Secara umum Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah mencantumkan ketentuan pemberian remisi atau pengurangan hukuman bagi narapidana sehingga ketentuan ini berlaku mutatis mutandis bagi narapidana korupsi di Indonesia. Pengaturan lebih lanjut terkait remisi dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang kemudian diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006.
Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Berbagai perbaikan terus dilakukan terhadap mekanisme pemberian remisi hingga akhirnya dihadirkan Peraturan Pemerintah Nomor (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
PP Nomor 99 Tahun 2012 hadir untuk memberi katup tambahan agar remisi tidak mudah untuk diberikan kepada Narapidana korupsi serta menjadi jawaban untuk PP sebelumnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra karena menghadirkan kebijakan remisi tanpa syarat yang tegas bagi para narapidana korupsi. Dalam PP ini ditegaskan setiap narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) apabila telah memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Khusus untuk narapidana korupsi juga harus memenuhi Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yaitu bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. Apabila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi maka barulah narapidana korupsi bisa mendapatkan remisi.
Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung secara mengejutkan melalui putusannya Nomor 28 P/HUM/2021 mencabut ketentuan terkait penegasan syarat pemberian remisi kepada narapidana korupsi dengan dasar pertimbangan; pertama, bahwa eksistensi dari PP Nomor 99 Tahun 2012 harus sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki).
Kedua, hak mendapatkan remisi diberikan kepada warga binaan tanpa terkecuali (kecuali dicabut pengadilan) guna mewujudkan asas equality before the law dan persyaratan remisi tidak boleh diskriminatif. Ketiga, pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas. Keempat, syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi seharusnya dikonstruksikan sebagai bentuk reward dengan pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan. Kelima, pemberian remisi merupakan otoritas penuh lapas yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain.
Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Berbagai perbaikan terus dilakukan terhadap mekanisme pemberian remisi hingga akhirnya dihadirkan Peraturan Pemerintah Nomor (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
PP Nomor 99 Tahun 2012 hadir untuk memberi katup tambahan agar remisi tidak mudah untuk diberikan kepada Narapidana korupsi serta menjadi jawaban untuk PP sebelumnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra karena menghadirkan kebijakan remisi tanpa syarat yang tegas bagi para narapidana korupsi. Dalam PP ini ditegaskan setiap narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) apabila telah memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Khusus untuk narapidana korupsi juga harus memenuhi Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yaitu bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. Apabila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi maka barulah narapidana korupsi bisa mendapatkan remisi.
Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung secara mengejutkan melalui putusannya Nomor 28 P/HUM/2021 mencabut ketentuan terkait penegasan syarat pemberian remisi kepada narapidana korupsi dengan dasar pertimbangan; pertama, bahwa eksistensi dari PP Nomor 99 Tahun 2012 harus sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki).
Kedua, hak mendapatkan remisi diberikan kepada warga binaan tanpa terkecuali (kecuali dicabut pengadilan) guna mewujudkan asas equality before the law dan persyaratan remisi tidak boleh diskriminatif. Ketiga, pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas. Keempat, syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi seharusnya dikonstruksikan sebagai bentuk reward dengan pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan. Kelima, pemberian remisi merupakan otoritas penuh lapas yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain.
Adanya pengaturan khusus terhadap narapidana tindak pidana korupsi sejatinya bukanlah bentuk diskriminasi. Hal ini dimaksudkan karena sesuai dengan konsideran menimbang dalam PP No.99 Tahun 2012, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang mempunyai akibat begitu besar terhadap negara dan berdampak luas.
Tindak pidana korupsi adalah permasalahan terbesar negara Indonesia yang mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Sehingga melalui syarat-syarat pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi yang diperketat dalam PP No. 99 Tahun 2012 bermaksud untuk mencegah agar narapidana tindak korupsi tidak mudah untuk bebas begitu saja.
Prof. Denny Indrayana menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 28 P/HUM/2021 menunjukkan bentuk inkonsistensi Mahkamah Agung dalam memutus uji materi. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 51 tahun 2013 dinyatakan bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memperketat syarat pemberian remisi agar pelaksanaannya mencerminkan keadilan sehingga menunjukkan pembedaan antara pelaku tindak pidana biasa atau ringan dengan tindak pidana yang menelan biaya yang tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik yang harus ditanggung oleh negara.
Perbedaan perlakuan ini merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan generasi muda dan masa depan bangsa dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana. Bahkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 56 Tahun 2013 disebutkan pengetatan pemberian remisi ini diwujudkan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara atau masyarakat korban yang banyak. Sehingga sangat kontradiktif jika kita bandingkan Putusan-putusan Mahkamah Agung ini.
Bukan Diskriminasi
Adanya pengaturan khusus terhadap narapidana tindak pidana korupsi bukanlah bentuk diskriminasi. Hal ini dimaksudkan karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang mempunyai akibat begitu besar terhadap negara dan berdampak luas sebagaimana dimuat dalam konsideran menimbang dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Sehingga melalui pengetatan syarat-syarat pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi dalam PP No. 99 Tahun 2012 bermaksud untuk mencegah agar narapidana tindak korupsi tidak mudah untuk bebas begitu saja
Jika ditelisik lebih dalam lagi pertimbangan pencabutan PP Nomor 99 Tahun 2012 tidaklah tepat rasanya apabila dikaitkan dengan konsep restorative justice. Prinsip dasar keadilan restoratif (restorative justice) adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Artinya restorative justice mengutamakan keadilan dengan berpihak pada korban.
Sedangkan dalam konteks korupsi pihak yang menjadi korban bukanlah koruptor, tetapi masyarakat luas yang sudah dirugikan karena adanya korupsi sehingga tidak tepat dikatakan koruptor sebagai penyintas/korban dalam tindak pidana korupsi. Begitupun dengan implementasi restorative justice itu sendiri yang masih tetap ada dan akan tetap diterapkan meskipun syarat remisi diperketat.
Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan berbunyi: Setiap narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Ini berarti bahwa hak yang diberikan adalah hak hukum (legal rights), bukan hak asasi manusia (human rights). Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 54/PUU-XV/2017 telah pula menegaskan bahwa remisi merupakan hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat syarat-syarat tertentu. Artinya remisi bukanlah tergolong ke dalam hak asasi manusia (human rights) dan juga bukan tergolong hak konstitusional (constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Putusan Mahkamah Agung yang mencabut pengetatan pemberian remisi bagi narapidana korupsi menjadi kemenangan besar bagi para koruptor, namun ancaman besar dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang saat ini seperti peribahasa bagai pungguk merindukan bulan. Saat harapan besar terus digaungkan untuk memberantas korupsi, upaya yang dihadirkan justru berlawanan dengan harapan tersebut sehingga hanya tampak seperti sebuah angan semu belaka.
Masyakarat sudah sangat menantikan berbagai kebijakan progresif yang dihadirkan oleh pemerintah, namun kenyataannya hanya pil pahit yang diterima seperti akses kemudahan remisi bagi narapidana korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata vonis yang diberikan oleh para koruptor hanya tiga tahun. Hal itu didapat dari data yang diperoleh selama kurun waktu Januari-Juni 2020 atau satu semester. Perhitungan remisi dapat dihitung secara ekonomis oleh koruptor, dan dibandingkan dengan jumlah korupsi yang telah dilakukan, akan membuat terpidana korupsi secara tenang menikmati masa tahanannya karena mengetahui adanya suatu percepatan yang dapat diterimanya.
Perhitungan uang hasil korupsi dibandingkan dengan kerugian selama mendekam dalam masa tahanan tetap saja memberikan keuntungan. Belum lagi sistem lembaga pemasyarakatan dewasa ini yang memanjakan terpidana korupsi dengan fasilitas hotel berbintang.
Pemidanaan Koruptor
Dalam teori hukum pidana, dikenal setidaknya tiga teori dasar yang memberikan penggambaran mengenai tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Namun, dalam praktiknya tidak ada penggunaan satu teori secara mutlak. Pada akhirnya berdasarkan teori-teori ini dan perkembangan zaman, disarikan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana, membuat penjahat tertentu tidak mampu melakukan tindak pidana tertentu, serta memberikan suatu efek jera (deterrence effect) bagi pelaku tindak pidana.
Tujuan pemidanaan dapat tercapai jika mekanisme pengaturan terpidana disesuaikan dengan karakter dan sifat masing-masing tindak pidana. Dalam hal kasus korupsi yang merupakan suatu tindak pidana luar biasa diperlukan penanganan yang luar biasa agar tujuan pemidanaan dapat terwujud.
Tindak pidana korupsi jelas menimbulkan akibat yang membahayakan dan meresahkan masyarakat, lebih khususnya keuangan dan perekonomian negara, atau dampaknya berwujud pada publik dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua program pemerintah, dapat mengganggu pembangunan, serta menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat. Sehingga pemerintah perlu untuk membuat kebijakan tegas terkait remisi korupsi.
Para terpidana kasus korupsi bukanlah manusia yang dikategorikan sebagai individu lemah, karena mereka biasanya menduduki jabatan dalam suatu pemerintahan sehingga pemberian akses kemudahan remisi merupakan indikasi awal adanya korupsi dibalik sel penjara yang dilakukan kepada petugas penjara hal ini secara sistematis berdampak pada semakin melemahnya esensi dan eksistensi kepentingan hukum baik di mata masyarakat dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga efek jera tidak akan terbentuk pada diri narapidana kasus korupsi.
Selain itu dasar pemidanaan wajib mempertimbangkan hal-hal: Kesalahan pembuat pidana, Motif tujuan melakukannya tindak pidana, Sikap batin pembuat tindak pidana, Apakah tindakan tersebut dilakukan dengan berencana, Cara melakukan tindak pidana, Sikap dan tindakan pembuat tindak pidana sesudah melakukan tindak pidana, Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana, Pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, Pengaruh tindak pidana terhadap korban, Pemaafan dari korban, Pandangan masyarakat terhadap tindakan pidana yang dilakukan.
Andika Mulia Putra Court Monitoring KPK RI (Fakultas Hukum Universitas Andalas)
(mmu/mmu)