Kolom

Ojol: Solidaritas, Relasi Timpang, dan Kekerasan

Agung Nara Indra Prima Satya - detikNews
Senin, 21 Feb 2022 14:54 WIB
SalahKasus penggerudukan oleh komunitas pengemudi ojol di Cirebon (Foto: tangkapan layar video viral)
Jakarta -

Akhir-akhir ini kita disuguhkan oleh berbagai berita tentang sekelompok pengemudi ojek online (ojol) yang menggeruduk pelanggannya. Rata-rata aksi mereka dipicu oleh komentar negatif yang dianggap melecehkan serta penilaian rendah yang diberikan oleh para pelanggan. Biasanya, berita tentang perlakuan tidak pantas ini akan menyebar lewat media sosial, utamanya lewat aplikasi perpesanan yang mewadahi komunikasi antaranggota komunitas ojol.

Setelah berita tersebut "viral", rekan-rekan sesama ojol akan beramai-ramai mendatangi si pelaku 'pelecehan' dan melakukan protes. Protes ini pun dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari peneguran secara sopan, membalas dengan kata-kata keras, bahkan hingga melakukan kekerasan fisik. Ujungnya, si pelaku 'pelecehan' mau tidak mau akan meminta maaf atau melakukan klarifikasi atas kesalahannya.

Target dari aksi ini pun bermacam-macam. Pada kasus di Cirebon yang belakangan ini viral, para pengemudi ojol menggeruduk rumah pribadi sang customer setelah rekannya dimaki-maki dan diberikan review bintang satu. Sebelumnya, dalam kasus yang terjadi di Yogyakarta pada November 2021 lalu, sasarannya adalah sebuah gerai mie yang sedang naik daun. Saat itu, kekerasan dipicu oleh antrean ojol yang disalip oleh pelanggan lainnya.

Jika kita tarik kembali ke 2019, terdapat sebuah kasus pengemudi ojol versus satpam di salah satu mall terbesar di Jakarta. Kala itu penyebab kekerasannya adalah pengemudi ojol yang tidak terima karena ditegur satpam akibat memasuki kawasan mall.

Meskipun para pelaku dan lokasi kejadian-kejadian tersebut berbeda-beda, tetapi ada pola-pola yang dapat kita saksikan. Pertama, kasus-kasus ini dipicu oleh ketersinggungan atas dugaan pelecehan verbal terhadap para ojol. Kedua, isu pelecehan kemudian bergulir liar melalui media sosial dan diakhiri dengan upaya-upaya massal yang mengarah kepada persekusi.

Ikatan Solidaritas

Sebelum melihat ke dalam kasus kekerasan-kekerasan di atas, terlebih dahulu kita dapat mempertimbangkan faktor solidaritas yang muncul di kalangan pengemudi ojol di Indonesia. Sudah merupakan rahasia umum bahwa komunitas pengemudi ojol di Indonesia memiliki ikatan solidaritas yang sangat erat.

Awalnya, ikatan solidaritas para pengemudi ojol muncul karena posisi mereka yang rawan. Pada awal kemunculannya, ada banyak ancaman yang harus dihadapi para pengemudi ojol. Ancaman utama bagi para pengemudi ojol adalah mereka harus menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh komunitas pengemudi ojek pangkalan dan sopir angkutan kota serta taksi yang menganggap ojol sebagai pesaing ketat. Kelompok-kelompok ini kerap melakukan kekerasan dan persekusi terhadap pengemudi ojol yang berani mengganggu area operasi mereka. Sebagai akibatnya, para pengemudi ojol pun mulai mengikatkan diri ke dalam komunitas-komunitas sehingga mereka memiliki cukup kekuatan untuk menandingi persekusi fisik dari pihak-pihak tersebut (Amrullah, 2019).

Selain itu, Trans Online Watch (2021) mencatat bahwa asal-muasal terbentuknya komunitas pengemudi ojol adalah maraknya pembegalan terhadap pengemudi ojol di jalanan sekira tahun 2016. Hal ini salah satunya memicu pembentukan satgas TEKAB (Tim Khusus Antibegal) oleh komunitas pengemudi ojol untuk mengantisipasi situasi ini. Berbagai bahaya di jalanan, mulai dari begal, kecelakaan, sakit, hingga kendala-kendala teknis di jalanan akhirnya mendorong para pengemudi ojol untuk membentuk URC (Unit Reaksi Cepat) untuk menanggulanginya (Tirto, 2019).

Komunitas ojol juga mengadopsi cara ojek pangkalan dalam membentuk posko-posko khusus yang berbasiskan wilayah operasinya. Lewat keberadaan pangkalan-pangkalan ini, komunitas pengemudi ojol semakin mengeratkan ikatan kekeluargaan mereka lewat acara-acara informal maupun kebiasaan nongkrong sehari-hari sembari menunggu orderan (Amrullah, 2019). Ikatan ini turut ditonjolkan lewat berbagai lambang dan emblem yang menempel di jaket mereka.

Ancaman lainnya datang dari posisi ojol sebagai pekerja prekariat, yang didefinisikan oleh Guy Standing dalam The Precariat (2011) sebagai pekerja informal yang menanggung risiko pekerjaan alih-alih dibebankan kepada perusahaan pemberi kerja.

Status mereka sebagai "mitra" dan bukan pekerja membuat perusahaan operator ojol cenderung dapat lepas tangan jika terjadi apa-apa terhadap para ojol selama bekerja. Ketika terjadi hal-hal seperti kecelakaan, sakit, atau menjadi korban begal, beban terbesar tetap ditimpakan kepada para pengemudi ojol alih-alih operator. Hal ini masih ditambah dengan status hukum pengemudi ojol dalam konteks ketenagakerjaan serta posisi transportasi online dalam aturan transportasi yang masih belum tegas.

Kondisi struktural ini akhirnya memicu solidaritas yang lebih luas dari komunitas pengemudi ojol lewat demo-demo besar yang mereka lakukan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Demo-demo ini sebagian besar menuntut kepada pihak operator dan juga negara untuk memperbaiki kondisi rentan yang dialami oleh pengemudi ojol ini.

Kita dapat menyimpulkan bahwa solidaritas ojol merupakan siasat mereka untuk bertahan dari berbagai ancaman khususnya yang bersifat sehari-hari mereka hadapi di jalanan. Melalui solidaritas tersebut cenderung mampu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di akar rumput seperti persekusi pengemudi ojek pangkalan, ancaman begal, hingga kendala di jalanan.

Relasi Timpang

Dalam situasi pandemi ini, para pengemudi ojol mendapatkan tantangan baru akibat sepinya orderan. Sebagai contoh, di kota Bandung, para pengemudi ojol yang biasanya sanggup mengantongi hingga Rp 100.000 tiap harinya, kini hanya mampu meraih pendapatan antara Rp 50.000 – Rp 70.000 sehari (detikcom, 2020). Situasi ini sangat memukul mereka baik secara moral maupun finansial.

Dalam situasi sepi ini, setiap order yang masuk sangat berharga bagi mereka. Tak heran jika muncul ulasan buruk dari pelanggan, apalagi disertai kata-kata yang tidak pantas, akan memicu emosi dari para pengemudi ojol. Hal ini otomatis dianggap mematikan rezeki para pengemudi ojol, mengingat ulasan buruk akan berdampak pada terhambatnya orderan masuk oleh sistem aplikasi, bahkan dapat berujung pada suspensi terhadap akun sang pengemudi.

Ulasan bintang satu apalagi disertai kata-kata yang tidak pantas otomatis akan membangkitkan antagonisme di antara pengemudi ojol dan pelanggannya. Situasi ini sekaligus mengaktifkan solidaritas antarsesama pengemudi ojol sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap ancaman. Ujungnya, akan tercipta polarisasi identitas "pengemudi ojol" sebagai pihak korban yang teraniaya dan "pemberi ulasan" sebagai pelaku yang arogan.

Pihak "pemberi ulasan" dianggap memiliki posisi yang lebih diuntungkan, mengingat sistem aplikasi akan otomatis memberikan sanksi tanpa menyediakan ruang bagi sang pengemudi ojol untuk membela diri atau mengklarifikasi. Dalam relasi yang timpang ini, solidaritas yang ditunjukkan oleh komunitas pengemudi ojol merupakan cara untuk menyeimbangkan atau bahkan mengalahkan arogansi dari sistem aplikasi maupun pihak pemberi ulasan yang diuntungkan secara teknis.

Kita dapat melihat bahwa kasus-kasus penggerudukan yang dilakukan oleh para pengemudi ojol ini adalah sebuah strategi untuk menyeimbangkan relasi yang tadinya timpang. Strategi yang mengarah kepada kekerasan kerumunan (mob violence) ini dipadukan dengan pemberitaan yang viral di media massa serta media sosial dapat membuat orang-orang berpikir ulang untuk sembarangan memberi ulasan dan memaki-maki para pengemudi ojol kembali.

Tetapi, kekerasan pada akhirnya tetaplah kekerasan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun. Persekusi terhadap seseorang memang memiliki dampak jangka pendek yang efektif. Namun, dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak citra komunitas pengemudi ojol secara umum. Dalam konteks yang lebih besar, penggunaan kekerasan kerumunan semacam ini dapat memicu pihak lain untuk melakukan pembalasan dengan metode yang serupa. Pada akhirnya, masyarakat akan terjebak ke dalam lingkaran kekerasan yang tidak berkesudahan.

Kekerasan adalah hal terakhir yang kita harapkan terjadi di dalam situasi yang serba sulit seperti saat ini. Dalam situasi di mana potensi konflik rentan terpantik akibat situasi ekonomi nan sulit, dialog dan komunikasi merupakan salah satu solusi yang dapat kita gunakan.

Agung Nara Indra Prima Satya dosen studi konflik dan perdamaian di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork