Kolom

Jokowi, Obama, dan Harmoko

Sudrajat - detikNews
Kamis, 17 Mar 2022 10:38 WIB
Sudrajat (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

I actually think I'm a pretty good President. I think if I ran, I could win. But I can't. There's a lot that I'd like to do to keep America moving. But the law is the law, and no person is above the law, not even the president.

Presiden Barack Obama menyampaikan hal itu dalam pidato tanpa teks di hadapan perkumpulan Uni Afrika di kota Addis Ababa, Ethiopia, 29 Juli 2015. Dia patut percaya diri bicara demikian sebab hasil jajak pendapat yang digelar CNN/ORC mencatat kepuasan terhadap dirinya kala itu mencapai 50%, tertinggi sejak 2013. Tingkat kepuasan itu kembali meningkat di angka 52% pada Juni 2016, dan menjadi 55% pada Oktober 2016.

Di luar itu, Obama sebetulnya tengah menyindir para pemimpin di Afrika yang kerap enggan melepaskan kekuasaan mereka secara elegan ketika masa jabatan berakhir. Disambut tepuk tangan hadiri, Obama menyatakan dirinya sama sekali tidak mengerti motivasi di balik keinginan tetap berkuasa lewat jalan kekuatan, "even when leaders have "got a lot of money."

Di Tanah Air, Survei Litbang Kompas pada akhir Januari 2022 menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin mencapai 73,9 persen. Angka ini meningkat dari 66,4 persen dibandingkan survei serupa pada Oktober 2021. Capaian angka tersebut bahkan tertinggi selama survei-survei sejenis dilakukan sejak Januari 2015 atau di awal masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Mungkin karena itulah ada tiga ketua umum partai politik melontarkan wacana agar Pemilu 2024 ditunda. Artinya masa berkuasa pemerintahan Jokowi diperpanjang. Meski mungkin tidak sampai lima tahun, ide ini dianggap penghalusan dari wacana agar Jokowi bisa kembali memimpin hingga tiga periode. Wacana ini diperkuat dengan 'big data' yang dimiliki Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

Soal penundaan pemilu, republik ini memang pernah beberapa kali melakukannya. Kita tahu Presiden Sukarno cuma menggelar satu kali pemilu, yakni 29 September 1955. Pemilu kedua yang dijadwalkan pada 1959 batal digelar. Dengan alasan keamanan, pada 1958 pemerintah dan parpol-parpol sepakat menunda ke 1960.

Ada yang menyebut alasan sebenarnya di balik penundaan itu karena parpol-parpol melihat PKI makin kuat. Jika digelar pemilu sesuai jadwal, PKI bisa menjadi pemenang. Pada Pemilu 1955 PKI berada di urutan 4 setelah PNI, Masyumi, dan NU. Tapi dalam Pemilu Daerah 1957-1958, PKI justru unggul di banyak daerah yang merupakan basis NU. Ini yang menjadi sumber ketakutan parpol-parpol kala itu.

Pejabat Presiden Djuanda pernah menyatakan pemilu akan digelar pada 20 Mei 1962. Tapi karena ada operasi pembebasan Irian Barat, pemilu kembali urung dilakukan. Jadwal Pemilu 1968 mundur ke 1971 di masa Orde Baru.

Republik ini baru kembali menggelar pemilu pada 1971. Itu pun mundur dari jadwal yang ditetapkan MPRS bahwa pemilu harus digelar pada 1968. Dengan waktu persiapan yang sangat pendek dan psikologi politik yang masih rentan sebagai transisi dari Orde Lama, Jenderal Soeharto baru menggelar pemilu pada 1971.

Dari yang semula merasa tak siap dan malu-malu, berkat konsolidasi kekuatan yang dilakukan para hulubalangnya, Jenderal Soeharto kemudian menjelma menjadi penguasa terlama: 32 tahun. Ia terpilih seolah konstitusional lewat MPR hasil pemilu lima tahun sekali.

Pada 1995, Soeharto sebetulnya telah mengisyaratkan akan menjadi periode terakhir untuk memimpin. Ia merasa sudah capek dan sepuh. "Pak Harto mengatakan dirinya sudah TOP (tua, ompong, dan peot)," tulis Sumardjono, mantan ajudan Soeharto, dalam buku Pak Harto, The Untold Stories.

Tapi, ia melanjutkan, partai-partai politik dan Mabes TNI rupanya masih menginginkan Pak Harto. Ketua Umum Golkar Harmoko juga terus mendorong dan meyakinkan Soeharto bahwa rakyat masih menghendaki. Pada peringatan hari ulang tahun Golkar, 20 Oktober 1997, Harmoko menyampaikan pidato panjang lebar untuk meyakinkan Soeharto maju kembali.

Sejak memimpin Golkar pada akhir 1993, Harmoko rajin keliling daerah lewat program "temu kader". Aktivitas ini dimulai dari Purwakarta, Jawa Barat pada Januari 1994 dan berakhir di Sulawesi Selatan pada 26 April 1996. Total 305 Daerah Tingkat II di 27 provinsi disambangi Harmoko bersama para elite Golkar. Sebagai Menteri Penerangan yang juga mantan wartawan, Harmoko selalu bisa menghadirkan candaan segar dalam setiap pertemuan.

Hasilnya, perolehan suara Golkar pada Pemilu 1997 meraih 74,51 persen suara. Meningkat 6 persen dari peroleh pada Pemilu 1992 yang sebesar 68,10 persen. "Itu rekor prestasi yang hingga kini belum terpecahkan," tulis Rully Chairul Azwar dalam buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era.

Ganjarannya, Harmoko yang telah tiga periode menjadi Menteri Penerangan, dipercaya menjadi Ketua DPR/MPR. Pada 11 Maret 1998, MPR kembali melantik Soeharto menjadi Presiden. Tapi sekitar 70 hari kemudian, Harmoko yang meminta agar Soeharto mengundurkan diri. "Demi persatuan dan kesatuan bangsa," ucapnya dalam jumpa pers di Kompleks Parlemen, 18 Mei 1998. Tiga hari kemudian, Soeharto pun memenuhi permintaan tersebut.

Dari nukilan riwayat tersebut, Presiden Jokowi dapat berkaca untuk menjadi negarawan seperti Obama. Juga berkaca dari tingkah elite partai seperti Harmoko yang dalam sekejap bisa menjadi "brutus". Monggo kerso, Pak Jokowi!

Sudrajat wartawan detikcom

Simak Video 'Tepis Isu Penundaan, Ini Pesan Jokowi Terkait Pemilu 2024':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork