Eksistensi pondok pesantren sudah pasti tidak jauh dari peran besar wali songo pada masa-masa awal perkembangannya. Tokoh yang dianggap penting dalam memotori perkembangan pendidikan pondok pesantren adalah syekh Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat, Sunan Giri, dan Raden Fatah.
Berkat jasa tokoh-tokoh yang ditakdzimi oleh banyak orang tersebut, eksistensi pendidikan pondok pesantren di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bahkan dalam era yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi pertarungan opini seperti saat ini, peran pesantren sebagai motor pergerakan umat untuk selalu bersikap kritis pada setiap kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang dari rasa kemanusiaan.
Sudah selayaknya pondok pesantren yang notabenenya sebagai lembaga pendidikan Islam mulai mengikuti perkembangan teknologi yang merupakan bagian integral dari perkembangan peradaban umat Islam. Pesantren yang pada awalnya didirikan sekadar untuk menjadi media dakwah Islamisasi secara tradisional, saat ini harus mampu mengembangkan metode dakwahnya dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
Kebaruan teknologi sebagai metode dakwah adalah keharusan bagi santri dan pesantren. Konten ke-Islaman yang mengedepankan sikap moderat dan humanis harus diperbanyak dan dikelola dengan rapi. Dengan menyongsong pusat kajian berbasis kitab kuning, buku, jurnal, hingga menghasilkan riset yang disebarluaskan secara digital, peningkatan budaya literasi santri yang sering dianggap gagap teknologi perlahan akan pudar.
Hal tersebut akan memberikan pengaruh positif bagi para santri, karena metode yang digunakan akan membentuk citra baru bahwa santri, selain jago ilmu agama, juga bisa melek teknologi.
Paradigma Santri GPS
Jika ditinjau dari sisi historis kebangsaan, sikap kritis kaum santri memiliki hubungan yang erat dengan pembentukan rasa nasionalisme kebangsaan. Penanaman rasa nasionalisme santri biasanya dikenal dengan prinsip khubbul wathan minal iman, yaitu mencintai Tanah Air adalah sebagai bagian dari iman.
Dengan adanya penanaman rasa nasionalisme dan juga perkembangan zaman yang terus saja menuntut kaum tradisional untuk ikut berperan aktif di dalamnya, menjadikan seorang santri yang notabenenya memiliki sikap kritis, dan seorang yang mendapatkan tempaan ajaran agama lebih intensif, harus bisa beradaptasi pada masa ini. Dengan dukungan kecanggihan teknologi, harusnya mampu menjadikan mimbar digital sebagai ladang dakwah virtual.
Metode dakwah digital pun juga tidak hanya semata-mata sebagai meningkatkan popularitas diri, namun juga harus bisa menyajikan konten islami dengan referensi yang valid dan jauh dari muatan rasisme, radikalisme, terorisme ,ataupun ujaran kebencian.
Seperti halnya Global Positioning System (GPS), yang mana setiap ada orang yang menggunakannya lalu tersesat pasti tidak akan dibilang tersesat oleh GPS, melainkan langsung memberikan jalan tercepat atau bahkan jalan lain sesuai dengan arah yang akan kita tuju. Begitu juga sebagai seorang santri saat menggunakan metode dakwah secara virtual, mereka seharusnya seperti GPS.
Memposisikan diri sebagai GPS bukan berarti hanya menunjukkan jalan kepada siapapun saja orang yang tersesat, melainkan jangan mudah untuk menyesat-nyesatkan orang lain dalam berdakwah. Meskipun menurut kita orang tersebut benar-benar tersesat, sepatutnya kita memberikannya solusi, bukan malah tambah mengklaim bahwa dirinya sedang tersesat.
Hal tersebut memberikan kesan yang berbeda dengan orang yang dengan mudahnya menyesatkan orang lain, karena orang yang tersesat tersebut tidak akan tersinggung. Sebab kebanyakan orang itu tidak mau dinasihati bahwa dirinya itu tersesat apabila pada bagian mukaddimah-nya sudah disesat-sesatkan dahulu.
Kemudian, memberi solusi merupakan nasihat terbaik dan tidak akan dituding menghakimi sendiri. Jika kita melihat seorang habib maupun kiai, mereka pasti tidak akan langsung menghakimi kepada orang yang datang meminta pertolongan kepadanya, melainkan mereka pasti akan langsung memberikannya solusi.
Dalam Islam pun kita diajarkan untuk tetap bersikap tabayyun, yang bermakna verifikasi atau mengecek ulang dengan bersikap husnudzon, baik saat menerima sebuah kabar atau berita agar jangan sampai merusak ukhuwah atau persaudaraan. Verifikasi tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan jalan musyawarah, bukan dengan nyinyir atau asal mengkafirkan orang lain.
Dengan maraknya dakwah virtual yang berisikan konten ke-Islaman garis keras dan tak jarang menebarkan berita bohong hingga ujaran kebencian, sudah menjadi tugas kita bersama untuk memerangi yang garis keras ini agar tak sampai memecah umat atau bangsa. Karena pada dasarnya, Islam merupakan agama yang ramah, bukan kumpulan orang yang marah-marah.
Akhir kata, metode dakwah berbasis GPS bisa juga dijadikan sebagai sebuah paradigma santri dalam menebarkan ilmu ke masyarakat. Selain sebagai seorang yang kritis terhadap kondisi sosial, santri harus juga solutif saat berdakwah maupun dalam memandang persoalan sosial. Sehingga paradigm GPS ini selain kritis, santri juga dituntut untuk solutif dalam menangkal radikalisme yang marak terjadi.
Miftaf Pradika Putra mahasiswa Fakultas Syariah, Hukum, dan Ekonomi Islam IINISNU Temanggung