Pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha pada momen ulang tahun partainya yang ketujuh menjadi polemik hingga saat ini. Pada momen acara yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo tersebut ia menyinggung ihwal suksesi presiden pada 2024 mendatang. Dengan lantang dan berapi-api, ia menyatakan bahwa Indonesia akan suram jika presiden yang terpilih merupakan pembohong dan pernah dipecat oleh Jokowi.
Tentu tidak perlu menjadi doktor ilmu politik atau ahli nujum untuk menerka siapa sosok yang disebut Giring sebagai "pembohong" dan "pernah dipecat Jokowi". Meski tidak menyebut nama secara eksplisit, namun publik awam pun tentu tahu bahwa sosok yang tengah menjadi sasaran tembak Giring ialah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta dan figur yang digadang-gadang masuk bursa pencalonan presiden 2024.
Dalam leksikon ilmu politik, pernyataan Giring yang terbilang keras itu tentu bisa dipahami sebagai bagian dari mencari simpati publik. Sebagai ketua umum partai yang nisbi baru di panggung politik nasional dan bahkan tidak lolos ambang batas parlemen di Pemilihan Umum 2019 lalu, Giring memang memiliki pekerjaan yang tidak ringan. Yakni bagaimana menggenjot elektabilitas partainya dengan tenggat waktu Pemilu 2024 yang telah di depan mata.
Mengelola Parpol
Namun demikian, apakah pernyataan Giring yang kontroversial dan mengundang polemik publik itu efektif untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas partainya? Firmanzah dalam bukunya Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi di Era Demokrasi menjelaskan bahwa setidaknya ada lima cara menjadikan partai politik sebagai institusi politik besar yang diterima masyarakat, dipilih oleh konstituen dan mengakar kuat di benak masyarakat.
Pertama, memiliki ideologi politik yang mapan, kuat, dan solid. Unsur ideologi ini menjadi penting sebagai platform perjuangan politik sekaligus unsur pembeda dari partai lainnya. Ideologi akan menjadi identitas partai yang berfungsi untuk menjalin koneksi dengan publik sebagai calon pemilih. Dengan ideologi yang jelas, partai politik dimungkinkan untuk membangun basis massa yang kuat sehingga bisa tumbuh menjadi institusi politik yang mapan.
Kedua, sistem kaderisasi yang sistematis, terstruktur dan berbasis pada meritokrasi. Kaderisasi menjadi unsur penting bagi partai politik. Partai politik yang besar niscaya membutuhkan jejaring kepengurusan dan kaderisasi dari tingkat pusat hingga daerah. Jejaring kaderisasi itulah yang akan menjadi semacam kepanjangan tangan dari partai politik agar bisa berinteraksi langsung dengan publik.
Ketiga, kemampuan membangun jejaring di masyarakat yang dibuktikan dengan kuatnya representasi partai politik di tengah masyarakat. Bukti konkret kehadiran parpol di tengah masyarakat itu biasanya diukur dari seberapa banyak anggota tetap sebuah partai yang dibuktikan melalui kepemilikan party-id. Jejaring kepartaian di level masyarakat umum ini akan terbentuk manakala partai politik mampu menghadirkan solusi bagi problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Keempat, kemampuan partai politik membangun imajinasi politik yang relevan dengan cita-cita kolektif masyarakat. Misalnya tentang kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, kesetaraan dan sebagainya. Kemampuan membangun imajinasi politik inilah yang akan melahirkan apa yang disebut sebagai "solidaritas organik". Yakni solidaritas alamiah terhadap partai politik karena publik merasa "terwakili" oleh parpol tersebut.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah kemampuan dalam pemasaran politik (political marketing). Yakni kemampuan untuk memasarkan agenda politiknya agar mendapat simpati publik luas.
Kurang Optimal
Harus diakui bahwa selama ini strategi politik PSI kurang optimal dan maksimal. Secara ideologis, PSI sebagai partai nasionalis gagal mencari titik pembeda dengan partai nasionalis lain yang kadung mapan, solid, dan memiliki basis massa besar. Begitu pula, kemampuan membangun jejaring di level akar rumput sebagai konstituen utama pun cenderung lemah. PSI selama ini identik sebagai partai elitis dan hanya kuat di ceruk pemilih usia muda kalangan kelas menengah perkotaan, terutama Jakarta.
Tidak hanya itu, PSI juga nisbi gagal membangun sebuah imajinasi politik yang relevan dengan problem riil masyarakat. Sebaliknya, PSI kerap hanya berselancar di atas isu-isu temporer sembari berharap mendapatkan simpati dari masyarakat. Alhasil, PSI gagal membangun solidaritas organik, alih-alih hanya berhasil membangun solidaritas instan yang bersifat sesaat.
Salah satu keunggulan PSI barangkali hanyalah variabel kaderisasi yang berbasis pada meritokrasi. PSI selama ini dikenal sebagai partai yang memberikan ruang bagi anak muda potensial yang boleh jadi tidak memiliki modal finansial dan sosial layaknya politisi pada umumnya. Variabel inilah yang seharusnya menjadi semacam komoditas politik unggulan PSI. Namun, sayangnya dalam banyak hal, PSI kurang bisa menjual unsur kebaruan dan kemudaan tersebut sebagai unsur pembeda dengan partai lain yang sudah mapan.
Ke depan yang dibutuhkan PSI agar mampu menjadi parpol yang solid ialah membangun solidaritas organik dengan jalan membangun imajinasi politik yang konstruktif. Alias, bukan hanya sekadar menebar pernyataan-pernyataan kontroversial dan berselancar di atas isu sosial-politik yang tengah hangat. Jika hanya itu strategi yang mereka lakukan, jalan menuju Senayan agaknya semakin berat. Tersebab, mereka hanya akan mendapatkan remah-remah konstituen yang tercecer dari rengkuhan partai-partai nasionalis yang kadung mapan dan besar.
Siti Nurul Hidayah peneliti Center for the Study of Society and Transformation, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Simak Video 'Balas-membalas Anies Vs Giring Kian Memanas':
(mmu/mmu)