Presiden Joko Widodo dibuat geram atas maraknya mafia karantina terutama menimpa warga negara asing yang datang ke Tanah Air atau sebaliknya. Berbagai pengaduan masuk, hingga sampai ke telinga orang nomor satu di republik ini sehingga memerintahkan Kapolri untuk bertindak cepat memberantas mafia karantina.
Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) saat ini menjadi sasaran oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Alih-alih menikmati liburan ke Indonesia, beberapa turis harus melewati sejumlah prosedur perjalanan sebelum mencapai tujuan, termasuk menjalani proses kekarantinaan dari hulu sampai hilir yang telah diatur bagi WNA dan WNI dari luar negeri antara lain: sertifikat vaksin Covid-19 dosis lengkap, hasil tes PCR negatif berlaku 3 hari, wajib melakukan tes PCR ulang, dan karantina 5 hari, tempat karantina wajib memperoleh rekomendasi Satgas Covid-19, dan wajib menggunakan aplikasi PeduliLindungi.
Memang potensi penyalahgunaan prosedur karantina oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan atau mafia karantina tinggi di area-area publik terutama di titik-titik kedatangan seperti bandara, pelabuhan, maupun terminal. Namun potensi tertinggi tetap di area bandara, mengingat posisi bandara yang sangat strategis dalam akses lalu lintas atau jalur keluar masuk negara yang disebut Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN).
PPLN di Indonesia yang semula 7 x 24 jam kini dipangkas menjadi 4 x 24 jam, lantaran menyesuaikan dengan masa inkubasi varian Omicron yang dinilai lebih cepat. Harus diakui, pandemi Covid-19 menyebabkan berbagai pihak harus "menyesuaikan diri" dengan karakteristik pandemi, apalagi diiringi dengan masifnya penyebaran varian-varian baru yang terus bermunculan tanpa bisa dibendung. Di bandara misalnya, salah satu identifikasi berupa titik buta (blind spot) yang dimanfaatkan mafia untuk melanggar aturan karantina kesehatan.
Blind spot merupakan area yang tidak terlihat oleh Satgas Penanganan Covid-19 dan menjadi titik lemah pengawasan seperti keluar pintu pesawat sampai masuk gedung bandara; hanya ada petugas khusus, sebab wilayah tersebut merupakan area keamanan dan keselamatan penerbangan sehingga hanya petugas tertentu yang diizinkan masuk sehingga mudah dimanfaatkan oknum untuk langsung menjemput tanpa melalui prosedur karantina terlebih dahulu atau memiliki kartu askes (pas bandara) agar bebas keluar masuk saat menjemput penumpang.
Di sisi lain, dalam proses karantina di hotel misalnya penetapan tarif harga hotel untuk karantina dan penambahan serangkaian biaya untuk tes PCR Covid-19 terhadap PPLN atau WNA yang menjalani prosedur dan aturan karantina.
Pemerintah harus memastikan perlindungan setiap warga negara dalam bentuk keselamatan termasuk ancaman serangan Covid-19. Di pihak lain, kondisi ini ditangkap sebagai peluang bagi pebisnis di bidang kesehatan. Celakanya beberapa oknum memanfaatkan situasi tersebut.
Bisnis kesehatan amat menggiurkan apalagi dalam kondisi pandemi. Namun jangan lupa bahwa di dunia kesehatan terdapat norma, etika yang harus dijunjung tinggi sebagai bagian dari manifestasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 1 menyebutkan bahwa Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Sesungguhnya sistem pelayanan kesehatan harus menempatkan pelayanan bagi yang paling menderita sebagai prioritas. Artinya tingkat keparahan dan ancaman keselamatan jiwa menjadi ukuran prioritas dalam bingkai indikasi medis sehingga menentukan urgensi tindakan yang akan dilakukan. Adanya nilai-nilai penyembuhan dan kemanusiaan yang khas dimiliki secara tradisional oleh lembaga pelayanan kesehatan.
Terlebih karakteristik layanan kesehatan adalah bersifat ketidakpastian yakni kebutuhan akan pelayanan kesehatan tidak bisa pasti, baik waktu, tempat maupun besarnya biaya yang dibutuhkan. Dengan ketidakpastian ini sulit bagi seseorang untuk menganggarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatannya. Dalam karantina tentu tidak tahu tindak atau intervensi apa yang diberikan. Kondisi inilah yang acapkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak penyedia layanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab.
Belajar dari Pengalaman
Dalam pandemi, berbagai problem ketidakadilan tengah dipertontonkan kepada masyarakat seperti kasus kaburnya selebgram Rachel Venya beberapa waktu lalu dari karantina dengan memberi suap petugas usai pulang dari Amerika Serikat, joki karantina yang membantu sejumlah warga negara India lepas dari kewajiban menjalani karantina, dan berbagai dugaan melakukan tindak pidana penipuan bermodus menjanjikan karantina mandiri kepada orang yang baru kembali dari luar negeri kian marak.
Secara prinsip terdapat empat prinsip etis yang harus diperhatikan untuk memutuskan individu atau kelompok mana yang harus diprioritaskan dalam pelayanan kesehatan. Pertama, prinsip persamaan (equality), artinya setiap keinginan orang harus diperlakukan sama. Kedua, prinsip manfaat (utility), artinya alokasi sumber daya langka harus digunakan untuk manfaat semaksimal mungkin demi keselamatan banyak orang. Selain itu karakteristik layanan kesehatan sesungguhnya adalah bersifat barang publik (public goods); ketersediaan layanan kesehatan menjadi kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Ketiga, prinsip prioritas bagi yang terburuk (the worst off), artinya sarana diprioritaskan bagi pasien yang paling membutuhkan secara medis. Oleh karena itu dalam layanan kesehatan yang mengacu pada aspek kegawatdaruratan atau yang disebut dengan triase (triage).
Triase merupakan sistem untuk menentukan pasien yang diutamakan memperoleh penanganan medis terlebih dulu di instalasi gawat darurat (IGD) berdasarkan tingkat keparahan kondisinya. Proses triase atau penentuan pasien prioritas di IGD bertujuan untuk mendapatkan urutan penanganan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pasien, seperti kondisi ringan, berat yang bisa mengancam nyawa lebih cepat, atau sudah meninggal.
Keempat, prinsip prioritas bagi orang yang bertugas menolong orang lain, artinya alokasi sumber daya langka pertama-tama diprioritaskan bagi mereka yang punya kemampuan untuk menyelamatkan lebih banyak orang lain.
Di tengah merebaknya varian Omicron yang terus meluas sangat tepat bila diperkuat pengawasan di berbagai titik lengah, tindak tegas tanpa pandang bulu dan dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa sekecil apapun pelanggaran berpotensi sangat berdampak masif terhadap upaya pemerintah dalam penanganan pandemi.
Sudah saatnya kita semua harus menghentikan kegiatan pemburu rente di tengah upaya pemerintah mengatasi pandemi Covid-19, sebab selain melanggar nilai-nilai norma hukum dan kemanusiaan juga sangat mempengaruhi citra Indonesia di mata dunia yang pada akhirnya akan mengurangi devisa negara secara ekonomi. Kita semua terutama masyarakat sudah mengalami puncak kejenuhan (fatique) dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang tiada pernah tahu kapan berakhir.
Oryz Setiawan Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Kesehatan PERSAKMI Cab. Bojonegoro, Jatim
Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) saat ini menjadi sasaran oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Alih-alih menikmati liburan ke Indonesia, beberapa turis harus melewati sejumlah prosedur perjalanan sebelum mencapai tujuan, termasuk menjalani proses kekarantinaan dari hulu sampai hilir yang telah diatur bagi WNA dan WNI dari luar negeri antara lain: sertifikat vaksin Covid-19 dosis lengkap, hasil tes PCR negatif berlaku 3 hari, wajib melakukan tes PCR ulang, dan karantina 5 hari, tempat karantina wajib memperoleh rekomendasi Satgas Covid-19, dan wajib menggunakan aplikasi PeduliLindungi.
Memang potensi penyalahgunaan prosedur karantina oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan atau mafia karantina tinggi di area-area publik terutama di titik-titik kedatangan seperti bandara, pelabuhan, maupun terminal. Namun potensi tertinggi tetap di area bandara, mengingat posisi bandara yang sangat strategis dalam akses lalu lintas atau jalur keluar masuk negara yang disebut Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN).
PPLN di Indonesia yang semula 7 x 24 jam kini dipangkas menjadi 4 x 24 jam, lantaran menyesuaikan dengan masa inkubasi varian Omicron yang dinilai lebih cepat. Harus diakui, pandemi Covid-19 menyebabkan berbagai pihak harus "menyesuaikan diri" dengan karakteristik pandemi, apalagi diiringi dengan masifnya penyebaran varian-varian baru yang terus bermunculan tanpa bisa dibendung. Di bandara misalnya, salah satu identifikasi berupa titik buta (blind spot) yang dimanfaatkan mafia untuk melanggar aturan karantina kesehatan.
Blind spot merupakan area yang tidak terlihat oleh Satgas Penanganan Covid-19 dan menjadi titik lemah pengawasan seperti keluar pintu pesawat sampai masuk gedung bandara; hanya ada petugas khusus, sebab wilayah tersebut merupakan area keamanan dan keselamatan penerbangan sehingga hanya petugas tertentu yang diizinkan masuk sehingga mudah dimanfaatkan oknum untuk langsung menjemput tanpa melalui prosedur karantina terlebih dahulu atau memiliki kartu askes (pas bandara) agar bebas keluar masuk saat menjemput penumpang.
Di sisi lain, dalam proses karantina di hotel misalnya penetapan tarif harga hotel untuk karantina dan penambahan serangkaian biaya untuk tes PCR Covid-19 terhadap PPLN atau WNA yang menjalani prosedur dan aturan karantina.
Pemerintah harus memastikan perlindungan setiap warga negara dalam bentuk keselamatan termasuk ancaman serangan Covid-19. Di pihak lain, kondisi ini ditangkap sebagai peluang bagi pebisnis di bidang kesehatan. Celakanya beberapa oknum memanfaatkan situasi tersebut.
Bisnis kesehatan amat menggiurkan apalagi dalam kondisi pandemi. Namun jangan lupa bahwa di dunia kesehatan terdapat norma, etika yang harus dijunjung tinggi sebagai bagian dari manifestasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 1 menyebutkan bahwa Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Sesungguhnya sistem pelayanan kesehatan harus menempatkan pelayanan bagi yang paling menderita sebagai prioritas. Artinya tingkat keparahan dan ancaman keselamatan jiwa menjadi ukuran prioritas dalam bingkai indikasi medis sehingga menentukan urgensi tindakan yang akan dilakukan. Adanya nilai-nilai penyembuhan dan kemanusiaan yang khas dimiliki secara tradisional oleh lembaga pelayanan kesehatan.
Terlebih karakteristik layanan kesehatan adalah bersifat ketidakpastian yakni kebutuhan akan pelayanan kesehatan tidak bisa pasti, baik waktu, tempat maupun besarnya biaya yang dibutuhkan. Dengan ketidakpastian ini sulit bagi seseorang untuk menganggarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatannya. Dalam karantina tentu tidak tahu tindak atau intervensi apa yang diberikan. Kondisi inilah yang acapkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak penyedia layanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab.
Belajar dari Pengalaman
Dalam pandemi, berbagai problem ketidakadilan tengah dipertontonkan kepada masyarakat seperti kasus kaburnya selebgram Rachel Venya beberapa waktu lalu dari karantina dengan memberi suap petugas usai pulang dari Amerika Serikat, joki karantina yang membantu sejumlah warga negara India lepas dari kewajiban menjalani karantina, dan berbagai dugaan melakukan tindak pidana penipuan bermodus menjanjikan karantina mandiri kepada orang yang baru kembali dari luar negeri kian marak.
Secara prinsip terdapat empat prinsip etis yang harus diperhatikan untuk memutuskan individu atau kelompok mana yang harus diprioritaskan dalam pelayanan kesehatan. Pertama, prinsip persamaan (equality), artinya setiap keinginan orang harus diperlakukan sama. Kedua, prinsip manfaat (utility), artinya alokasi sumber daya langka harus digunakan untuk manfaat semaksimal mungkin demi keselamatan banyak orang. Selain itu karakteristik layanan kesehatan sesungguhnya adalah bersifat barang publik (public goods); ketersediaan layanan kesehatan menjadi kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Ketiga, prinsip prioritas bagi yang terburuk (the worst off), artinya sarana diprioritaskan bagi pasien yang paling membutuhkan secara medis. Oleh karena itu dalam layanan kesehatan yang mengacu pada aspek kegawatdaruratan atau yang disebut dengan triase (triage).
Triase merupakan sistem untuk menentukan pasien yang diutamakan memperoleh penanganan medis terlebih dulu di instalasi gawat darurat (IGD) berdasarkan tingkat keparahan kondisinya. Proses triase atau penentuan pasien prioritas di IGD bertujuan untuk mendapatkan urutan penanganan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pasien, seperti kondisi ringan, berat yang bisa mengancam nyawa lebih cepat, atau sudah meninggal.
Keempat, prinsip prioritas bagi orang yang bertugas menolong orang lain, artinya alokasi sumber daya langka pertama-tama diprioritaskan bagi mereka yang punya kemampuan untuk menyelamatkan lebih banyak orang lain.
Di tengah merebaknya varian Omicron yang terus meluas sangat tepat bila diperkuat pengawasan di berbagai titik lengah, tindak tegas tanpa pandang bulu dan dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa sekecil apapun pelanggaran berpotensi sangat berdampak masif terhadap upaya pemerintah dalam penanganan pandemi.
Sudah saatnya kita semua harus menghentikan kegiatan pemburu rente di tengah upaya pemerintah mengatasi pandemi Covid-19, sebab selain melanggar nilai-nilai norma hukum dan kemanusiaan juga sangat mempengaruhi citra Indonesia di mata dunia yang pada akhirnya akan mengurangi devisa negara secara ekonomi. Kita semua terutama masyarakat sudah mengalami puncak kejenuhan (fatique) dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang tiada pernah tahu kapan berakhir.
Oryz Setiawan Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Kesehatan PERSAKMI Cab. Bojonegoro, Jatim
(mmu/mmu)