Keselarasan atau koherensi selalu berkait dengan keadaan suatu kaum, himpunan, dan bahkan bangsa yang terbentuk dari relasi pertautan beragam unsur penyusun dengan masing-masing ciri dan keunikan spesifik. Laksana spektrum dalam perspektif sains, kadar keselarasan antarspektrum ditentukan oleh sedikit banyaknya kesamaan elemen penyusun. Similaritas yang tinggi menghasilkan nilai koherensi yang tinggi pula. Sebuah keadaan yang tentu bersifat analogi terhadap keselarasan antar kaum. Kian banyak penciri bersama, semakin kuat relasi antar kaum. Oleh karena itu, maraknya ujaran kebencian saat ini menghadirkan pertanyaan: Apakah sungguh sedemikian pupus nilai kearifan budaya bangsa hingga kita tak lagi merasa sejajar berpegang dengan penciri bersama?
Baca juga: Menuju Endemi, Ikhtiar Merdeka dari COVID-19 |
Nilai-nilai dan makna yang tertelusur dalam riwayat sejarah serta dapat dibuktikan sahih secara saintifik adalah sesuatu yang menguatkan keyakinan untuk menerima pluralisme berbangsa sebagai kesadaran pengakuan kolektif. Nilai-nilai dan makna tersebut bisa menjamin beragam keunikan dalam ikatan kelompok sebagai bangsa beradab.
Tentu selalu ada ruang pengetahuan yang dapat kita masuki untuk meramu jawaban dan penjelasan secara akademik untuk keadaan di atas. Hal itulah yang telah ditempuh kelompok peneliti di Lab Riset Akustik (iARG) Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Alih-alih menggunakan teori sosial maupun budaya, mereka menempuh kajian baru berbekal pemahaman fisika dan analisis spektral dalam interaksi gelombang dan metamaterial. Terdorong oleh beragam pencapaian kajian metamaterial berbasis origami maupun motif tradisional negara lain, peneliti di UNS mengembangkan struktur metamaterial terinspirasi motif batik Kawung.
Lantas di mana benang merah yang mengaitkan keselarasan, arus kebencian dan motif Kawung? Minat kajian itu ternyata dipicu bukan saja oleh makna filosofis manunggaling kawula lan Gusti yang melekat pada motif batik Kawung. Keteraturan pola dan bentuk simetris yang kuat menjadi pertimbangan penting. Perulangan pola dan kemampuan elemen penyusun yang selalu dapat membentuk pola lingkaran dari empat penjuru secara lateral sangat merarik perhatian. Hal yang mereka duga sebagai isyarat kompatibilitas respons serta kode penciri karakteristik interaksi sosial masyarakat. Isyarat yang sengaja disematkan secara tersembunyi di balik motif kawung. Dugaan yang menjadi dasar memilih analisis penjalaran gelombang pada struktur metamaterial sebagai jalan pembuktian. Pertimbangan yang tepat karena menyajikan cara membaca karakteristik dan respons struktur yang dikaji berdasarkan variasi nilai permeabilitas dan permitivitasnya.
Apakah sejatinya metamaterial itu? Secara etimologi, metamaterial tersusun atas kata meta dan material. Kata meta bermakna beyond, sehingga metamaterial bermakna sebagai material artifisial dengan sifat spesifik yang tidak ditemukan secara alami. Adalah Jagadish Chandra Bose, fisikawan India yang dikenal sebagai peletak ide dasarnya tahun 1898, lalu diteruskan Karl Ferdinand Lindmand tahun 1914. Wujud aktualnya disajikan Winston E Kock pada tahun 1948, meski formulasi teoretiknya baru muncul dalam karya fisikawan Russia Victor G Vaselago di jurnal ilmiah Soviet Physics Uspekhi tahun 1968. Perkembangan pesat menyusul sesudahnya. Salah satunya oleh fisikawan Inggris John B Pendry yang kemudian bersama Victor G Vaselago dihormati sebagai pionir metamaterial.
Sifatmetamaterial dapat dikaji berdasarkan penjalaran gelombang elektromagnetik sebagaimana dirumuskan dalam persamaan Maxwell. Permeabilitas danpermitivitas material menjadi dua parameter utama. Ketika keduanya bernilai positif, respons material muncul sebagai sifat alami. Kala salah satunya negatif, maka sifatnya menjadi plasma. Keadaan tak lazim muncul saat keduanya bernilai negatif. Benda dengan ciri seperti itu kemudian disebut sebagaimetamaterial. Gejala serupa terjadi pula di ranah akustik. Hal ini diungkap pertama kali olehZhengyouLiu dan kawan- kawan dalam artikel mereka di jurnal
Science tahun 2000.
Untuk kepentingan pengujian respons frekuensi dan kemampuan penyerapan bunyi, peneliti UNS mengembangkan struktur metamaterial akustik berupa penghambur kristal fononik berbasis resonator planar tertekuk. Respons frekuensi mengacu kepada kemampuan beresonansi yang secara harfiah dapat dipandang sebagai cara sistem untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan keadaan. Sementara itu serapan bunyi berkait dengan kemampuan sistem untuk menyerap energi.
Adapun kristal fononik adalah struktur periodik di dalam fluida dengan konfigurasi menyerupai struktur atom pada kristal zat padat. Namun demikian sifat dan respons fisisnya tidak sepenuhnya patuh dan dapat dijelaskan dengan kaidah teroretik serupa sebagaimana berlaku untuk material alami. Resonansi lokal meta atom yang teramati justru pada keadaan dimensi geometrik elemen metamaterial berorde sub panjang gelombang adalah salah satunya. Hal ini bertentangan dengan kaidah Bragg yang mengatur batasan dimensi geometrik minimal seperempat lamda sebagai syarat dalam interaksi perambatan gelombang pada material alami.
Untuk mendekati gambaran penyatuan dalam makna filosofis serta tautan berulang secara lateral pada motif kawung, maka peneliti UNS mengembangkan dua model tekukan pada resonator planar pembentuk elemen kristal fononik. Tekukan ke dalam sebagai perlambang interaksi resiprokal antarkarakter dalam masyarakat. Sementara itu tekukan ke arah luar sebagai gambaran keadaan di mana salah satu karakter bertaut dan tergandeng kepada karakter lainnya dari posisi tertentu.
Ditemukan bahwa respons frekuensi dan pola serapan bunyi pada setiap elemen kristal fononik yang diuji menunjukkan pola konsisten. Koefisien serapan bunyi elemen kristal fononik yang tertekuk ke dalam membentuk kurva berpuncak tunggal di bentang frekuensi rendah. Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan model elektroakustik. Bahwa penyatuan rongga resonator akibat tekukan ke arah dalam berdampak mengubah kerentanan yang memberi kemampuan beresonansi sebagai cara untuk menyerap energi gelombang dengan panjang yang lebih besar. Keadaan ini sesuai dengan perlambang penyatuan vertikal antara pemimpin dengan rakyat maupun keselarasan horizontal dalam masyarakat. Bahwa barisan yang terkoordinasi dan bergerak serempak dapat dimunculkan dari untaian interaksi personal yang bersifat resiprokal. Laksana pelukan. Ciri tersembunyi itu muncul dan terbaca dalam jelmaan karakter tunggal pada elemen kristal fononik.
Ketika resonator planar ditekuk ke arah luar, diperoleh kurva puncak ganda yang bertaut membentuk bentang frekuensi serapan lebih lebar. Hal yang mengisyaratkan bahwa elemen kristal fononik berprilaku bagai dua buah resonator tergandeng yang bekerja serempak. Keadaan ini secara tepat menjadi analogi untuk keadaan dua elemen sistem yang bergerak selaras pada posisi masing-masing. Laksana pemimpin yang menginspirasi masyarakat untuk saling selaras dalam kesatuan irama. Keserempakan tanpa melepas keunikan adalah ciri elemen penyusun interaksi dalam masyarakat. Isyarat pertautan ciri spesifik itu muncul dan terbaca sebagai penciri bersama dalam elemen kristal fononik. Temuan itu dipublikasikan dalam Journal of Physics: Conference Series tahun 2021.
Tentu bukan kebetulan bahwa semesta ternyata bekerja dalam cara yang sama. Cahaya dan bunyi alami tidak pernah muncul dalam wujud frekuensi tunggal, melainkan selalu sebagai superposisi jumlah tak terhingga harmonik. Para fisikawan menggambarkannya dengan relasi transformasi Fourier. Sebuah hukum alam yang dapat menjelaskan mengapa spektrum suara dan cahaya dapat dijadikan dasar sistem pendeteksi isyarat dan ciri secara spektral.
Kajian oleh peneliti UNS tidak saja memberi pembuktian sekaligus jawaban saintifik untuk pertanyaan di awal tulisan ini. Namun menyiratkan bahwa kebenaran fakta kadang memang harus dikupas dengan logika berpikir tidak biasa. Metamaterial adalah fakta sisi lain dari ayat semesta yang tak dapat dibaca dengan cara dan pengetahuan biasa. Sesuatu yang justru menjadi alat bedah pembuktian bahwa bangsa kita telah diberkati dengan kekayaan ragam kearifan budaya. Motif batik kawung tidak saja menyajikan kebenaran makna filosofis dan simbol kekuatan interaksi sosial masyarakat, lebih dari itu, bahkan menegaskan kesesuaian diri dengan sifat semesta, bahwa keberagaman adalah keniscayaan hukum alam.
Oleh karena itu, dalam konteks keindonesiaan kita saat ini yang sedemikian terusik dengan arus ujaran kebencian, pluralisme harus diterima sebagai agregat penguat berkah. Sebuah isyarat bijaksana yang telah terpatri sejak masa lampau yang secara luar biasa diselipkan dalam wujud pesan simbolik tersembunyi untuk diungkap dengan pisau pengetahuan dan baiknya akal budi. Temuan itu mengindikasikan betapa tajam kekuatan olah batin para empu di masa silam. Mereka sedemikian jitu mengemas isyarat kearifan dalam algoritma pengodean visual canggih, meski tak pernah sama sekali bersentuhan dengan transformasi Fourier yang menjadi pisau bedah ilmuwan masa kini.
Kebenaran yang elok untuk kita jadikan penguat kesadaran Keindonesiaan, bahwa pluralisme Indonesia adalah keniscayaan hukum alam. Nilai budaya adiluhung bangsa adalah buah tempaan kecendekiaan dan kearifan paripurna. Oleh karena itu, mensyukuri, menghormati dan merawat keberagaman dalam setiap wujudnya adalah bagian dari cara cerdas kita untuk menjadi sesejatinya anak bangsa Indonesia. Jika sudah demikian, apakah kecerdasan dan akal budi kita akan membiarkan keselarasan kehidupan berbangsa pupus dan kalah semata oleh pandangan sempit dengan nafas berbau benci?
*) Iwan Yahya - Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG), Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta. (tor/tor)