Dengan memahami sebagian dari akar persoalan dalam implementasi bisnis digital tersebut, kiranya dapat membantu kita untuk melihat fenomena robot trading dan
aspek kripto dengan lebih jernih. Sudah saatnya bagi kita untuk memaknai pesatnya pertumbuhan ekonomi digital sebagai momentum untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi, yang selama hampir 2 tahun ini telah tergerus oleh pandemi Covid-19.
Tingginya angka kapitalisasi dan besarnya jumlah investor dalam fenomena robot trading dan aset kripto, juga harus kita maknai sebagai peluang dan potensi investasi yang dapat kita optimalkan untuk memajukan perekonomian nasional. Kelalaian kita untuk berbenah dan mengambil langkah strategis, akan berpotensi menyebabkan larinya aliran modal keluar (capital outflow) dalam jumlah besar, karena dalam konteks investasi, investor akan selalu mencari tempat yang nyaman dan menguntungkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di satu sisi, berkembangnya ekonomi digital harus kita sikapi dengan bijaksana dan penuh kehati-hatian. Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital harus dapat kita optimalkan melalui penyempurnaan ekosistem digital yang meliputi sektor perbankan digital, industri teknologi keuangan (fintech), dan e-commerce, sebagai satu kesatuan sistem yang ter-integrasi.
Momentum pertumbuhan ekonomi digital ini harus kita respon dengan beberapa langkah strategis. Pertama, melalui penataan regulasi, yang tidak saja penting untuk memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan perlindungan hukum bagi konsumen, namun juga untuk menjamin agar aktivitas ekonomi digital memberi kontribusi pada pendapatan negara, misalnya dari sektor perpajakan. Untuk itu perlu dipersiapkan infrastruktur pengaturan dan pengawasan aset kripto atau aset digital termasuk trading-nya.
Langkah ini tentunya membutuhkan partisipasi dan komitmen dari segenap pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan, untuk duduk bersama dan merumuskan kerangka kebijakan yang komprehensif dan implementatif.
Dalam kaitan ini, saya menyarankan bahwa sambil menunggu regulasi dan memastikan tidak terjadi mis-selling dan rusaknya kepercayaan publik, serta demi melindungi konsumen, dan mengklarifikasi entry players ke pasar, perlu disiapkan SANDBOX, yaitu menghimpun semua pelaku apapun bentuknya, lalu diberikan pembinaan regulasi, transparansi, aturan bisnis, serta legalitas entitas sedemikian rapihnya agar kemudian memenuhi syarat kelayakan bermain bisnis di masyarakat.
Praktik SANDBOX ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Uni Eropa, Amerika, China dan Asia Tenggara termasuk Bank Indonesia dan OJK di Indonesia. Saya menyarankan, kiranya Kementerian Perdagangan khususnya melalui BAPPEBTI perlu memikirkan penerapannya.
Langkah strategis yang kedua adalah reformasi sistem pembayaran dalam kegiatan transaksi ekonomi digital. Dalam kerangka reformasi sektor keuangan, saya sependapat dengan seruan Gubernur Bank Indonesia, sebagaimana juga telah menjadi perhatian negara-negara G20 untuk mengelola resiko dan mengoptimalkan manfaat dari semakin meluasnya penggunaan teknologi digitalisasi di sektor keuangan.
Gagasan Bank Indonesia untuk merumuskan pembuatan mata uang digital atau "digital rupiah" menjadi sejalan dengan pemahaman bahwa G20 juga menekankan implikasi dari Central Bank Digital Currenncy (CBDC) terhadap sistem moneter dan keuangan internasional.
Dari sisi optimalisasi manfaat teknologi dan digitalisasi, G20 akan melanjutkan implementasi peta jalan sistem pembayaran lintas batas (G20 Roadmap for Enhancing Cross Border Payments) untuk mendorong sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman dan handal serta mendiskusikan pemanfaatan digitalisasi untuk meningkatkan inklusi keuangan.
Selaras dengan rancang bangun sistem pembayaran di era digital tersebut, kita patut mengapresiasi langkah- langkah proaktif yang dilakukan Bank Indonesia, misalnya melalui peluncuran Bank Indonesia Fast Payment sebagai implementasi dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.
Namun tentunya langkah ini perlu didorong untuk terus dikembangkan, karena pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekonomi digital juga akan terus melaju dan membutuhkan langkah-langkah penyesuaian, termasuk dalam menyikapi fenomena robot trading dan aset kripto .
Selanjutnya yang ketiga, pembangunan literasi finansial dan literasi digital dari masyarakat selaku konsumen, agar mempunyai kapabilitas dan kompetensi yang memadai sehingga dapat menilai setiap produk ekonomi digital dari berbagai aspek dan perspektif, termasuk di dalamnya faktor potensi keuntungan maupun resiko kerugian.
Mengacu pada hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019, indeks literasi keuangan kita baru mencapai 38 persen, sangat timpang dengan indeks inklusi keuangan yang sudah mencapai 76,19 persen. Ini mengindikasikan bahwa meskipun akses pada berbagai produk dan layanan jasa keuangan cukup memadai, namun tingkat pemahaman masyarakat terhadap karakteristik produk dan layanan jasa keuangan masih rendah.
Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan, karena tidak saja berdampak pada manajemen keuangan yang bukan saja tidak tepat sasaran, melainkan juga beresiko terjebak pada perangkap investasi bodong.
Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Dosen Fakultas Hukum Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka
(akd/ega)