Problematika utama yang dihadapi oleh negara demokrasi yang masih berkembang seperti Indonesia adalah kesulitan dalam meramu strategi terhadap upaya pemenuhan, perlindungan, dan pemberdayaan publik yang benar-benar kontekstual. Ruang publik yang idealnya menjadi instrumen ampuh untuk menangkap horizon pemikiran dan aspirasi masyarakat seringkali dibajak oleh narasi yang tidak substansial bahkan tak jarang destruktif.
Satu sisi masyarakat masih belajar untuk mengoptimalisasikan kanal-kanal demokrasi, sedang di sisi lain, implikasinya, pemerintah sering merasa gagap untuk memutuskan kebijakan publik apa yang memiliki nilai representatif terhadap kepentingan publik. Tentu masih segar di ingatan kita ketika gerakan yang digawangi mahasiswa pada awal April lalu berhasil menarik atensi publik, bukan karena heroisme gerakan atau dampak dari tuntutannya, namun justru akibat munculnya insiden kekerasan terhadap salah satu tokoh media sosial ketika demonstrasi berlangsung.
Perilaku ini alih-alih mendorong keberhasilan isu kebijakan publik yang diadvokasikan justru menghasilkan hoaks dan ujaran kebencian terkait siapa aktor intelektual dan lapangan yang melakukan kekerasan tersebut. Satu minggu kemudian gerakan nirkekerasan yang masih terkait dengan aksi sebelumnya kembali dilaksanakan lewat mimbar bebas di medium televisi nasional. Lagi-lagi hal ini menarik atensi publik bukan karena isi diskusi yang dapat dijadikan bahan diskursus dan advokasi, tapi karena terdapat seorang mahasiswa yang memimpin demonstrasi namun salah mengucapkan narasi perbandingan terkait kebebasan yang ada di era Orde Baru dan Reformasi.
Lagi-lagi yang paling mencuat justru ujaran kebencian terhadap pihak terkait, sedang sebagian besar narasi substansial lainnya dilupakan. Dua kejadian menarik pada bulan April itu memiliki pola yang sama dan menjadi dasar argumentatif, bahwa tidak sedikit warga negara yang lebih suka menjadikan ruang publik sebagai tempat mempercakapkan sentimen alih-alih problem substansial yang harus dituntaskan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah hambarnya kebijakan publik yang dihasilkan negara.
Kebijakan tidak berangkat dari serapan kebutuhan masyarakat saat ini dan tantangan di masa depan, karena upaya untuk mengadvokasi substansi problematika publik selalu didistraksi oleh sentimen emosional publik. Isu sentimen ini biasanya dibungkus dengan muatan politik, ditambahkan stereotip seperti "kadrun-cebong", dan yang dibedah adalah dimensi privat milik satu atau sekelompok orang yang dianggap menyimpang.
Sangat sedikit ruang untuk memperbincangkan problem publik praktis apa yang sedang mencuat di sekitar dan langkah teknokratis apa yang bisa diadvokasikan sehingga dapat dikawal menjadi kebijakan publik.
Merekonstruksi Ruang Publik
Bagaimana cara kita mengawal kebijakan publik jika literasi terhadapnya pun tak punya? Pada posisi tersebutlah hal-ihwal terkait ruang publik memiliki relevansi dan urgensi untuk dijadikan instrumen solusi. Perlu digarisbawahi bahwa rusaknya ruang publik bukan hanya mengancam solidaritas dan integrasi antarwarga, namun juga mendistraksi kebijakan publik untuk menangkap keinginan dan kebutuhan warga negara.
Taktis mendistribusikan isu kebijakan publik di ruang publik supaya terarusutamakan secara demokratis mutlak diperlukan. Pengarusutamaan ini bukan sekadar mengetahui apa kata kebijakan publik pada kita, namun sekurang-kurangnya memahami bagaimana kebijakan publik bekerja. Tentu mudah jika bersandar pada pakar untuk mengkomunikasikan kebijakan publik di ruang virtual karena memungkinkan aksesibilitas yang tinggi, tapi lebih sulit melakukannya di realitas fisik sehari-hari, misalnya bagaimana cara pedagang pasar yang jarang mengakses gadget mampu mengakses isu kebijakan publik secara tuntas.
Pada kondisi ini perlu diketengahkan upaya untuk merekonstruksi ruang publik. Karena tidak sedikit ruang publik yang tidak difungsionalisasikan secara optimal bahkan tidak jarang disimpangkan sebagai ruang privat. Dapat kita temukan banyak tempat ibadah digunakan sebagai ritus peribadatan semata, mengeksklusi dari masyarakat sekitar yang membutuhkan peran sosial darinya. Alih-alih menjadi salah satu sentrum ruang publik untuk mempercakapkan kebutuhan masyarakat sekitar, justru seringkali menolak pihak yang membutuhkan tempat untuk sekadar beristirahat.
Di sektor pemerintahan, tidak sedikit gedung-gedung pertemuan warga hanya dijadikan ajang acara simbolik yang tidak berdampak langsung pada publik, bahkan tak jarang diperjualbelikan untuk kegiatan komersil. Sekolah, kampus, taman bermain, lapangan olahraga, dan tempat yang harusnya menjadi ruang publik lainnya tidak lepas dari disfungsionalisasi ini. Maka menjadi cacatan penting bagi pemerintah mulai dari level desa dan parlemen di level daerah untuk merekonstruksi ruang publik supaya menjadi kanal guna mengarusutamakan kebijakan publik.
Howar Husock dalam bukunya Who Killed Civil Soceity? The Rise of Big Government and Deccline of Bourgeois Norms (2019) menegaskan bahwa publik bukan sekadar justifikator kebijakan yang kehadirannya hanya dibutuhkan dalam pengambilan keputusan; pemerintah yang ingin tetap stabil dan relevan dengan problem zaman harus membuka ruang secara holistik bagi publik untuk terlibat dalam proses kebijakan publik.
Warga mestinya bukan hanya diajak untuk mempercakapkan kebijakan publik sebanyak sekali dalam satu tahun melalui musrembangdes atau tiga kali setahun selama masa reses DPRD. Namun isu-isu kebijakan publik di dalamnya harus dikanalisasi setiap waktu melalui ruang publik setempat, sehingga hasil musrembang dan reses benar-benar memiliki dasar argumentasi yang kokoh karena telah melewati proses dekonstruksi berulang kali.
Ruang Virtual Bukan Segalanya
Perluasan ruang virtual yang mendobrak batas-batas geografis tidak secara otomatis menciptakan resultan literasi publik yang produktif, karena seperti pernyataan Seth Stephens-Davidowitz dalam bukunya Everybody Lies: Big Data, New Data, and What The Internet Reveals About Who We Really Are (2017), bahwa media virtual merupakan alat sehingga motif penggunalah yang paling signifikan berdampak pada ruang publik apakah itu mendemokratisasi ide ataukah justru memonopoli kebenaran.
Menjadikan ide yang menggaet isu kebijakan publik terdistribusi di kanal media tentu menjadi hal yang perlu diketengahkan. Penting pula bersandar pada peran pakar kebijakan publik yang sadar terhadap mekanisme metodologi ilmiah dan/atau kaidah jurnalistik. Namun lebih dari itu, kesadaran dan kebijaksanaan publik secara umumlah yang benar-benar dapat mengontrol algoritma guna mendemokratisasi ide terkait kebijakan publik. Namun lebih dari itu, kebijakan publik tidak berjalan di ruang virtual semata, hingar bingar lanskap media justru seringkali tidak mampu menerobos rantai birokrasi.
Media mungkin ampuh untuk mengawal implementasi dan mengevaluasi kebijakan melalui konten yang bisa berujung viral, namun keterlibatan publik harusnya terjadi sejak dalam proses formulasi. David L. Weimer & Aidan R. Vining dalam bukunya Policy Analysis Concept and Practice (2017) menyebutkan bahwa proses formulasi adalah bagian yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan publik. Sayangnya kanal yang tersedia bagi warga negara untuk terlibat dalam proses formulasi kebijakan masih didominasi mekanisme konvensional dalam musrembang di tingkat desa hingga provinsi serta serap aspirasi pada masa reses oleh anggota parlemen.
Oleh karena itu advokasi kebijakan publik secara langsung merupakan opsi yang tidak boleh ditinggalkan. Percakapan terkait kebijakan publik bukan hanya dikanalisasi lewat media virtual namun juga dalam lingkungan fisik tempat waktu dicurahkan sehari-hari. Mempercakapkan kebijakan publik hanya dalam ruang virtual dapat terjerembab dalam klik-aktivisme atau slack-tivisme, yaitu ketika individu merasa telah berkontribusi pada gerakan sosial hanya dengan mengklik, men-share, dan membuat konten kebijakan tanpa melakukan pengawalan isu hingga tuntas.
Posting-an di ruang virtual harus tetap dikawal di lapangan. Jika kebijakan publik adalah sebuah bendungan yang berguna untuk kemaslahatan publik, maka ruang publik adalah kanal-kanal yang mempengaruhi debit dan kualitas isi bendungan. Masyarakat yang literer dan aktif mengawal kebijakan publik setelah terkanalisasi melalui ruang publik adalah bagian integral dari prasyarat terciptanya kebijakan publik yang prima. Pada gilirannya upaya ini akan mengkatalis derap Indonesia menjadi negara demokrasi yang maju karena ditopang oleh kebijakan publik yang berkualitas.
Muhammad Ikhsanul Amin RnD Komunitas Analis Kebijakan Publik Quit_Forum Awardee LPDP 2021
Kolom
Kanalisasi Isu Kebijakan Publik
Senin, 23 Mei 2022 13:29 WIB

Jakarta -