Masyarakat umum, khususnya para pekerja, akhir-akhir ini dibuat geram dengan keluarnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang membahas tentang pencairan program Jaminan Hari Tua (JHT). Dalam Pasal 3 dan 5 peraturan itu dijelaskan bahwa pencairan JHT dilakukan saat para pekerja memasuki usia 56 tahun.
Hal itu tidak hanya berlaku pada pekerja yang masih aktif, tapi juga yang terkena PHK atau pun mengundurkan diri. Jadi, misalnya Anda di-PHK atau mengundurkan diri pada usia 35 tahun, maka butuh waktu 26 tahun lagi supaya JHT Anda bisa cair. Tentu saja peraturan ini menuai kontroversi.
Sejumlah Protes
Sejumlah protes pun dilayangkan oleh serikat buruh dengan berbagai cara. Salah satunya lewat petisi. Sebanyak 150 ribu orang sudah menandatangani penolakan terhadap Permenaker baru tersebut. Inisiator gerakan Suhari Ete mengatakan, kebijakan itu jelas bertentangan dengan semangat menyejahterakan rakyat.
Dia membandingkan mekanisme pencairan di Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang sebelumnya dipakai. Di aturan lama itu, JHT sudah bisa dicairkan sebulan setelah pekerja di-PHK atau mengundurkan diri dari perusahaan.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Dia mengatakan, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tidak bisa dibenarkan demi apapun. Di tengah pandemi yang belum berujung, pekerja berada dalam posisi rentan untuk di-PHK. Berdasar data Kemnaker Agustus 2021 saja, setidaknya ada 1.8 juta karyawan yang di-PHK akibat Covid-19. "Artinya, mereka butuh dana JHT untuk bisa menyambung hidup. Bayangkan jika mereka harus menunggu sampai usia 56 tahun?" kata dia.
Berdasar informasi terbaru, penolakan yang dilayangkan KSPI akan bermuara pada demonstrasi di depan Gedung Kemnaker. Ada ribuan buruh yang akan turun ke jalan untuk memprotes Permenaker tersebut. "Kami ingin penjelasan lebih lanjut dari Menteri Ketenagakerjaan," tutur Iqbal.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerangkan, kebijakan tersebut sudah tepat mengingat fungsi awal JHT adalah menjamin para peserta menikmati hari tua dengan kecukupan dana. Meski begitu, JHT dapat diambil sebagian dengan syarat kepesertaan minimal 10 tahun. Nilai yang diklaim yaitu sebesar 30 persen untuk perumahan, atau 10 persen untuk keperluan lainnya.
Peran Negara
Polemik pencairan JHT ini memang bukan pola baru dalam mengebiri hak-hak buruh. Sebelumnya ada juga UU Cipta Kerja yang jelas bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satunya membahas penetapan upah yang tidak lagi berdasar pada kebutuhan hidup layak seperti yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja dan turunannya berupa PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menyatakan bahwa penghitungan upah saat ini dilakukan berdasar pada upah minimum tahun berjalan, tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, batas atas, dan batas bawah upah minimum.
Tentu saja penetapan itu syarat kepentingan kongkalikong dengan pengusaha. Sebab, perhitungan upah memerhatikan laju perolehan laba pengusaha, kondisi ekonomi global yang tak menentu, yang akhirnya berujung pengabaian kebutuhan layak buruh.
Skema semacam ini memang buah dari neoliberalisme yang terus berkembang di era globalisasi seperti sekarang. Layaknya gurita yang menggeliat, demikianlah neolib yang masuk ke seluruh lapisan berbangsa dan bernegara.
Mengapa saya katakan neolib berpengaruh? Sebab di dalamnya ada praktik liberalisasi yang menjadikan negara tidak berkutik menghadapi kuasa pasar. Maraknya swastanisasi menjadikan perusahaan sering berlaku sewenang-wenang kepada pekerjanya.
UU Cipta Kerja dan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 merupakan serangkaian proses yang justru bertentangan dengan sila kelima Pancasila yang salah satu butirnya mengatakan, pencapaian kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan terus meningkat.
Lantas yang jadi pertanyaan, bagaimana mau meningkat, jika para pekerja yang sudah menjalankan kewajiban tidak mendapatkan hak dalam JHT ini?
Saya menduga, skema ini untuk mengamankan dana segar yang tersimpan di BPJS Ketenagakerjaan. Nominalnya tentu akan berlipat-lipat dari tahun ke tahun, karena bank menggunakan skema bunga.
Apalagi, saat ini dengan jumlah utang luar negeri yang terus membengkak. Maka, pemerintah berupaya mengontrol pengeluaran negara dengan seefisien dan seefektif mungkin. Tak masalah bagi mereka untuk menumbalkan rakyatnya.
Berkaca ke Negara Lain
Tentu kita prihatin melihat kondisi ini. Negara-negara lain justru berupaya untuk menyejahterakan pekerjanya. Singapura saja misalnya. Negeri jiran kita itu malah melakukan subsidi kepada perusahaan-perusahaan untuk mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja kepada karyawan.
Di bagian lain, Kanada malah memiliki tiga dana pensiun yang bisa digunakan oleh para pekerja untuk masa tuanya. Dana bisa dicairkan sepenuhnya tanpa harus menunggu tenggat waktu seperti di Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
Sementara itu, Denmark memiliki pengelolaan dana pensiun yang kredibel dan sudah diakui oleh dunia. Berdasar studi dari pusat penelitian pensiun Boston College, Denmark bisa dijadikan role model karena memiliki sistem pencairan yang tidak ribet. Sistem pensiun Denmark dianggap terdanai baik dengan cakupannya yang luas, tingkat aset dan kontribusi tinggi, penyediaan manfaat memadai, serta ditunjang sistem pensiun swasta dengan regulasi yang dikembangkan. Berdasar Indeks Pensiun Global Mercer Melbourne (MMGPI), Denmark menempati peringkat 1 dengan nilai keseluruhan 82,4.
Maka, jika melihat apa yang negara-negara tadi lakukan untuk para pekerjanya, Indonesia sudah sepatutnya malu. Sebab, negara kita diikat oleh Pancasila yang salah satu silanya berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejatinya inilah yang menjadi kompas bagi penyelenggaraan BPJS Ketenagakerjaan dengan program JHT-nya.
Pemerintah tidak bisa menahan apa yang telah menjadi hak para pekerja. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, berapa banyak orang yang di-PHK, dan berapa banyak pula yang butuh dana JHT tersebut? Sudah saatnya kita dengan lantang menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Sudah saatnya kita bersuara atas kezaliman.
Fajar Anugrah Tumanggor analis Politik FISIP USU
(mmu/mmu)