Pemerintah melalui program Nawacita memiliki strategi khusus melalui kebijakan destinasi wisata super prioritas. Masyarakat di daerah pariwisata sangat didukung untuk dapat berdaya secara ekonomi melalui aktivitas pariwisata yang dikembangkan. Kendati demikian, kita semua perlu was-was dengan aspek problematik bencana alam yang selalu mengintai dan dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi.
Perlu ditekankan, Indonesia termasuk dalam jajaran negara rawan bencana tertinggi di dunia. World Bank menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Sementara itu, laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah terjadi 954 bencana alam di Indonesia pada awal 2022. Bencana yang paling banyak adalah banjir dengan jumlah 379 kasus hingga 16 Maret 2022, disusul cuaca ekstrem sebanyak 335 kasus.
Masih kuat ingatan tentang bencana yang wisata yang melanda beberapa daerah kantong pariwisata. Pertama, banjir yang melanda wilayah Kota Batu di penghujung tahun 2021. Bencana tersebut datang tanpa aba-aba yang jelas, hanya hujan lebat yang terjadi selama tiga jam yang menyebabkan kerugian nyawa sebesar tujuh orang, puluhan rumah rusak, ratusan ternak mati, serta kerugian ekonomi ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Kembali ke belakang, bencana gempa melanda Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa terjadi antara rentang Juli sampai dengan September 2018. Nominal kerugian ekonomi menurut keterangan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Barat ditaksir mencapai triliunan rupiah. Kemudian, bencana letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 2010 dengan kerugian yang juga tidak sedikit.
Sinergi dengan Masyarakat
Kepariwisataan dan entitas alam tidak bisa dipisahkan. Idealnya, kedua entitas tersebut harus saling memberikan keuntungan atau simbiosis mutualisme. Berbagai jenis objek wisata alam telah dikembangkan dengan latar belakang pengelolaan, baik oleh pemerintah, masyarakat atau disebut juga community-based tourism, serta pihak swasta. Namun demikian, masih banyak aktivitas pembangunan kepariwisataan yang tidak memperhatikan secara mendalam kondisi alam dan lingkungan sekitar.
Pemerintah dalam perencanaan daerah, khususnya pada pengembangan kepariwisataan telah berusaha untuk memperhatikan lingkungan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta beberapa dokumen perencanaan lainnya. Namun, dalam pelaksanaannya masih belum mengutamakan pelibatan berbagai lapisan masyarakat dalam perencanaan, implementasi, hingga evaluasi.
Selain itu, pemerintah masih dirasa abai dalam menyinergikan hak-hak masyarakat dan adat terkait pengelolaan alam dan lingkungan. Permasalahan tersebut bertambah pelik karena penanggulangan bencana di Indonesia cenderung masih menganut pengarusutamaan tanggap darurat daripada fokus kepada tindakan pencegahan.
Problem lain yang patut menjadi warning ialah seringkali kepentingan ekonomi dan kepentingan politik dapat melunturkan regulasi lingkungan yang berlaku. Contoh konkretnya pada kasus pengembangan destinasi wisata yang mendorong investasi dengan pendirian amenitas seperti hotel, vila, serta homestay. Dampak yang selanjutnya muncul adalah masifnya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan kemudian berbuntut akut pada berbagai bencana yang merugikan, seperti halnya tanah longsor dan banjir.
Belajar dari banjir dan tanah longsor yang menghantam Kota Batu pada 2021, akar permasalahan bencana tersebut di samping intensitas hujan yang tinggi juga diperparah dengan penggundulan hutan di lereng gunung. Analisis citra satelit yang dibuat oleh LSM Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), terdapat kurang lebih 1.295 hektare kawasan hutan di Kota Batu yang mengalami kerusakan, penyebabnya adalah kawasan hutan yang dibabat perlahan untuk dibuka menjadi lahan perkebunan, lahan pertanian, kemudian satu per satu menjadi permukiman, hotel, bahkan kompleks kafe.
Tak Melulu Ekonomi
Berkaca dari paparan di atas, masyarakat yang hidup di daerah pariwisata khususnya yang rawan bencana tak hanya diberdayakan mengelola pariwisata untuk meningkatkan perekonomian, tetapi juga perlu dirangkul untuk berdaya dalam pengurangan risiko bencana. Manajemen bencana perlu menjadi tumpuan dalam menjalankan pariwisata agar tercipta harmoni antara masyarakat, aktivitas kepariwisataan, dan bencana.
Pengarusutamaan community-based disaster management perlu diimplementasikan secara tepat agar masyarakat sebagai stakeholder yang hidup di daerah pariwisata memiliki peran dalam pencegahan, mitigasi, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Ruang sosialisasi, pendampingan, dan pemberian pemahaman kepada masyarakat yang tinggal di daerah pariwisata terkait bencana tak semata-mata dilakukan sekali dua kali, tetapi perlu intensif dan berkelanjutan. Selain itu, dalam implementasinya perlu juga benchmarking atau studi banding dari beberapa masyarakat adat yang memiliki strategi pengurangan risiko bencana dengan nilai-nilai kearifan lokal dan modal sosial.
Contoh saja penerapan di Bali dengan filosofi Tri Hita Karana, yaitu filosofi berusaha hidup selaras dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesama manusia. Implementasi nyatanya adalah dengan memperhatikan alam di sekitar permukiman. Sementara itu, masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya dengan menaruh perhatian pada bentuk bangunan, konservasi hutan dan lahan.
(mmu/mmu)