Sebulan terakhir ini, sebagian guru di beberapa wilayah di Indonesia sedang disibukkan dengan program seleksi guru penggerak. Saya sendiri termasuk salah satu guru yang ikut ambil bagian dalam seleksi tersebut dan berharap agar mampu melewati beberapa tahapan seleksi dengan sebaik-baiknya. Dalam obrolan di grup Whatsapp yang saya ikuti, terlihat sekali antusiasme para peserta seleksi. Mereka aktif berdiskusi, tanya jawab, dan saling memberi semangat agar lolos dalam seleksi guru penggerak. Mulai dari menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran, latihan simulasi mengajar, hingga latihan menjawab pertanyaan imajiner dari asesor dalam wawancara virtual.
Sebenarnya, program guru penggerak ini telah berlangsung sejak angkatan pertama pada Oktober 2020 hingga sekarang memasuki angkatan ke lima pada Januari 2022. Untuk menjadi guru penggerak, guru harus mengikuti pendidikan selama 9 bulan (angkatan ke-1 sampai dengan 4) dan 6 bulan (mulai angkatan ke-5). Meskipun waktu pelatihan cukup memakan waktu, rupanya jumlah peminat seleksi guru penggerak dari semua jenjang pendidikan terus meningkat. Kabar ini jelas sangat menggembirakan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Artinya, kesadaran para guru untuk meningkatkan kompetensinya semakin besar.
Program guru penggerak merupakan salah satu kebijakan merdeka belajar yang dicanangkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Kemendikbud berharap bahwa guru penggerak terpilih dapat menjalankan lima peran utama, yaitu menggerakkan komunitas belajar bagi para guru di daerahnya, menjadi pengajar praktik bagi rekan guru sejawat, dan mendorong peningkatan kepemimpinan murid di sekolah. Dalam lingkup yang lebih luas, peran guru penggerak adalah membuka ruang diskusi positif antarpemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, dan menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being (kebahagiaan dan kesejahteraan) ekosistem pendidikan di sekolah.
Jika dibandingkan dengan beberapa model pelatihan guru sebelumnya, saya menilai bahwa program guru penggerak ini jauh lebih baik. Pertama, guru mengikuti seleksi atas keinginan diri sendiri, bukan karena melaksanakan perintah atasan atau mendapat jatah berdasarkan pemerataan kuota tiap daerah. Dengan demikian, ada jaminan bahwa guru akan mengikuti pelatihan dengan serius, dan melaksanakan tindak lanjut pelatihan dengan sungguh-sungguh pula.
Kedua, pelatihan calon guru penggerak dilaksanakan secara kontekstual dan berkelanjutan. Guru tidak hanya belajar teori-teori yang bersifat formal, tetapi juga memiliki kewajiban untuk mempraktikkan teori tersebut di sekolah masih-masing. Porsi materi formal di lembaga pendidikan dan pelatihan hanya 10%, selebihnya guru harus belajar dari rekan sejawat dan guru lain sebesar 20%, dan belajar di tempat kerja dan komunitas praktik sebesar 70%.
Ketiga, keberadaan pengajar praktik yang mendampingi guru penggerak memiliki peran cukup krusial untuk menjaga keberlangsungan dan ritme program yang dijalankan. Selain memberikan pendampingan, pengajar praktik dapat berbagi praktik baik pembelajaran, mengevaluasi dan memberikan umpan balik atau feedback kepada calon guru penggerak yang berada di bawah bimbingannya. Dengan demikian, para calon guru penggerak dapat tetap berada di jalur yang tepat hingga menyelesaikan program pelatihan.
Mendikbud menjelaskan dalam berbagai kesempatan bahwa para guru yang tergabung dalam program guru penggerak memiliki peluang untuk menapaki karier menjadi kepala sekolah. Dengan memiliki sertifikat guru penggerak, tentunya ada semacam garansi bahwa kepala sekolah yang dihasilkan benar-benar memiliki kualifikasi yang dibutuhkan. Tidak hanya sebagai pemimpin sekolah, tetapi sekaligus sebagai pemimpin pembelajaran. Hal ini dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan bahwa jabatan kepala sekolah sering kali terkait dengan balas jasa politik sebagai tim sukses pilkada.
Melalui program guru penggerak, pendidik dapat memperoleh pengalaman belajar mandiri dan komunitas belajar yang terbimbing, terstruktur, dan menyenangkan. Belajar memang dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Tetapi, konsistensi belajar adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, apalagi jika para guru juga memiliki kesibukan yang lain. Dengan adanya pelatihan guru penggerak, para pengajar dapat menimba ilmu kembali secara sistematis dan berkesinambungan.
Manfaat penting program guru penggerak yang tidak kalah menarik, yaitu dapat bertemu dengan guru-guru dari berbagai daerah. Hal ini disebabkan karena pendaftar calon guru penggerak berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Dengan demikian, para calon guru penggerak dapat bertukar informasi, pengalaman, dan ilmu yang mereka miliki selama pelatihan berlangsung. Kolaborasi semacam ini penting dalam rangka membangun jejaring dan menjembatani kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah yang selama ini masih sering terjadi.
Mengingat betapa strategisnya peran guru penggerak dalam memajukan pendidikan di Indonesia pada masa mendatang, tentunya kita berharap bahwa program ini dapat terlaksana hingga tuntas dan berkelanjutan. Jangan sampai program ini bersifat hangat-hangat tahi ayam, hanya menggebrak di awal saja tetapi kemudian melempem di tengah jalan. Tentunya, kekhawatiran tersebut sangat beralasan mengingat seringkali program peningkatan kompetensi guru terhenti begitu saja karena pergantian kekuasaan. Ganti menteri, ganti program, ganti kebijakan. Jika itu yang terjadi, maka sebagus apapun program peningkatan kualitas pendidikan kita tidak akan pernah membuahkan hasil yang signifikan.
Muhammad Makhdum guru SMP Negeri 3 Plumpang, Tuban
(mmu/mmu)