Sosiolog W.F. Wertheim dalam bukunya Elite vs Massa (2009) menganalisis bagaimana biasnya pandangan elite mengenai massa. Untuk menganalisisnya, Wertheim memberi ikhtisar mengenai sosiologi pengetahuan, cabang sosiologi yang membahas pertautan ilmu pengetahuan dan kondisi sosiologis, seperti perubahan sosial, dan kekuasaan. Menurut Wertheim, sosiologi pengetahuan tidak hanya berbicara soal bagaimana terbentuknya pengetahuan tersebut amat dipengaruhi dengan kondisi sosial, tetapi juga bagaimana ketidaktahuan juga diproduksi.
Dengan kata lain, ketidaktahuan bukanlah hal yang dihindari, tetapi justru diproduksi, tentu untuk kepentingan segelintir orang. Contohnya terpampang nyata saat lembaga penelitian Eijkman Institute yang telah lama berkecimpung di Indonesia diambil oleh pemerintah. Pengambilalihan ini membuat nasib sebagian besar pekerja di dalamnya menjadi tidak jelas. Padahal Eijkman Institute telah memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia dengan independensi mereka.
Eijkman menjadi salah satu lembaga terdepan dalam pendataan di masa pandemi Covid-19 dan juga terlibat dalam riset di bidang kesehatan dan bioteknologi. Pengalaman pribadi saya sendiri adalah kuliah umum Herawati Sudoyo dari Eijkman Institute tentang keragaman manusia dari sudut pandang biologi untuk Pengantar Antropologi di Universitas Indonesia. Pemerintah yang kerap menggunakan slogan keragaman dan berusaha menangani pandemi adalah pemerintah yang sama yang ternyata berusaha membungkam lembaga ilmu pengetahuan yang mempromosikan keberagaman dan terdepan dalam riset tentang Covid-19.
Ini bukan kali pertama pemerintah yang diamanatkan mencerdaskan kehidupan bangsa ternyata mengkhianati amanat tersebut. Ariel Heryanto dalam Ideological Baggage and Orientations of the Social Sciences ini Indonesia (2005) mencatat sejarah panjang perkembangan pengetahuan di Indonesia yang ternyata tidak lepas dari beban ideologis, terutama yang dibebankan negara. Masa Orde Baru menunjukkannya secara vulgar, terutama dengan pembungkaman pembahasan tentang Marxisme dan mengarahkan ilmu pengetahuan ke developmentalisme yang mengagungkan pembangunan dan mengabaikan kompleksitas sosial.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru harus menyingkirkan kritisisme mengenai kondisi sosial untuk memuluskan ambisinya dan pembangunan, mengutip istilah antropolog James Ferguson dalam The Anti-Politics Machine: "Development", Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho (1994) sebagai mesin anti-politik. Mengapa harus anti-politik? Karena politik di sini berarti membuka berbagai masalah yang akan mengganggu pembangunan.
Orde Baru dengan jelas menggunakan istilah "massa mengambang" yang menyingkirkan politik di masyarakat. Namun cara paling efektif yang bahkan dampaknya terasa sampai sekarang adalah manipulasi bahasa. Heryanto menyebut bahwa Orde Baru menciptakan istilah-istilah baru untuk membangun ketidaktahuan masyarakat, contohnya adalah "buruh" diganti dengan "pekerja" atau "karyawan", "penangkapan" diganti "diamankan", dan "demonstrasi" diganti "unjuk rasa".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelihatannya sepele, bukankah istilah baru lahir tiap tahunnya? Persoalannya, melalui istilah tersebut, ketidaktahuan dipelihara dan cara pikir dibentuk. Saat Omnibus Law diprotes, banyak pekerja memandang sinis protes tersebut dan buruh-buruh yang turun ke jalan. Mereka menganggap diri sebagai karyawan, yang berbeda dan lebih istimewa dari buruh. Bahasa akhirnya memisahkan "karyawan" dan "buruh" yang sebenarnya bernasib sama, di bawah penindasan yang sama, tetapi justru saling serang.
Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia juga tidak lepas dari peran para buruh. Namun justru di sini lagi-lagi ketidaktahuan mengacaukannya. Kerja sebagai peneliti diromantisasi, dianggap sebagai pengabdian mulia yang tidak perlu upah atau pendanaan karena murni untuk mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan. Padahal, menurut Raewyn Connell dalam Mapping the Intellectual Labour Process (2007), perlu untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan dari sudut pandang buruh intelektual itu sendiri. Anggapan ini juga membuat mereka mengalami depolitisasi, karena pengabdian mereka harusnya didasarkan pada pengabdian yang tulus.
Akhirnya kedudukan peneliti menjadi lemah, terutama yang statusnya belum jelas seperti honorer. Pemerintah memelihara slogan-slogan ajaib seperti pengabdian ini untuk lepas tangan dari tanggung jawab mereka menjamin kesejahteraan buruh intelektual ini. Memang ilmu pengetahuan berbeda dengan kerja pada umumnya, terutama karena mereka butuh independensi agar ilmu pengetahuan tidak jadi instrumen kepentingan pihak tertentu.
Namun, pemerintah Indonesia saat ini, dengan mengambil alih Eijkman Institute, justru tidak melakukan keduanya. Kesejahteraan honorer justru diperburuk karena mereka dipecat bahkan tanpa pesangon dan independensi juga tidak terjaga karena status lembaga ini diambil alih pemerintah. Mengingatkan kita kembali pada independensi KPK yang juga direnggut pemerintah yang sama.
Meski harus punya independensi, bukan berarti bahwa peneliti dan para buruh intelektual ini berada di kelas yang berbeda dengan buruh lainnya. Pengambil alihan Eijkman ini jadi bukti bahwa peneliti tidak ubahnya buruh yang rentan. Maka, seperti halnya buruh, peneliti dan buruh intelektual lainnya, butuh wadah seperti serikat untuk menunjukkan aspirasi mereka.
Pembahasan mengenai iklim riset juga sudah seharusnya lepas dari jargon pengabdian yang justru menormalisasi minimnya pendanaan dan rentannya peneliti sebagai hal mulia, tanpa membicarakan permasalahan struktur di baliknya, yang oleh Ahmad Arif dalam kolomnya di Kompas, 2 Agustus 2017 yang berjudul Eijkman disebut sebagai tidak adanya budaya pengetahuan di Indonesia. Semakin menegaskan tuduhan bahwa pemerintah tidak segan menjadi anti-sains untuk menjalankan kekuasaannya.