Kolom

Keuskupan Atambua dan Tradisi Adat "Hel Keta"

A. Jefrino Fahik - detikNews
Jumat, 18 Mar 2022 10:44 WIB
Acara Hel Keta komunitas adat Dawan yang dilakukan di tepi sungai (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -
Hari-hari ketika varian baru Covid-19 Omicron sedang meluas di Indonesia, komunitas adat Suku Dawan (Atoin Meto) di Nusa Tenggara Timur sedang berjuang keras mempertahankan tradisi lokalnya, Hel Keta dari ancaman penghapusan oleh pemuka agama Katolik di Atambua. Ancaman penghapusan tradisi Hel Keta itu tertuang dalam Surat Edaran Keuskupan Atambua, Mgr. Dominikus Saku, Pr tentang Hel Keta, tertanggal 5 Februari 2022. Isinya menjelaskan tentang pelarangan acara Hel Keta.
Surat Edaran Keuskupan

Surat yang bernomor 14/2022 ini bisa dibagi menjadi empat bagian. Pertama, pendasaran empiris dikeluarkannya surat tersebut. Kedua, alasan-alasan praktis dan teologis-sosio-kulturalnya. Ketiga, eksplisitasi sanksi bagi para pelanggar. Keempat, perintah untuk mengumumkan surat tersebut kepada segenap umat Katolik Keuskupan Atambua.

Dari keseluruhan surat itu, kita bisa memahami inkonsistensi antara isi surat (harapan Gereja Keuskupan Atambua/GKA) dan harapan umat. Artinya, konsistensi terjadi apabila ada kesesuaian antara maksud GKA (isi surat) dan maksud umat. Kalau tidak terdapat kecocokan antara keduanya (harapan dan kecemasan umat dan harapan dan kecemasan GKA), maka surat tersebut perlu didekonstruksi sebab mengalami cacat secara substansial.

Pada bagian pertama, pendasaran empirisnya, surat tersebut dikeluarkan atas dasar pengamatan terhadap fenomena praktik Hel Keta. Jika dicermati, kita bisa menemukan ketidakcocokan antara isi tanggapan GKA dan fenomena praktisnya. Kalau pengamatan itu dilakukan secara fenomenologis mestinya bagian satu tidak ditutup dengan "pelarangan penyelenggaraan Hel Keta".

Kontradiksi terjadi karena pengamatan melibatkan aneka pengetahuan luhur yang diperas dalam empat alasan di bagian dua. Padahal Edmund Husserl (1859–1938), seorang filsuf Jerman, sudah mengingatkan bahaya itu. Realitas mestinya dibiarkan murni menampakkan dirinya kepada si pengamat agar tidak menimbulkan reduksi fenomenologis.

Masalah metodologis di bagian pertama itu menihilkan substansi di bagian kedua. Bagian ini terdiri atas empat alasan. Alasan pertama menegaskan bahwa praktik Hel Keta tidak sesuai dengan iman Katolik, maka acara itu adalah praktik mistis/magis. Di sini GKA coba menarik garis tegas antara iman Katolik dan tradisi lokal. Namun demarkasi ini tampak kekanak-kanakan.

Pemaknaan terhadap realitas mestinya melibatkan sudut pandang hermeneutika yang sehat, rasional, dan jernih. Hel Keta tidak termasuk dalam tradisi iman Katolik. Karena memang ia tidak di dalam kategori itu. Mematok tiga pilar iman Katolik--tradisi, Kitab Suci, dan magisterium--untuk menilai praktik tradisi lokal adalah kesombongan. Tradisi lokal punya makna etis-teleologis tersendiri sebagaimana tradisi iman Katolik memiliki makna teologis-eskatologisnya. Keduanya sama-sama berguna, tidak bisa dicampur-adukan secara rigid, dan mestinya saling memperkaya lewat proses inkulturasi.

Alasan kedua menjelaskan, Hel Keta tidak memiliki dasar dalam sosio-kultural. Ini membuat keseluruhan teks menjadi absurd. Acara itu punya dasar sosio-kulturalnya. Dalam tradisi Atoin Meto (Orang Dawan), Hel Keta dikaitkan dengan ritual pembersihan, menyucikan, membasuh--sebelum menikah. Melansir berbagai media, tradisi Hel Keta lahir sebelum Perang Dunia II, saat terjadi ketegangan sosio-politik antar berbagai kerajaan di Timor (maupun di luar Timor).

Situasi itu meninggalkan pengalaman "kematian", traumatis, dan gelap. Hel Keta justru menengahi situasi itu dengan menunjuk sentralnya prinsip komunitas dan humanitas. Hel Keta dibakukan menjadi praktik ritual dalam rangka membangun kembali kehangatan berkomunitas.

Alasan ketiga menyatakan bahwa acara Hel Keta memecah belah hubungan kekerabatan dan hubungan antarmanusia. Dari poin terdahulu, kita bisa memahami praktik itu justru melahirkan ikatan komunitas baru. Prinsip komunitas dan humanitasnya secara sosiologis menunjuk jantung persekutuan itu. Ini clear!

Alasan Keempat menjelaskan bahwa Hel Keta menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat. Sekarang kita bertanya, acara mana di bawah kolong langit ini yang tak membutuhkan dana? Soal beratnya ekonomi akan terbayar lewat indahnya membangun persaudaraan.

Runtuhnya sejumlah alasan di bagian kedua menjadikan ancaman sanksi pada bagian ketiga justru tak berguna (dengan demikian bagian keempat absurd dengan sendirinya). Hal ini dikarenakan tidak ada oknum yang perlu dihukum dan disalahkan. Hel Keta bukan sekadar praktik ritual (apalagi ritualisme), melainkan identitas setiap insan Atoin Meto. Itu artinya, Hel Keta dan Atoin Meto adalah satu hal. Keduanya diucapkan dalam satu tarikan napas. Karena kekhasan itulah eksistensinya pantas diperjuangkan dan dirawat.

Dalam rangka itu, Gereja punya tugas etis: merawat dan merevitalisasi nilai-nilai budaya tersebut. Watak eletis dan feodalisme Gereja abad pertengahan perlu ditinggalkan. Gereja perlu menatap dunia dengan kacamata Konsili Vatikan II (1962-1965) yakni mengakrabi dunia. Gereja yang tadinya bersifat eksklusif, sibuk dengan dirinya (ad intra) justru mulai membuka diri bagi dunia (ad extra).

Gaudium et Spess adalah dokumen resmi Konsili Vatikan II yang berbicara tentang hubungan Gereja dengan dunia itu. Selain sebagai dokumen terpanjang, baru dalam GS persoalan di luar Gereja dibicarakan secara terbuka dalam Konsili Ekumenis. Namun ketika Gereja universal bergerak seiring perkembangan zaman, GKA malah menunjukkan kemunduran. Padahal GS art. 1 sudah mengingatkan, Gereja mesti ikut merasakan "kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang."

Prinsip dan Tindakan


Hel Keta mengandung valensi ganda: prinsip dan tindakan. Sebagai prinsip makna, Hel Keta mengacu pada etimologinya dengan menunjuk dua kategori sentral: ontologis dan teleologis.

Secara ontologis, Hel Keta melekat dengan etimologinya dalam tradisi Uab Metô (bahasa Dawan)--(hel: tarik, sedangkan ketâ: lidi). Arti harafiahnya adalah menarik lidi. Makna menarik lidi adalah konsep yang mengacu pada upaya membersihkan tumpukan kotoran akibat dihalangi lidi-lidi. Konotasi Hel, tarik, berkaitan dengan memurnikan, menyucikan, sedangkan Keta, lidi, mengacu pada kotoran. Jadi, memurnikan, menyucikan, dan membersihkan kotoran (Hel Keta) adalah konsep subjek dan sentrum dari keseluruhan makna ontologis Hel Keta.

Selanjutnya makna teleologis dari Hel Keta selalu berkaitan dengan tujuan (telos) menciptakan tatanan/komunitas baru--lewat ikatan pernikahan. Makna reflektifnya berkaitan dengan membersihkan diri untuk lahir sebagai manusia baru di dalam hidup bersama (ikatan perkawinan). Dalam rangka itu, seseorang dimurnikan dan diinisiasikan untuk masuk dalam tatanan baru itu.

Implikasi moral dan sosio-kulturalnya, secara prinsipal tak bisa dipisahkan. Acara Hel Keta yang dipraktikan sesungguhnya abstraksi dari prinsip moral dan ideal sosio-kultural itu. Sebagai prinsip moral, Hel Keta mengandung nilai-nilai etis yang menunjuk jantung kebersamaan. Pokok ini sekaligus merupakan tujuan teleologisnya. Sebagai ideal sosio-kultural, Hel Keta melekat dengan budaya Ation Meto, sebagai buah pikiran dan komitmen bersama. Truisme ini menjadi postulat praktik Hel Keta sebagai acara tradisional.

Di level praktis, Hel Keta diacu sebagai sumber nilai. Ia berkaitan dengan fungsi, peran, perilaku, dan tanggung jawab yang melekat pada para pelakunya. Kendati dalam tindakan terdapat krisis pemaknaan dan refleksi terhadapnya, itu tidak menjadi dalil untuk melenyapkannya. Sebab, membangun suatu budaya tidak sesederhana mencabut bulu ketek. Ia butuh pikiran, skema dinamika sosio-kultural, dan hasil interaksi timbal-balik antar tindakan manusia dan struktur sosial dari waktu ke waktu. Karena itu, kita perlu mentransendensi diri untuk sampai pada suatu refleksi tentangnya. Hanya dengan itu, kita bisa mendiagnosa dengan kadar yang tepat.

Refleksi


Sketsa kecil yang diuraikan di atas mengandung komprehensi dan konsekuensi, baik praktis maupun etis. Di level praktis tentu tidak ada masyarakat, tradisi sosial-kultural yang tidak punya masalah, dahulu maupun sekarang. Maka, dalam rangka melahirkan tatanan imanen yang taat agama bukan dengan cara memberangus akar tradisi lokal yang berseberangan dengan aliran mainstream.

Misalnya memberangus Hel Keta karena dianggap tidak cocok dengan iman Katolik adalah contoh kebangkrutan intelektual. Di mana kebangkrutannya? Kesalahan pada tataran praktis dijadikan alasan untuk menghapus raison d'être Hel Keta. Ketidakmampuan membedakan hal praktis dan raison d'être hanya muncul dari kesempitan dan kedangkalan melihat dan mendekati persoalan. Maka, soalnya bukan perkara melenyapkan akar tradisinya, melainkan bagaimana tradisi itu diperlakukan, diberi nilai. Ini soal kadar pemberian makna.

Selanjutnya di level etis, Hel Keta mempererat ikatan komunitas. Hel Keta sebagai sumber nilai, ia memungkinkan realitas sosiologis berlangsung sehat. Di sana suatu tatanan dirawat untuk memperkaya ruang hidup kita. Pokok inilah yang hilang dari kesadaran kita. Singkatnya, heboh kita tentang eksistensi Hel Keta hari-hari ini sesungguhnya merupakan gaduh kita tentang ketidakberdayaan kita sendiri untuk memberi makna dan menangkap nilai bagi kehidupan kita.

A. Jefrino Fahik alumnus STF Driyarkara



(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork