Jokowi dan Misteri Nomor 43
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jokowi dan Misteri Nomor 43

Kamis, 16 Jun 2022 09:53 WIB
Budi Adiputro
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
budi adiputro
Budi Adiputro (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Hari Rabu kembali dipilih Presiden Jokowi sebagai hari penting dalam mengambil keputusan politik dalam pemerintahannya. Untuk kali keenam, Presiden Jokowi melakukan kocok ulang atau reshuffle pada kabinetnya. Kali ini pada Rabu Pahing 15 Juni 2022, tidak sampai dua tahun menjelang pemilu, Jokowi kembali melakukan reshuffle di kabinetnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Rabu kerap jadi hari favorit Presiden Jokowi untuk mengumumkan rombakan baru kabinetnya. Jika melihat penanggalan Jawa pada periode pertama, Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet pada Rabu Pon, yaitu 12 Agustus 2015 dan 27 Juli 2016.

Sementara perombakan kabinet selanjutnya dilakukan pada Rabu Pahing, yaitu pada 17 Januari 2018 dan 15 Agustus 2018. Masih pada hari Rabu, perombakan kedua kabinet Indonesia Maju juga dilakukan pada Rabu Wage, 28 April 2021. Namun tidak selamanya Rabu menjadi hari yang dipilih; pernah dalam perombakan pertama kabinet periode kedua, Jokowi memilih 22 Desember 2020 yang tepat Selasa Pahing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti layaknya seorang raja Jawa, tindakan, pikiran dan perilaku politik Jokowi memang tidak bisa dipisahkan dengan politik falsafah Jawa. Masih hangat di ingatan kita, pada 2019 Presiden Jokowi sempat mengutarakan tiga falsafah Jawa yang jadi pegangan hidupnya. Pertama, lamun sira sekti ojo mateni --meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan. Kedua, lamun sira banter aja ndhisiki --meskipun kamu cepat jangan suka mendahului. Ketiga, lamun sira pinter aja minteri --meskipun kamu pintar jangan sok pintar. Prinsip lamun siro sekti ojo mateni acap dipakai Jokowi untuk menghindari konfrontasi langsung jika menghadapi masalah.

Dalam kekuasaan Jawa yang kaya simbol dan metafora, raja memang dianggap perwujudan alam semesta. Jadi seperti alam yang mengirim sinyal dan pertanda cuaca untuk diinterpretasikan, raja Jawa juga melakukan hal yang sama; rakyat harus menerjemahkan dan bahkan mendiskusikan apa yang diinginkan. Di sanalah terbuka ruang diskusi dan tafsir tentang bagaimana kekuasaan ini akan bekerja. Dalam bukunya Interpretation of Culture, peneliti Clifford Geertz memang melihat kebudayaan sebagai sebuah konsep semiotik yang perlu diinterpretasikan maknanya melalui penafsiran-penafsiran tertentu.

ADVERTISEMENT

Kembali ke Jokowi, penggunaan tanggal baik, hari baik, dan perhitungan berbasis hitung-hitungan Jawa ini tidak hanya familiar kita lihat pada saat Presiden Jokowi akan membuat keputusan politik. Bisa saja, landasan ini juga dipakai untuk hal-hal yang mungkin bagi orang awam dianggap remeh temeh. Hal ini mengingatkan saya pada pengalaman saat menjadi wartawan yang kerap meliput kegiatan Jokowi sejak masa Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi Presiden.

Sebagai Gubernur DKI periode 2012-2014, Jokowi memang terkenal sering bepergian keluar kota dengan pesawat. Yang paling sering tentu saja rute Jakarta menuju Solo, kota tempat dia dan keluarganya tinggal berpuluh tahun. Di akhir pekan, mantan Wali Kota Solo ini biasanya kabur ke Solo tanpa meninggalkan jejak bagi para jurnalis yang biasa mengikutinya.

Tapi sejak urusan "copras-capres" (bahasa khas Jokowi ketika ditanya soal pencapresan pada 2014) mulai hangat, Jokowi kerap mengajak para jurnalis ikut terbang ke berbagai kota. Tidak melulu untuk urusan kampanye, tapi ada juga yang berkaitan dengan kegiatan resmi gubernur.

Kendati beberapa kali menumpang pesawat carter yang nyaman dengan jok kulit lebar dan pelayanan privat, Jokowi toh lebih sering menggunakan pesawat komersil. Sebuah maskapai plat merah selalu menjadi favorit.

Dari pengalaman beberapa kali satu pesawat dengan Jokowi, ada beberapa hal unik yang saya amati ketika Jokowi bepergian dengan pesawat komersil. Pertama, kendati selalu membawa pengawal dan ajudan, dia kerap membawa kopernya sendiri. Koper ukuran sedang berwarna cokelat itu selalu ia geret dan tenteng sendiri mulai dari turun mobil setiba di bandara, menuju, dan kemudian turun dari pesawat. Beberapa kali Jokowi menolak ketika ada orang yang ingin membantu membawakan koper miliknya.

Kedua, pangkatnya sebagai gubernur atau calon presiden tidak mengubah kebiasaanya untuk selalu duduk di kelas ekonomi. Jokowi mengakunya lebih irit. Atau mungkin saja dia takut duduk di bagian depan pesawat, karena kelas bisnis selalu ada di bagian depan. Kebetulan juga, beberapa literatur tentang keselamatan penerbangan menjelaskan tingkat keamanan yang lebih tinggi pada penumpang yang duduk di bagian belakang pesawat.

Ketiga, belum banyak yang tahu bahwa Jokowi ternyata selalu kedapatan, paling tidak oleh saya, duduk di deretan belakang pesawat, tepatnya di kursi nomor 43. Ya, selalu nomor 43. Kursi ini berada di deretan belakang sebelah kanan dan Jokowi selalu duduk di pinggir dekat jendela.

Pertama kali satu pesawat dan melihat Jokowi duduk di nomor 43 pojok, saya biasa saja. Kali kedua dan masih melihat hal yang sama, saya berpikir mungkin ini tidak sengaja. Begitu di penerbangan ketiga dan melihat Jokowi tetap duduk di nomor 43 dekat jendela, otak saya mulai bertanya-tanya, ada apa dengan nomor 43? Mengapa Pak Jokowi selalu duduk di situ?

Ketika mengobrol lepas, seorang pengawal secara sepintas mengungkap kebiasaan duduk di nomor favorit itu. "Biasanya sih kalau sudah tahu bapak yang mau pergi, langsung dikasih nomor 43," cerita si pengawal.

Makin penasaran, saya mencoba berdiskusi dengan beberapa teman wartawan. Rekan sejawat saya Prisca Niken, seorang jurnalis TV swasta yang kala itu sudah "mengekor" Jokowi sejak zaman menjabat sebagai Wali Kota Solo malah punya fakta lain. Bahwa dulu saat masih menjadi Wali Kota, Jokowi kerap duduk di nomor 29, di kelas ekonomi, dan dekat jendela.

Saat kami berkampanye di Lampung, saat menunggu pesawat di Bandara Radin Inten II, saya bertanya soal urusan nomor kursi pesawat ke Jokowi. Ia sudah tentu membantah ada unsur klenik atau alasan personal lain mengapa memilih nomor 43 atau 29.

"Masak saya minta nomer, saya cuma minta di belakang. Terus diberi nomer ya saya terima dong," sanggahnya sambil tertawa.

Tapi setelah didesak lagi, sambil senyum-senyum kecil, dia mengaku bahwa kedua nomor itu memang favoritnya ketika naik pesawat. Sambil tersenyum Jokowi akhirnya mengaku. "Iya, dulu 29 sekarang 43," ujarnya lagi sambil senyum-senyum.

Otak primbon saya kemudian bekerja dan mengutak-atik kedua angka tersebut, 43 dan 29. Saya tambah, kurang, kali, bagi dan akhirnya ketemu satu angka. Entah masuk akal atau tidak. Tapi jika kedua angka itu saling dijumlah atau dikurangi akan menghasilkan angka 7. Misalnya 4 + 3 = 7, sementara 9 - 2 = 7. Tapi itu sih bisa-bisanya saya saja menghubungkan dua angka tadi.

Masih belum puas juga, kita coba minta pendapat ke ahli numerologi. Menurut Shafira seorang numerolog dan ahli fengshui yang saya tanyai, angka 43 dan 7 yang jadi favorit Jokowi memang melambangkan kemakmuran dan kekuatan. Angka ini dinilai bisa membawa keberuntungan buat Jokowi.

"Kalau angka 4 dan 3 yang digemari Jokowi itu unsur kayu dan itu bisa mengontrol tanah. Jadi di situ pun ada kemakmuran," jelas Shafira.

Boleh percaya atau tidak, tapi faktanya 2014 memang menjadi tahun keberuntungan bagi Jokowi yang terpilih menjadi Presiden ke-7 selama dua periode.

Budi Adiputro co-founder Total Politik, host Adu Perspektif detikcom

Simak Video 'Politik Jawa Jokowi, 'Ojo Dumeh' Berbuah Reshuffle':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads