Tercapainya ketahanan pangan di negeri ini sudah menjadi amanat UUD 1945. Hal tersebut tak lain semata-mata demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang sejahtera. Salah satu cara guna meraih tujuan tersebut tentu terjaganya harga komoditas pangan. Namun untuk menciptakan harga pangan yang stabil memang bukanlah perkara mudah. Sebab ada sejumlah komoditas pangan yang rentan terhadap gejolak harga (volatile food) lantaran terjadi masalah seperti ketersediaan barang, permintaan dan penawaran, tersendatnya rantai pasokan/distribusi hingga momentum-momentum dunia yang sedang terjadi seperti Perang Ukraina-Rusia.
Sejak awal 2022, Indonesia telah dihadapkan dengan permasalahan kenaikan berbagai harga pangan. Sejumlah harga komoditas pangan seperti gula pasir, minyak goreng, kedelai, telur ayam ras, daging sapi dan ayam ras, hingga cabai merah mengalami lonjakan harga yang begitu fantastis di berbagai wilayah. Hal tersebut juga tercermin dari data inflasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS); inflasi Januari 2022 sebesar 0,56 persen.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi kelompok paling tinggi yang mengalami kenaikan harga yaitu sebesar 1,17 persen. Kelompok ini juga memberikan andil inflasi terbesar yaitu 0,30 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil inο¬asi yaitu daging ayam ras sebesar 0,07 persen, telur ayam ras (0,03 persen), hingga minyak goreng (0,01 persen).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seolah menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang berulang, kenyataan tersebut selalu terbuktikan dengan kenaikan harga bahan pokok yang selalu meningkat di awal tahun. Pemerintah pun kini kembali dituntut gerak cepat menjaga stabilitas harga agar tidak semakin menjalar ke dalam lini sosial-ekonomi masyarakat seperti jurang kemiskinan.
Minyak Goreng
Memasuki 2022 terasa menjadi hal yang berat bagi kebanyakan orang, terutama masyarakat golongan bawah atau miskin. Bagaimana tidak, di tahun ini ada begitu banyak kenaikan harga kebutuhan pokok yang membuat rakyat menjerit dan berisiko membuat kantong makin kering hingga jatuh miskin.
Minyak goreng merupakan salah satu bahan pokok yang mengalami lonjakan fantastis. Kenaikan harga minyak goreng pun sudah disikapi oleh pemerintah dengan membuat skema Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sebesar Rp 14.000 per liter. Dengan kebijakan tersebut diharapkan masyarakat dapat memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau. Namun ketika harga minyak goreng di pasaran sudah turun, keberadaan barang tersebut justru secara misterius lenyap.
Minyak goreng jadi barang langka. Dalam ilmu ekonomi, HET bisa menciptakan fenomena scarcity premium. Pihak yang telanjur membeli CPO dengan harga tinggi tentunya enggan menjual minyak goreng dengan harga murah. Momentum ditunggu dan stok ditahan sehingga terjadi kelangkaan. Meskipun barang tersedia, tetapi harganya melambung tinggi di atas HET.
Kini tampaknya pemerintah bak kibarkan bendera putih. Setelah kebijakan HET untuk minyak goreng tidak membuat situasi membaik, pemerintah memutuskan untuk melepas harga produk tersebut ke mekanisme pasar. Harga minyak goreng pun melonjak di kisaran Rp 25.000 per liter. Sementara di sisi lain, daya beli masyarakat saat ini di tengah pandemi COVID-19 pun belum bisa dikatakan benar-benar pulih. Hal tersebut tercatat dari laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sepanjang 2021 yang hanya sebesar 2,02 persen, masih jauh lebih kecil dibandingkan kondisi sebelum pandemi yaitu 5,04 persen pada 2019.
Garis Kemiskinan Makanan
Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS mengukur kemiskinan makro menggunakan pendekatan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan (basic need approach). Seseorang itu miskin atau tidak, digunakan nilai uang dari harga kalori 2.100 kilo kalori per kapita per hari yang merupakan komponen Garis Kemiskinan Makanan (GKM) ditambah dengan kebutuhan paling dasar dari non makanan atau komponen Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sehingga didapatkan Garis Kemiskinan (GK).
Komoditas pangan yang mengalami lonjakan harga pun punya andil cukup besar sebagai penyumbang Garis Kemiskinan Makanan. Jika dilihat secara nasional per September 2021, untuk wilayah perkotaan telur ayam ras menyumbang 4,30 persen, daging ayam ras (4,12 persen), gula pasir (1,92 persen), tahu (1,88 persen), dan tempe (1,87 persen) terhadap Garis Kemiskinan. Sedangkan untuk wilayah perdesaan, telur ayam ras menyumbang 3,69 persen, daging ayam ras (2,93 persen), gula pasir (2,68 persen), tempe (1,64 persen), dan tahu (1,56 persen) terhadap Garis Kemiskinan.
Fluktuasi harga pangan pun akan mendorong terjadinya inflasi yang tentu semakin menekan daya beli masyarakat. Bila kenaikan harga komoditi pangan tersebut terus berlanjut, dikhawatirkan semakin banyak rumah tangga rentan miskin atau sekitar garis kemiskinan akan jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Efek domino seperti kekurangan asupan gizi yang cukup pun menjadi perlu diwaspadai.
Stabilitas Harga
Stabilitas harga pangan merupakan keniscayaan. Lebih dari itu, harga pangan yang terjangkau kantong masyarakat merupakan keharusan. Harga pangan yang stabil tentu akan membuat inflasi terkendali. Pemerintah sebenarnya bukan tanpa upaya dalam menjaga stabilitas harga komoditas pangan dalam negeri. Sebanyak Rp 7,6 triliun sudah digelontorkan guna menekan harga minyak goreng dan kebijakan Rp 14.000 per liter. Namun yang terjadi setelahnya, keberadaan minyak goreng justru langka di pasaran.
Pemerintah harus memastikan distribusinya berjalan lancar. Koordinasi yang baik antar kementerian dan lembaga perlu dilakukan semisal pemeriksaan gudang-gudang penyimpan komoditas kebutuhan pokok untuk memastikan tidak terjadi penimbunan. Selain itu, jika ditemukan indikasi banyaknya minyak goreng yang di jual ke luar negeri karena harga di luar negeri lebih tinggi, pemerintah perlu menerapkan kebijakan perdagangan. Hal tersebut dilakukan dengan menaikturunkan kebijakan ekspor. Apabila kebutuhan dalam negeri terbatas dan kurang, pemerintah dapat menaikkan pajak ekspor.
Memastikan operasi pasar pada sasaran yang tepat dan tidak ada penyimpangan sedikit pun menjadi kunci suksesnya tindakan pemerintah dalam langkah stabilisasi komoditas pangan di masyarakat. Memasuki bulan Ramadhan yang biasanya diwarnai kenaikan harga pangan, pemerintah perlu menyiapkan sejumlah kebijakan. Mulai terkait meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi usaha tani, dan tata niaga komoditas pangan di hulu sampai hilir. Kemudian membuat kebijakan yang berpihak pada hajat hidup orang banyak dan rakyat kecil.
Pada akhirnya semua bermuara pada terwujudnya masyarakat yang sejahtera bukan menjerit akibat harga pangan yang semakin mencekik. Dan, niscaya asa ketahanan pangan bisa tercapai tak hanya sekadar angan.
Eko Apriyanto Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Halmahera Timur
(mmu/mmu)