Hak Berpengetahuan dan Kendali Ujaran Kebencian

Hak Berpengetahuan dan Kendali Ujaran Kebencian

Iwan Yahya - detikNews
Sabtu, 02 Apr 2022 03:28 WIB
Kolomnis Iwan Yahya
Iwan Yahya. Foto: dok. iARG
Jakarta -

Ujaran kebencian itu laksana bising. Gangguan yang tak diinginkan karena memicu ketidaknyamanan, bersifat merusak serta dapat berdampak sangat buruk terhadap kesehatan. Lebih dari itu ujaran kebencian merusak kohesivitas masyarakat bahkan berpotensi memecah belah bangsa. Adakah solusi yang bersifat alami?

Memandang ujaran kebencian dalam perspektif setara bising memberi ruang untuk memahaminya dengan analogi prilaku penjalaran gelombang mekanik. Pancaran kebencian memiliki karakteristik yang berasosiasi setara dengan besaran frekuensi, panjang gelombang, dan energi, serta selalu memerlukan media untuk penjalaran.

Mengapa ujaran kebencian memiliki daya hasutan menggerakkan massa? Jika dicermati, ujaran kebencian selalu disajikan dalam pola yang diulang-ulang. Pesan durasi pendek repetitif yang disengaja untuk menggiring persepsi subyek penerima. Memicu respons tunggal bersifat spontan, membenarkan, bahkan penuh kemarahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada kasus ujaran yang menyasar masyarakat awam, kesengajaan perulangan analogi terhadap pola perambatan gelombang berfrekuensi tinggi di dalam material. Gelombang menjalar dalam pola periodik bertempo cepat. Panjang gelombang dan periodenya bernilai kecil sehingga energinya terserap efektif melalui mekanisme redaman viscous oleh pori maupun serat material. Porositas tinggi berdampak meningkatkan mekanisme serapan akibat akumulasi gesekan partikel udara dengan bidang permukaan pori atau serat. Energi gelombang terkonversi menjadi panas. Pada kondisi seperti ini serapan energi sepenuhnya ditentukan oleh parameter resistif material.

Sajian ujaran menggelegar nada tinggi memiliki kekuatan menggugah. Terlebih jika disisipi diksi yang sengaja dibenturkan dengan parameter esensial anutan publik.
Parameter esensial itu dapat berupa norma, rasa keadilan, identitas primordial suku dan adat, bahkan nilai dan sendi keimanan yang seolah ternodai. Homogenitas interaksi dalam lingkup terbatas serta cara berpikir jujur sederhana masyarakat awam dimanipulasi secara tak pantas. Disasar sebagai jalan merasukkan paham kebencian memantik perasaan terzalimi. Perasaan terzalimi itu analogi dengan paparan tekanan pada material yang menimbulkan efek regangan. Dampaknya mengubah bentuk dan struktur pori material, memperluas bidang gesekan yang lalu memicu peningkatan laju konversi energi menjadi panas. Itu sebabnya mengapa respon masyarakat awan lebih dominan bersifat emosional.

ADVERTISEMENT

Tidak berhenti di situ, untaian fakta di media menunjukkan bahwa para pelaku yang memiliki kadar intelektualitas tinggi memahami benar karakter respons publik. Mereka menyasar target dengan strategi berbeda. Pola yang lazim ditempuh adalah berupa paparan bersifat argumentatif dibumbui analisis untuk memberikan kesan ilmiah.

Mereka menyadari bahwa kalangan terpelajar dan masyarakat urban di kota-kota besar merespons isu apa pun berdasarkan kecocokan narasi dengan nalar bepikir kritis. Hal yang mensyaratkan dukungan ketersediaan bukti menguatkan. Maka tidak mengherankan jika sajian hoax dan rekayasa fakta lazim terjadi. Kasus Ratna Sarumpaet merupakan contoh yang nyata. Bukti bahwa kaum terpelajar sekali pun dapat sangat memiliki niat kuat untuk berbohong secara sengaja demi menebar kebencian. Sisi baiknya sendi kehidupan bermartabat selalu punya cara alami untuk menyajikan binar kebenaran. Drama Ratna Sarumpaet berujung sebagai jejak abadi ironi pilu yang mempermalukan dirinya sendiri.

Pola sebaran kebencian seperti itu pun dapat didekati dengan model yang sama. Reaksi kaum terpelajar beranalogi dengan mekanisme resonansi dalam perambatan gelombang di bentang frekuensi rendah. Energi akan terserap hanya jika frekuensinya memiliki kecocokan dengan nilai parameter reaktif material. Pada kasus gelombang bunyi, kelenturan dan massa material menjadi faktor penentu. Keduanya berasosiasi dengan wawasan pengetahuan serta pengalaman berinteraksi dalam komunitas heterogen yang menjadi ciri kalangan urban kota besar. Karena itu respon mereka bersifat rasional subyektif, tergantung kekuatan bernalar dan riwayat pergaulan.

Model interaksi gelombang dan material di atas bertumpu pada analisis impedansi. Impedansi adalah parameter fisika yang secara harfiah bermakna sebagai karakter penciri yang menentukan respons spesifik sebuah sistem fisis kala terdapat penjalaran energi yang melaluinya. Karakter tersebut tersaji dalam bentuk kompleks. Bagian realnya merujuk pada serapan energi bersifat resistif yang mengubah energi menjadi panas. Adapun bagian imajinernya merujuk pada serapan energi secara reaktif dengan mekanisme resonansi.

Terdapat suatu keadaan khusus ketika impedansi material dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seluruh energi gelombang dapat tersalurkan secara sempurna. Keadaan ini disebut dengan matching impedance. Situasi tersebut berasosiasi dengan tindakan manipulasi informasi dan peristiwa untuk memastikan bahwa pesan kebencian tertelan sempurna. Itu dapat terjadi bila pemahaman dan persepsi publik dapat dibuat selaras dengan bangun persepsi yang dikehendaki penyebar ujaran. Beruntungnya, analisis impedansi juga memberikan ruang peluang solusi untuk meredam sebaran ujaran kebencian seperti tersaji dalam uraian berikut.

Pemenuhan Hak Berpengetahuan Masyarakat

Telah digambarkan bahwa terserapnya pesan kebencian kepada masyarakat awam dapat dijelaskan dengan analogi mekanisme konversi energi gelombang menjadi panas. Serapan energi ini akan berkurang signifikan jika porositas material terkurangi signifikan pula. Keadaan itu dapat diciptakan dengan cara memasukkan material tambahan sebagai pengisi pori. Akibatnya nilai densitas membesar, material menjadi lebih keras dan reflektif. Di samping itu manipulasi impedansi dapat dilakukan untuk membuat material bersifat sepenuhnya reflektif sehingga semua gelombang terpantul sempurna. Sebuah padanan untuk keadaan masyarakat yang semula awam lalu berkemampuan menolak apa pun bentuk sebaran kebencian karena telah memiliki imunitas.

Mekanisme berbeda dapat diterapkan pada padanan keadaan kaum terpelajar. Manipulasi komponen imajiner impedansi memberi ruang untuk membangkitkan gelombang dengan fase yang berlawanan terhadap fase isyarat ujaran kebencian. Hal ini memicu keadaan anti resonansi dan interferensi destruktif. Ujaran kebencian dilawan dengan prilaku welas asih berupa kesadaran bersama untuk memperkuat semangat berbuat baik secara aktif dalam keserempakan.

Lantas tindakan apa yang tepat sebagai penguat imunitas pada kasus orang awam itu? Tindakan serupa yang memicu menguatnya kemampuan anti resonansi dan efek interferensi destruktif pada spektrum yang luas respons kaum terpelajar.

Itu tak lain dari tindakan pemenuhan hak berpengetahuan publik. Akses terbuka dan sajian sistematis asupan pengetahuan dapat menumbuhkan fundamen kokoh untuk mengkaji kebenaran pesan. Orang awam tidak lagi menjadi korban justru karena kejujuran dan kesederhanaan berpikir mereka yang dimanipulasi secara tidak patut. Wawasan pengetahuan yang lebih kaya dapat menjadi pengungkit daya kritis untuk melakukan pembandingan fakta sekaligus tameng susupan faham pembodohan yang menjerumuskan.

Bagi kaum terpelajar pemenuhan hak tersebut bersifat memperkaya khasanah untuk memperlebar bentang tapis susupan penyesatan. Termasuk misalnya keputusan untuk tidak merespons sebagai bentuk respons. Alih-alih bertaut dengan sebaran ujaran kebencian, kaum terpelajar justru dapat menjadi motor memperkuat keselarasan publik. Melawan dengan cara menebar kebaikan. Pemenuhan hak berpengetahuan publik menjadi katalis penguat keserempakan bersikap anti resonan terhadap sebaran kebencian.

Peran utama pemenuhan hak berpengetahuan itu tentu saja menjadi tanggung jawab negara. Itu dapat ditelusuri pada UU No 14 Tahun 2008 yang mengatur dan menjamin hak warga negara untuk mendapatkan informasi publik meski bukan secara tak terbatas. Undang-undang tersebut berdampak positif. Namun tidak dalam posisi sebagai bagian strategi melawan arus paparan ujaran kebencian.

Oleh karena itu, perguruan tinggi (PT) tepat untuk mengambil peran strategis. Selaras berkhidmatnya PT dengan institusi negara adalah bentuk pengejawantahan tridharma. Memantik kedekatan emosional masyarakat bahwa PT hadir nyata sebagai madrasah besar inovasi dan pencerahan. Tempat yang dituju publik untuk melabuhkan asa. Simpul cerdas ekosistem kuat pemberdayaan karena ketersediaan solusi persoalan publik.

Sumbangan pengetahuan para cendekia di PT laksana bandul pengendali irama yang berayun dalam dinamika interaksi sosial. Masyarakat kita memiliki karakter respons cepat dengan memori pendek atas suatu peristiwa. Terbaca dari prilaku meneruskan pesan dan tautan media sosial tanpa melakukan filter lalu mudah pula melupakannya tanpa mempertimbangkan dampak dari perbuatan itu. Mengacu kepada faham Dromologi Virilio, kelompok ini rentan menjadi korban ketidaksiapan menghadapi deras asupan informasi. Gagap tak sepenuhnya kuasa untuk berada dalam kecepatan perubahan kesadaran memahami keadaan. Seolah tidak memiliki gentong penyangga pertimbangan kritis sebelum mengambil keputusan. Membuat mereka tidak sadar justru menjadi elemen yang menyajikan manfaat bagi penyebar ujaran kebencian.

Setiap PT elok berkontribusi memperkaya khasanah ilmu dalam gentong penyangga pertimbangan masyarakat. Dalam perspektif interaksi gelombang dan materi gentong yang berisi penuh pengetahuan itu laksana resonator yang mempertinggi kelenturan sistem fisis dalam merespon aliran energi. Memberikan manfaat dengan adanya mekanisme redaman untuk menekan respon seketika transmisi energi. Sebuah keadaan yang merupakan analogi untuk upaya reduksi respon spontan publik meneruskan sebaran konten media sosial tanpa pertimbangan.

Mari berselaras memenuhi hak berpengetahuan publik untuk berbuat baik. Sebagai bangsa yang diberkati dengan limpahan parameter esensial kearifan nilai budaya, kita memiliki pegangan keluhuran nilai-nilai adat. Adat Jawa mengenal sesanti mamayu hayuning bawana yang bermakna ikhtiar memolekkan kehidupan di dunia. Begitu pun pesan sabalong sama lewa yang mengajarkan prinsip hidup selaras dan seimbang dalam sistem nilai masyarakat Sumbawa. Suku-suku nusantara yang lain pun memiliki pesan mulia senada yang mengajarkan mulianya berkebaikan dalam hidup selaras. Buah kecendekiaan bernalar leluhur bijaksana. Bahwa menjadi elemen penyalur aliran energi kebencian itu bukan pilihan.


*) Iwan Yahya - Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG), Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(tor/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads