Kolom

"Layangan Putus", Poligami, dan Perselingkuhan

Ika Lestari Rahayu - detikNews
Jumat, 25 Feb 2022 09:24 WIB
Foto ilustrasi: iStock
Jakarta -

Tayangan film seri Layangan Putus masih menjadi bahan perbincangan baik di dunia maya maupun dunia nyata. Diskusinya begitu lebar, dari pemilihan dan hasil akting pemeran, skenario yang mempertontonkan adegan vulgar dalam kacamata warga Indonesia, perbandingan dengan beberapa penonton yang mengalami kejadian serupa, pro-kontra mengenai kehidupan rumah tangga, dan sebagainya.

Penggalan kisah hidup sebuah pasangan dalam mengarungi pernikahan selalu menjadi bahasan menarik. Pemasaran yang masif dan kemudahan akses melalui internet, membuat tayangan itu begitu diminati. Berbeda dengan tayangan di stasiun televisi yang hanya bisa ditonton di jam tertentu, warganet bisa mengakses tayangan itu kapan saja.

Embel-embel 'berdasarkan kisah nyata' memberi tambahan angka rating penilaian yang cukup signifikan untuk diikuti. Hal itu juga yang menjadikan ceritanya lebih mudah menyentuh hati pembaca dan pemirsa Indonesia yang sangat menjunjung tenggang rasa, dilengkapi rasa keingintahuan yang tinggi akan kehidupan seseorang. Bahkan, warganet disinyalir mengawal ketat dan menjadi detektif piawai yang berhasil mengungkap kehidupan pribadi penulis dan mengetahui sosok-sosok yang ada dalam cerita.

Sama halnya dengan hubungan orangtua dan anak, suami dan istri merupakan hubungan yang luar biasa unik. Oleh karenanya, hubungan suami dan istri yang dipublikasi, tentu menjadi bahan asyik untuk dibicarakan. Bahkan, beberapa orang mulai membentuk kubu satu dan kubu dua. Terutama kaum ibu-ibu pemerhati masalah sosial yang mulai membandingkan dengan kisah serupa yang mereka lihat atau alami langsung.

Jika hubungan orangtua dan anak adalah hubungan yang ditentukan langsung oleh Sang Maha Pencipta, berbeda halnya dengan hubungan pernikahan. Sebuah lembaga pernikahan lebih unik karena terbentuk dari hasil pilihan oleh masing-masing individu yang menjalaninya. Begitu dipersatukan dalam ikatan pernikahan, melekatlah aturan mengenai hak dan kewajiban berdasarkan hukum negara yang berlaku, juga berdasarkan kaidah agama yang dianut, sebagai konsekuensi pilihan. Namun, manusia sering melalaikan hal itu.

Ada dua hal yang berbeda tetapi saling terkait saat menyikapi fenomena Layangan Putus atau secara umum di saat hati seseorang dalam sebuah pasangan, berpaling. Yang pertama, mengenai poligami sesuai yang saya sampaikan dalam buku. Kemudian yang kedua, mengenai perselingkuhan yang lebih kentara di film serinya.

Seperti ajaran agama lain, Islam juga melarang perbuatan zina. Mendekatinya saja sudah tidak diperbolehkan, apalagi sampai melakukannya. Perselingkuhan yang terjadi dalam sebuah pernikahan, sangatlah lekat dengan kemungkinan berzina.

Islam memberikan solusi dengan diperbolehkannya seorang lelaki memiliki istri dua, tiga, dan maksimal empat orang. Sebelum turunnya aturan itu, di era yang disebut jahiliyah, seorang lelaki bisa saja menikahi ratusan bahkan ribuan istri seperti di masa raja-raja terdahulu. Islam mengatur bagaimana seorang lelaki wajib berlaku kepada istrinya. Jika lelaki itu memutuskan untuk menikahi lebih dari satu orang, tentu akan membawa serta segala konsekuensinya.

Praktik poligami sudah biasa dilakukan banyak lelaki yang punya kelebihan harta, kelebihan waktu, kelebihan tenaga, dalam mengepalai rumah tangganya. Agama menafsirkan bahwa hasrat memiliki lebih dari satu perempuan menjadi fitrah seorang lelaki. Akan tetapi, ayat tersebut juga diikuti dengan kalimat yang diawali dengan kata 'jika'. Jika dirasa tak mampu berbuat adil, seorang lelaki diminta memilih beristri satu orang (monogami) saja.

Pro-kontra mengenai poligami sudah sangat sering diperbincangkan. Satu hal yang pasti, setiap rumah tangga memiliki masalahnya masing-masing. Ujian yang diberikan berbeda untuk setiap pasangan. Boleh saja kita beranggapan sedang belajar meluaskan wawasan kita bersama pasangan. Tetapi, jika berbeda variabelnya, maka keadaan yang akan dihasilkan pun berbeda. Bisa dikatakan, pernikahan memang pelajaran yang tidak akan pernah berhenti seumur hidup.

Setiap pasangan mendapat pelajaran 'sejarah' bagaimana rumah tangga orang tua sendiri dan orang tua pasangan. Kemudian dengan pasangan tersebut, membuat sejarah baru yang diharapkan bisa dijadikan teladan bagi buah hati hasil pernikahan mereka. Itu upaya setiap individu menyerahkan tongkat estafet pada keturunannya untuk melanjutkan tradisi baik dan memutus mata rantai hal-hal buruk yang terjadi.

Terdapat juga pelajaran 'biologi' dan 'sosial' untuk mengenal diri sendiri dan pasangan, kemudian menjadikan pernikahan sebagai sarana legal meneruskan keturunan. Mempelajari hal-hal yang disukai atau tidak disukai pasangan, serta bagaimana cara saling berkompromi keinginan masing-masing.

Pelajaran 'seni' dalam mencintai juga menjadi hal yang selalu perlu eksplorasi. Tak hanya itu, sebuah pasangan juga harus menguasai pelajaran 'matematika' alias ilmu berhitung. Jika seni lebih fokus pada kualitas rasa yang dihasilkan, berhitung akan menjadi dasar logika berpikir secara kuantitatif.

Kaum hawa disinyalir jarang berhitung dengan tepat pada perumusan rencana jangka panjang. Sementara para adam, berhitung. Bahayanya, belakangan ini banyak lelaki yang juga tidak memikirkan matang-matang tindakannya yang kemungkinan berdampak besar pada rumah tangganya sendiri. Layangan yang dibiarkan terbang tanpa diarahkan, benangnya yang rapuh akan mudah putus dan layangannya melayang tak tentu arah. Mungkin hal itu yang digambarkan pada fenomena Layangan Putus.

Beberapa perhitungan yang tak semua kaum lelaki pikirkan lebih jauh misalnya sebagai berikut:

Satu, mengenai perekonomian keluarga. Bertambahnya istri, berarti siap bertambah anak. Sebagai kepala keluarga, seorang lelaki harus berhitung kemampuannya sebagai pencari nafkah dari istri yang lebih dari satu orang. Artinya, akan ada tambahan kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder yang mengiringi.

Dua, jumlah orang yang terlibat dalam keluarga. Sebuah candaan seseorang misalnya, "Punya istri dua, artinya bakal punya dua pasang mertua.". Pernyataan ini sangat masuk akal untuk diperhitungkan. Hubungan mertua dengan menantu biasanya perlu kecermatan seorang lelaki. Mertua mana yang merelakan menantunya menduakan putrinya? Kemungkinan adanya persaingan yang tidak sehat akan sangat bisa terjadi. Jika tidak dipikirkan masak-masak, maka keputusan itu berpeluang menimbulkan friksi dari banyak pihak, yang akan membebani pikiran lelaki itu sendiri di masa depan.

Tiga, masalah kesehatan dan waktu luang. Setiap orang jarang memikirkan bahwa ada saatnya manusia dalam keadaan sakit, lemah, tak berdaya. Salah seorang pelaku poligami mengaku sedih bukan main saat harus dihadapkan pada pilihan menemani anak dari istri pertamanya yang sedang sakit atau menemani istri keduanya yang hendak melahirkan. Seorang lelaki yang memiliki nurani, pasti akan bimbang dalam keadaan demikian. Pun keadaan semisal terjadi saat acara undangan sekolah anak dari istri satu yang jadwalnya bersamaan dengan undangan sekolah anak dari istri yang lain.

Empat, masalah keadilan dalam membagi warisan nantinya. Mungkin tak banyak lelaki yang memikirkan konflik yang terjadi setelah dia meninggalkan keluarga yang dibentuknya. Apalagi jika pernikahan keduanya dilaksanakan tanpa sepengetahuan istri pertama. Boleh jadi masing-masing pihak tidak mengetahui besaran sesungguhnya dari bagian yang menjadi haknya. Artinya, ada pihak yang terzalimi karena tidak mendapatkan haknya dan ada pihak yang tanpa sengaja menzalimi menggunakan harta yang merupakan hak pihak lainnya.

Selain itu, ketidakjujuran pasti akan berimbas secara psikologis pada anak. Tak hanya berpengaruh pada doa macam apa yang akan mereka panjatkan, namun juga berpengaruh pada sikap yang diambil dalam keluarga mereka kelak. Jika lelaki itu termasuk orang yang beriman, pastinya tak ingin meninggalkan dunia dengan nama tercoreng atau menyakiti hati orang-orang yang dikasihinya.

Dari sisi perempuan sebetulnya juga banyak ditemukan fakta menarik. Studi membuktikan, lelaki adalah tipe visual. Banyak perempuan yang salah perhitungan. Mereka bersolek cantik saat hendak bepergian keluar rumah, sementara nyaman dengan baju yang tak disukai suami saat menemani suaminya di rumah. Padahal, suami berangkat mencari nafkah dan disuguhi pemandangan rekan kerjanya berdandan cantik layaknya si istri jika hendak keluar menemui teman-temannya.

Perubahan perilaku sosial di sekitar kita pun terkadang menempatkan para istri dalam posisi yang serba salah. Jika bekerja di kantor, dianggap kurang mengurus suami. Sementara jika 'hanya' menjadi ibu rumah tangga, dianggap menjadi tukang tadah gaji suami.

Bukan satu atau dua orang ibu bekerja dengan penghasilan yang lebih besar daripada penghasilan suaminya. Egonya akan menganggap bahwa peran dalam menafkahi keluarga menjadi setara. Padahal, seorang laki-laki mempunyai harga diri yang jika terluka, dia akan melakukan perhitungannya dan melampiaskan pada pelabuhan hati yang lain.

Tentu saja masih banyak hal lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan seorang lelaki dalam mengambil keputusan berpoligami. Meski begitu banyak masalah dalam sebuah rumah tangga, apakah menjadikannya sebuah pembenaran bagi seseorang untuk melakukan poligami? Kemudian, apakah karena begitu beratnya konsekuensi berpoligami, lelaki lebih memilih berselingkuh?

Jika sudah terdapat aturan halal-haramnya dalam sebuah pedoman hidup, apakah kita hendak mencoba merumuskan yang baru?

Jawabannya sebetulnya simpel. Poligami diperbolehkan, zina diharamkan. Solusi yang mudah dibicarakan secara teori, namun sulit diterapkan, yaitu: perbaikan komunikasi. Setiap individu mempunyai ego. Masing-masing menuntut haknya, namun lupa kewajiban yang melekat padanya. Dengan angan-angan yang terlampau tinggi, menjadikan seseorang lupa bersyukur. Akibatnya adalah ketimpangan berupa panjang angan, tapi pendek perhitungan.

Komunikasi menjadi sangat penting karena harus dilakukan tak hanya secara horizontal bersama pasangan, namun juga secara vertikal dengan Zat Yang Menggenggam hati dan jiwa setiap insan. Bila hubungan horizontal kita bermasalah, maka idealnya diperbaiki berdua pasangan, ditambah dengan memperkuat hubungan vertikal melalui doa kepada Yang Maha Memberi Petunjuk.

Jika memang tak dapat dipertahankan, agama memberikan solusi perceraian-yang dalam Islam diperbolehkan meskipun dibenci oleh Yang Maha Mencintai. Maka, hidup berpasangan dalam membangun rumah tangga harus selalu diniatkan untuk mendapatkan rida Yang Maha Kuasa. Hal itu hanya akan didapat jika dilakukan dengan cara yang sesuai syariat, tidak berdampak menyakiti hati banyak orang lain.

Jadi, bagaimana? Siapkah berpoligami atau masih berani berniat melakukan perselingkuhan?

Ika Lestari Rahayu ibu rumah tangga berputra dua, tinggal di Tangerang
Juara 2 Lomba Artikel "Ketika Hati Berpaling" yang diselenggarakan Komunitas Rasa(N)Yuk!




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork