Bagaimana dengan Jokowi? Patut disadari, perang Rusia-Ukraina telah mengguncang perekonomian dunia. Harga minyak dan gas dunia melambung, begitu pun dengan harga sejumlah bahan pangan. Penyebabnya antara lain terbatasnya pasokan karena akses distribusi yang terkendala. Karena itu, meski saling memuntahkan senjata masih terus berlangsung tapi harus ada solusi agar pasokan pangan bisa kembali lancar.
Sampai titik ini, diplomasi atau misi Jokowi menurut saya patut mendapat apresiasi tersendiri. Setidaknya Putin menyampaikan komitmen untuk mengamankan jalur distribusi logistik lewat laut dari Ukraina. Komitmen tersebut bukan mustahil tak cuma untuk pengiriman gandum dan bahan pangan lain serta bahan baku pupuk ke Indonesia tapi juga ke negara-negara lain yang sejauh ini dinilai bersahabat dengan Rusia. Hal ini bisa dipahami mengingat posisi Indonesia berbeda dengan negara-negara Eropa dan AS yang berpihak ke Ukraina dan memusuhi Rusia. Kita bersahabat dengan keduanya.
Lancarnya pasokan pangan ini tentu akan membantu mengatasi ancaman kelaparan rakyat di banyak negara. Juga mengurangi tekanan ekonomi banyak negara untuk menyediakan bahan pangan bagi rakyat mereka.
Tak cuma akan menjamin keamanan laut bagi distribusi logistik, khusus kepada Indonesia, Putin malah menawarkan sejumlah kerja sama ekonomi. Dia ingin negerinya dilibatkan dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur hingga pembangunan teknologi nuklir. Ibarat pepatah, "Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui", begitulah yang didapat Jokowi dari Rusia.
Guna memperkuat tawarannya itu, Putin mengingatkan peran negerinya di masa lalu dalam mendukung kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Kalau menilik catatan sejarah, Uni Soviet yang diinduki Rusia pada 1948 memang secara de facto mengakui kemerdekaan RI. Pada 1950, Uni Soviet kemudian membuka hubungan diplomasi dengan Indonesia dan sebagai negara berpengaruh di PBB, sekaligus mendukung Indonesia masuk sebagai anggota PBB.
Baca juga: Risiko Glorifikasi Misi Perdamaian Jokowi |
Setelah Josef Stalin mangkat pada Maret 1953 lalu digantikan Nikita Kruschev, hubungan Rusia dengan RI makin lengket. Presiden Sukarno tercatat empat kali berkunjung ke Soviet: 1956, 1959, 1961, dan 1964. Sementara Kruschev ke Indonesia pada 18 Februari 1960, menggunakan pesawat Iliyushin 18. Selama 12 hari, ia bersama 89 wartawan cetak, radio, dan televisi dia berkunjung ke Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.
Sebelumnya, Kruschev menyokong Bung Karno yang ingin membangun Monas pada 1954. Begitu pun saat si Bung membangun Masjid Istiqlal, pada 1957 Soviet mengutus grup sirkus kenamaan negeri itu untuk menggalang donasi. Kliping koran yang dipamerkan saat milad Mesjid Istiqlal ke-39, Februari 2017, menyebutkan mereka menggelar pertunjukan di Jakarta dan Bandung.
Ketika Bung Karno ingin membangun Gelora seperti Stadion Luzhniki di Moskow, Soviet pun menggelontorkan bantuan senilai $12,5 juta pada 1959. Setahun berikutnya, Soviet mengucurkan bantuan ekonomi senilai US$ 250 juta untuk membangun berbagai pabrik, pembangkit listrik, kapal, sekolah kelautan di Ambon, hingga RS Persahabatan di Rawamangun. Bantuan paling fantastis diberikan pada 1961 dalam bentuk pengadaan berbagai peralatan militer untuk merebut kembali Papua dari Belanda. Total bantuan militer kala itu mencapai US$ 600 juta.
Sayang, dalam pelajaran sejarah Indonesia di era Orde Baru, Uni Soviet lebih ditekankan sebagai pendukung Peristiwa Madiun 1948. Salah seorang tokoh pemberontakan itu adalah Paul Mussotte alias Muso Manowar atau Munawar Muso yang pernah tinggal di Rusia dan dianggap sebagai pemimpin Soviet Madiun. Akibatnya, peran Rusia terhadap kemerdekaan republik ini tak diingat kebanyakan rakyat Indonesia. Hal yang terlanjur terekam kuat adalah bahwa komunis jahat dan negara komunis seperti Soviet sama saja dengan Belanda yang ingin menguasai Indonesia.
Sejak kebijakan Perestroika dan Glasnot yang diprakarsai Mikail Gorbachev di pengujung 1980-an, praktis Rusia bukan lagi negara dengan ideologi komunis. Partai yang berkuasa saat ini, menurut Dubes RI untuk Rusia, 2016-2020, M. Wahid Supriyadi, Partai yang berkuasa saat ini adalah United Russia yang dibidani Putin. Dari total 450 kursi di parlemen, jatah partai komunis cuma 10 persen
"Mayoritas orang Rusia beragama Kristen Ortodoks, dan Islam menjadi agama kedua terbesar dengan jumlah pemeluk 24 juta atau 14% dari total penduduk," tulis Wahid dalam buku Diplomasi Ringan dan Lucu. Bila pada 1991 di era Boris Yeltsin hanya ada sekitar 840 masjid, ia menambahkan, kini terdapat lebih dari 8000 masjid di Rusia.
Kembali ke misi damai Jokowi, saya termasuk yang menilai apa yang dilakukan itu adalah awal yang baik, sekaligus membuka jalur komunikasi baru dan menimbulkan harapan. Sebab yang sebelumnya dirintis Sekjen PBB dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sepertinya tersendat. Maklum, bagi Putin sepertinya perdamaian hanya dimungkinkan bila Zelensky takluk dan Ukraina bisa dikuasai.
Sudrajat wartawan detikcom
(mmu/mmu)