Menduduki peringkat teratas dalam suatu kompetisi tentu merupakan hal yang membanggakan. Seperti pencapaian Indonesia pada 2006 lalu hingga saat ini yang telah berhasil merebut posisi juara bertahan Malaysia sebagai produsen komoditas sawit dan minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 3,61 persen per tahun.
Hal itu merupakan prestasi yang baik bagi Indonesia, namun apabila ditelusuri lebih dalam sebenarnya pencapaian itu belum cukup membanggakan. Malaysia memang sudah kalah dari Indonesia dalam memproduksi sawit dan CPO dunia, tetapi sampai saat ini Malaysia masih menjadi juru kunci dan belum tergantikan dalam menentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia.
Kondisi tersebut tentu sangat tidak menyenangkan dan tidak menguntungkan bagi Indonesia. Salah satu contoh tidak diuntungkannya Indonesia tercermin dari fenomena ekonomi naik turunnya harga minyak goreng di Tanah Air, bahkan terkesan sulit dikendalikan. BPS mengemukakan bahwa dalam empat bulan terakhir ini telah terjadi fenomena kenaikan harga minyak goreng di Indonesia. Ternyata keberadaan produksi sawit dan CPO dalam negeri yang melimpah kurang berdaya untuk mengontrol dan menekan kenaikan harga minyak goreng dan menjadikan harganya menjadi murah.
Tingginya kenaikan harga minyak goreng di Tanah Air disebabkan oleh tingginya harga bahan bakunya, yakni kelapa sawit dan CPO. Harga CPO dunia bernilai tinggi disebabkan oleh karena harganya ditentukan oleh Malaysia dengan menggunakan mata uang ringgit Malaysia, dan itu terjadi hingga sampai saat ini. Oleh karena itu, mau tidak mau para produsen minyak goreng harus menyesuaikan harga jual minyak goreng dengan harga yang tinggi.
Hal itu merupakan prestasi yang baik bagi Indonesia, namun apabila ditelusuri lebih dalam sebenarnya pencapaian itu belum cukup membanggakan. Malaysia memang sudah kalah dari Indonesia dalam memproduksi sawit dan CPO dunia, tetapi sampai saat ini Malaysia masih menjadi juru kunci dan belum tergantikan dalam menentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia.
Kondisi tersebut tentu sangat tidak menyenangkan dan tidak menguntungkan bagi Indonesia. Salah satu contoh tidak diuntungkannya Indonesia tercermin dari fenomena ekonomi naik turunnya harga minyak goreng di Tanah Air, bahkan terkesan sulit dikendalikan. BPS mengemukakan bahwa dalam empat bulan terakhir ini telah terjadi fenomena kenaikan harga minyak goreng di Indonesia. Ternyata keberadaan produksi sawit dan CPO dalam negeri yang melimpah kurang berdaya untuk mengontrol dan menekan kenaikan harga minyak goreng dan menjadikan harganya menjadi murah.
Tingginya kenaikan harga minyak goreng di Tanah Air disebabkan oleh tingginya harga bahan bakunya, yakni kelapa sawit dan CPO. Harga CPO dunia bernilai tinggi disebabkan oleh karena harganya ditentukan oleh Malaysia dengan menggunakan mata uang ringgit Malaysia, dan itu terjadi hingga sampai saat ini. Oleh karena itu, mau tidak mau para produsen minyak goreng harus menyesuaikan harga jual minyak goreng dengan harga yang tinggi.
Penyebab mengapa penentuan harga CPO dunia berada di bawah kendali Malaysia adalah riwayat negara tersebut sudah pernah tercatat dan diakui sebagai produsen sawit dan CPO terbesar di dunia dalam jangka waktu yang cukup lama. Malaysia mentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia, termasuk untuk Indonesia melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD). BMD sendiri sudah memiliki riwayat dalam perdagangan CPO sejak 1980. Keberadaan serta peran dari BMD menyebabkan harga CPO dunia salah satunya ditetapkan dan mengacu kepada mata uang ringgit Malaysia. Selain itu harga komoditas sawit dan CPO juga ditentukan oleh dollar Amerika Serikat.
Faktor lain yang menyebabkan Indonesia tetap berada di bawah bayang-bayang Malaysia adalah begitu banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berasal dari Malaysia. Berdasarkan data BPKM sejak 2015 hingga 2021, investor-investor perkebunan sawit tersebut menghasilkan nilai investasi yang mencapai 9,5 miliar dolar AS. Keadaan tersebut seperti menempatkan Indonesia menjadi produsen yang tidak bisa berbuat apa-apa atas produk unggulan yang dihasilkannya; dengan kata lain Indonesia masih terjajah oleh Malaysia dalam hal produksi, perdagangan, dan penentuan harga komoditas sawit dan CPO dunia.
Akhir-akhir ini, sejak Desember 2021 hingga minggu pertama Februari 2022 harga komoditas sawit dalam bentuk tandan buah segar (TBS) memang mengalami tren yang meningkat. Menurut Infosawit.com bahkan kenaikan harga TBS tersebut telah mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah sawit nasional, yakni berkisar antara Rp 2.704 hingga Rp 3.493 per kg. Memang nilai jual TBS tersebut sangat signifikan mempengaruhi pendapatan dan perekonomian para pelaku usaha perkebunan sawit Nusantara baik perkebunan besar negara, swasta, terlebih perkebunan sawit rakyat.
Lalu, apakah kita, dan secara khusus pemerintah sudah merasa cukup dan puas atas kondisi tersebut? Sepertinya kita seharusnya jangan terburu-buru untuk merasa puas. Coba kita kembali pada pokok permasalahan sebelumnya; Indonesia masih dikontrol oleh Malaysia dan menyebabkan kita belum memperoleh keuntungan yang sebenarnya atas hasil produksi sawit Tanah Air.
Indonesia baru bisa puas dan benar-benar menjadi produsen penting komoditas sawit dunia jika patokan harga CPO dunia bukan lagi ringgit Malaysia atau dolar Amerika melainkan rupiah. Agar hal tersebut dapat terwujud, Indonesia harus melakukan langkah-langkah besar dan konkret. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan forum-forum internasional seperti Presidensi G20 yang sedang berlangsung sepanjang 2022 ini untuk menyuarakan pendapat agar patokan harga CPO dunia menggunakan rupiah, tidak lagi ringgit Malaysia.
Presidensi G20 dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menegaskan bahwa Indonesia telah menjadi negara sentra penghasil CPO bagi dunia lebih dari satu dekade terakhir dan telah mengalahkan produksi CPO Malaysia. Di samping itu Indonesia juga harus harus mampu mem-branding bahwa proses produksi kelapa sawit tidak sepenuhnya merusak lingkungan seperti perkiraan beberapa negara Uni Eropa.
Jika mampu memanfaatkan Presidensi G20 tersebut dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi dampak positif bagi perekonomian Indonesia, khususnya bagi pertumbuhan dan daya saing perkebunan sawit rakyat di level internasional. Sebagai ilustrasi, keuntungan yang dapat diperoleh Indonesia jika berhasil memanfaatkan Presidensi G20 tersebut adalah saat pertumbuhan ekonomi dunia mengalami peningkatan, maka ekspor sawit Indonesia juga akan tumbuh tinggi, dan jika ekspor sawit menguat, maka penerimaan negara juga akan mengalami pertumbuhan.
Ekspor sawit yang kuat otomatis akan meningkatkan harga komoditas sawit itu sendiri, dan jika harga patokan komoditas sawit dan CPO dipatok pada mata uang rupiah, maka masyarakat pelaku usaha perkebunan sawit akan mengalami peningkatan ekonomi. Oleh karena itu, pada Presidensi G20 yang sedang berlangsung ini, Indonesia diharapkan dapat berani untuk mengutarakan tujuan tersebut.
Kebijakan lainnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah tidak melakukan peningkatan terhadap pungutan ekspor sawit. Pungutan ekspor sawit yang stabil niscaya dapat mendorong harga TBS sehingga daya saing ekspor CPO nasional dapat bersaing dengan negara-negara penghasil CPO lainnya. Jika pemerintah dapat menjaga atmosfer tersebut, maka akan meminimalisasi terjadinya pemerosotan harga TBS di level petani.
Bahkan pada kondisi harga CPO dunia yang sedang meningkat seperti saat ini sebaiknya pungutan ekspor dapat sedikit diturunkan sehingga ekspor CPO ke negara-negara tujuan dapat berlangsung dengan cepat dan lancar, dan semakin menguatkan kedudukan Indonesia sebagai eksportir CPO di tingkat dunia.
Selanjutnya langkah terakhir yang dapat dilakukan pemerintah agar Indonesia dapat merebut peran penentu harga CPO dari ringgit menjadi rupiah adalah dengan langkah hilirisasi. Hilirisasi yang dimaksud adalah kegiatan mendorong pelaku industri kelapa sawit dalam negeri dan pemerintah daerah sentra sawit nasional untuk dapat mengolah CPO ke dalam beberapa sub-produk lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan menguntungkan.
Jika Hilirisasi ini dapat terjadi, maka Indonesia dapat mengurangi pasokan ekspor CPO. Jika Indonesia berhasil memainkan praktik hilirisasi ini, maka pemenuhan terhadap kebutuhan CPO dunia akan melambat. Dan, saat tiba waktunya maka dunia mau tidak mau akan meminta Indonesia untuk melepas dan melakukan ekspor CPO; saat hal itu terjadi, Indonesia berada pada posisi kedudukan yang kuat untuk dapat meraih kesempatan menjadi penentu patokan harga CPO dunia ke dalam rupiah.
Keuntungan lain yang diperoleh dari hilirisasi ini adalah dapat meningkatkan penerapan CPO di pasar domestik. Beberapa strategi kebijakan di atas mungkin dapat diterapkan pemerintah agar Indonesia dapat sepenuhnya mengungguli Malaysia dalam produksi sawit dan CPO sekaligus merebut dominasi Malaysia sebagai penentu harga CPO dunia. Dengan kekuatan produksi sawit Indonesia saat ini tentu kita harus optimis bahwa Indonesia dapat meraih kesempatan itu.
(mmu/mmu)