Awal Juni lalu, kabar mundurnya ratusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) cukup menyita perhatian publik dan mengundang perdebatan di media sosial. Hal ini kemudian mengundang tanya, apakah profesi PNS tidak lagi menjadi idaman generasi Z?
Secara statistik, profesi PNS sebenarnya masih menjadi pekerjaan yang cukup banyak diminati generasi muda. Data BKN menyebut ada sekitar 1,7 juta peserta yang mengikuti Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) 2021. Jumlah peserta seleksi tersebut mencapai 89,5% dari total penambahan angkatan kerja 2021, yang menurut BPS mencapai lebih dari 1,9 juta orang.
Selain itu, kalau dilihat dari jumlah CPNS yang mengundurkan diri dibandingkan dengan total 112.512 peserta yang lulus seleksi pada 2021, persentasenya tidak sampai menyentuh angka 1 persen. Dengan demikian, inti permasalahan yang terjadi sebenarnya bukan terletak pada seberapa menariknya profesi ini bagi generasi Z. Tetapi pada kemampuan sistem yang ada mempertahankan talenta dengan baik.
Fakta pengunduran diri yang dilakukan ketika proses penerbitan Nomor Induk Pegawai (NIP) sedang berjalan mengindikasikan bahwa para pegawai ini setidaknya telah memiliki pengalaman interaksi dengan sistem maupun budaya kerja di kantor masing-masing. Selain itu, kejadian pengunduran diri sebenarnya tidak hanya terjadi pada pegawai baru saja. Pegawai lama pun kerap diberitakan mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Seperti banting setir menjadi pengusaha, pindah kerja ke swasta, atau mengikuti tempat kerja pasangan.
Hal di atas turut diperparah dengan adanya karakter generasi Z yang memang bisa dibilang anti kemapanan dan penyuka tantangan. Menurut survei milenial global yang dikeluarkan oleh Deloitte pada 2022, sebanyak 40% generasi Z dengan suka hati akan meninggalkan pekerjaan mereka hanya dalam kurun waktu 2 tahun saja jika dirasa tidak cocok. Dengan 35% di antaranya bahkan belum memiliki alternatif pekerjaan lain.
Tak Hanya Indonesia
Sebenarnya tantangan sektor publik untuk menarik minat dan mempertahankan talenta muda tidak hanya dialami oleh Indonesia. Negara maju seperti Jepang bahkan mengalami masalah yang lebih parah. Angka pelamar ujian PNS di Jepang pada 2021 lalu telah menyentuh level terendah sejak 2012. Bahkan apabila dibandingkan dengan masa keemasan seleksi PNS pada 1996, penurunan jumlah pelamar PNS di Jepang telah menyentuh kisaran 60%.
Senada dengan Jepang, pada 2017 saya sempat melakukan riset kecil-kecilan untuk sebuah tugas kuliah master di Australian National University. Dengan mewawancarai sejumlah mahasiswa dari berbagai negara seperti China, India, Brunei, dan Australia terkait preferensi mereka bekerja setelah lulus kuliah. Hasilnya tidak ada satu pun yang menjadikan PNS sebagai tujuan utama. Alasan seperti level tantangan, budaya kerja, hingga level penghasilan menyebabkan mereka lebih memilih perusahaan multinasional atau perusahaan rintisan sebagai preferensi karier.
Untuk itu, dalam mempertahankan talenta dan bersaing dengan sektor korporasi, kiranya beberapa tantangan di atas harus mulai perlahan-lahan diperhatikan oleh administrasi publik kita. Pertama terkait benefit finansial, idealnya sistem penggajian PNS mempertimbangkan empat komponen, yakni pay for person, pay for position, pay for performance, dan pay for market. Saat ini, sistem yang ada masih terbilang lemah untuk komponen pay for market.
Misalnya ketika ingin menarik talenta di bidang teknologi informasi, maka para kandidat akan membandingkan penghasilan yang ditawarkan negara dengan penghasilan dari sektor privat. Tentu, tanpa adanya tambahan benefit yang mampu menjembatani selisih pendapatan umum yang berlaku di pasar tenaga kerja (pay for market), pemerintah akan kesulitan menarik talenta di bidang ini. Padahal teknologi informasi menjadi krusial dalam transformasi digital dan beberapa proyek memiliki tingkat kerawanan yang tinggi apabila dikontrakkan kepada pihak ketiga.
Kedua, terkait komponen non finansial tentu lebih banyak lagi perbaikan yang bisa dilakukan. Salah satunya, dengan memberikan kesempatan belajar dan pengembangan diri. Terkait kurangnya talenta di bidang teknologi informasi pun sebenarnya bisa ditutupi perlahan dengan melakukan pendidikan dan pelatihan pegawai yang ada. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Singapura, dengan menetapkan target literasi digital dan pelatihan analisis data sebagai salah satu indikator kinerja utama di berbagai kementerian/lembaganya.
Iklim Kerja dan Budaya Organisasi
Hal lain yang menurut survei milenial global Deloitte penting untuk memperoleh loyalitas generasi Z di tempat kerja adalah iklim kerja dan budaya organisasi yang positif. Antara lain, tempat kerja dituntut untuk mampu menghadirkan kebermaknaan dalam bekerja, perasaan dihargai, dan menumbuhkan rasa memiliki dalam menyelesaikan pekerjaan. selain itu, pola bekerja dengan fleksibel (flexible working arrangement) juga cukup menjadi bagian dari budaya organisasi yang disoroti oleh generasi Z. Maka implementasi pola bekerja di mana saja dan waktu bekerja yang fleksibel juga cukup penting untuk dikembangkan.
Hari ini sektor publik harus berjuang tidak hanya untuk menarik minat talenta muda, tetapi juga mempertahankan keberadaan mereka. Inovasi dan reformasi budaya adalah kuncinya. Di Australia telah lama membolehkan PNS untuk memilih tipe kerja paruh waktu (dengan kontrak permanen), terutama untuk PNS yang ingin menyeimbangkan waktu bekerja dan keluarga. Di Jepang, dalam beberapa tahun terakhir reformasi cara bekerja (working style reform) mulai digaungkan untuk mendorong keseimbangan kerja dan kehidupan para birokrat.
Maka, mumpung masih banyak peminat, tak ada salahnya sektor publik kita segera berinovasi dan mereformasi iklim serta budaya kerjanya.
Pandu Rizky Fauzi pemerhati kebijakan publik; tutor mata kuliah Manajemen dan Bisnis Universitas Terbuka untuk Mahasiswa Luar Negeri di Jepang, saat ini berdomisili di Tokyo
(mmu/mmu)