Saat mendengar berita bahwa Presiden Jokowi akan pergi ke Kiev dan Moskow setelah menghadiri acara KTT G7 di Jerman, saya agak bingung mencernanya. Sebenarnya niat Jokowi mau apa bertemu dua orang pemimpin dari dua negara yang sedang baku hantam? Briefing seperti apa yang diterima Presiden dari para staf ahli hubungan internasional Istana dan Kementerian Luar Negeri, hingga terbersit di dalam hati untuk mencoba upaya yang gagal dilakukan oleh Prancis dan Jerman, plus oleh Turki dan Israel beberapa waktu lalu?
Perdamaian Ukraina dan Rusia, dalam perspektif apapun, nyatanya ada di tangan Rusia dan dunia Barat. Setidaknya begitulah hasil analisis dan diagnosis dari para pakar geopolitik dan geostrategi dunia. Dan, ketegangan kedua negara bukanlah perkara baru. Artinya, secara prinsipil, kedatangan Jokowi sebenarnya bukanlah sebagai game changer atas perang yang sedang berlangsung, bahkan cenderung sebagai seremonial saja, terutama bagi Jokowi per se.
Karena, sangat sulit untuk dibayangkan kira-kira apa yang akan ditawarkan Jokowi kepada kedua pemimpin negara itu agar mereka berhenti baku hantam. Tampaknya tak ada, kecuali lampu hijau untuk hadir di KTT G20 nanti. Sayangnya, dari perkembangan geopolitik di kubu Barat, pun preseden kehadiran Putin di acara serupa, jatah kursi di KTT G20 ternyata bukanlah faktor penting dalam menentukan sikap negara anggotanya, terutama bagi Vladimir Putin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putin pernah berada pada posisi canggung di acara G20 pada 2014 lalu. Putin akhirnya duduk menghabiskan makanannya sendiri tanpa ditemani pemimpin negara lain di KTT G20 Brisbane, Australia. Sebabnya adalah invasi Rusia atas Crimea, salah satu wilayah Ukraina, pada tahun itu. Walhasil, Putin pulang lebih cepat dari jadwal yang telah ditetapkan.
KTT G20 tersebut nyatanya tak berhasil mengembalikan Crimea ke Ukraina dan tidak menghentikan Putin untuk menebar little green army-nya (tentara bayaran) di daerah Luhanks dan Donbask. Karena bagi Putin, persoalan dengan Ukraina adalah persoalan yang dibuat oleh dunia Barat, bukan persoalan yang dibuat oleh Rusia. Bahkan Putin tetap bergeming meskipun akhirnya Rusia dikeluarkan dari keanggotaan G8 setelah itu, sehingga namanya kembali berubah menjadi G7
Karena itu, menurut Putin, perkara perang atau damai terletak di tangan dunia Barat (bukan Rusia, apalagi Indonesia), yakni menghentikan enlargement (NATO dan EU) atas Ukraina dan mendemiliterisasi daerah-daerah di Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia (Southern Ukraine). Jika dunia Barat justru mendukung Ukraina untuk menggagalkan permintaan Rusia tersebut, maka selama Putin masih bertahta di Kremlin, situasi akan tetap seperti hari ini.
Jadi semestinya dalam konstelasi geopolitik tersebut, kehadiran Jokowi sangat berpeluang tidak menghasilkan apa-apa, kecuali seremoni dan sedikit peluang mendapatkan reputasi internasional. Karena itu saya cukup heran dengan briefing yang diterima Jokowi dari para staf ahli hubungan internasionalnya dan Kementerian Luar Negeri.
Bahkan nyatanya Jokowi tidak saja minus tawaran strategis untuk kedua negara agar segera berdamai, tapi justru digadang-gadang membawa permintaan kepada kedua negara, permintaan yang konon merepresentasikan negara-negara berkembang yang kelabakan oleh bibit-bibit resesi dunia yang telah disebabkan oleh peperangan tersebut. Selain, tentunya soal kepastian pasokan gandum dari Ukraina untuk Indonesia mengingat eksposur impor gandum dari Ukraina cukup besar
Namun demikian, jika tetap mau dipaksakan, Jokowi tentu masih punya konteks dan legitimasi legal untuk mendatangi kedua pemimpin negara yang sedang berseteru itu, yakni tugas konstitusional yang tercantum dengan jelas di dalam UUD 1945, tepatnya tugas untuk mengupayakan perdamaian dunia. Setidaknya, terlepas dari minimnya potensi keberhasilan dari misi tersebut, Jokowi telah berupaya memainkan peran konstitusional Indonesia di tingkat global. Lumayanlah, daripada tidak sama sekali.
Jadi tak salah juga jika beberapa pihak justru menglorifikasi dan merayakan peran global Jokowi tersebut. Untuk konteks yang satu ini, bagaimanapun seluruh rakyat Indonesia tentu harus mendukung misi itu. Kalau perlu, hajatan Jakarta diperpanjang atas nama peran baru Jokowi tersebut. Tak perlu dikritik, meskipun kita menyadari bahwa Indonesia bukanlah pemain kunci di tingkat global yang suaranya perlu dipatuhi oleh Putin dan Zelenski.
Dengan lain perkataan, setelah kembali lagi ke Indonesia, Jokowi tetap masih bertanggung jawab atas berbagai persoalan di dalam negeri. Jokowi masih boleh dikritik atas mahalnya harga cabe dan minyak goreng. Itu yang terpenting. Namun, jangan sampai kartu baru berupa peran global Indonesia yang sedang dimainkan Jokowi dimaksudkan untuk membangun reputasi internasional agar reputasi dalam negeri yang mulai melorot terlupakan.
Jika sampai demikian, tentu secara logika akhirnya Jokowi tak berbeda dengan Vladimir Putin sendiri. Secara politik, aksi koboi Putin menginvasi Ukraina bersamaan dengan tenggelamnya peringkat approval pemerintahan Putin di level domestik. Sehingga salah satu jalan strategis bagi Putin untuk menaikkan dukungan rakyat Rusia adalah dengan memainkan kartu nasionalisme, yakni berperang ke luar (pada 2008 nyaris menginvasi Georgia, 2014 menginvasi Crimea, dan 2022 merangsek ke Ukraina)
Langkah ini memiliki sisi baik dan buruk secara politik. Jika peperangan dimenangkan, biasanya peringkat approval sang pemimpin akan kembali kinclong. Tapi jika kalah, karier politik sang pemimpin biasanya tamat. Pada awal Perang Dunia II, keberhasilan Hitler dalam menaklukkan negara-negara di Eropa disambut meriah oleh mayoritas rakyat Jerman. Rakyat Jerman berpesta pora di setiap berita keberhasilan Hitler dalam menaklukkan tetangganya. Namun kekalahan yang bermula di Leningrad pelan-pelan merontokkan peringkat approval Hitler. Ia mulai jarang muncul ke ruang publik, sampai akhirnya bunuh diri di bungker.
Hal yang sama dilakukan oleh Erdogan di Turki. Erdogan mulai membawa Turki ke ranah konfrontatif dengan dunia Barat dan memainkan kartu nasionalisme-populasime setelah peringkat approval-nya mulai memudar di mata pemilih Turki. Sampai hari ini, Erdogan terbilang berhasil memungut kembali simpati publik Turki secara pelan-pelan. Langkah sederhana yang diambil Erdogan di ranah domestik adalah memaki-maki dunia Barat. Namun di tingkat global, Turki siap bersitegang dengan Yunani, siap memainkan peran pragmatis di Libya, dan lebih dulu mencoba mendamaikan Putin dengan Zelenski, walaupun terbilang gagal.
Mahathir Mohamad pun pernah memainkan kartu yang sama saat krisis moneter Asia 1997-1998. Mahathir menyalahkan George Soros dalam kapasitasnya sebagai spekulator mata uang dunia atas krisis yang terjadi di Thailand, Indonesia, dan Malaysia (banyak sedikitnya juga melanda Korea Selatan dan Taiwan). Mahathir pun aktif mengambil peran global dengan upaya-upaya membangun jembatan kerja sama di Asia Pasifik, terutama dengan Jepang, dan menawarkan berbagai resep ekonomi serta diplomasi ekonomi untuk ranah Asia Pasifik. Hasilnya sangat positif. Mahathir berhasil menghindari kutukan rakyat Malaysia, di saat Pak Harto justru tersungkur keprabon dihantam krisis moneter.
Dalam konteks Jokowi hari ini, ada peluang puja-puji dan glorifikasi di ranah domestik atas keberanian Jokowi untuk melanglang buana naik kereta ke Kiev, lalu terbang ke Moskow. Namun bukan tidak mungkin reputasi Jokowi di tingkat nasional dan global justru semakin buruk jika perang tak juga selesai dan resesi dunia semakin mendekat. Artinya, kehadiran Jokowi memang tidak memberi dampak apa-apa.
Entah apa reaksi kita setelah mengglorifikasi misi damai Jokowi ke Ukraina, lalu muncul banyak pemberitaan bahwa tak lama setelah Jokowi kembali ke Indonesia, perang berkecamuk lagi? Entahlah. Satu pelajaran penting dapat dipetik bahwa mengambil peran yang tidak diambil oleh pemimpin dunia lain belum tentu sebuah terobosan, boleh jadi sebuah keblunderan
Ronny P Sasmita Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution