Saya ingat peristiwa sore itu, puluhan tahun silam. Saya sedang di rumah Pak Wo, kakek saya. Di sana tengah digelar hajatan entah apa. Yang pasti, di sudut ruang tengah saya memergoki Pak Wo sedang duduk bersila, sambil mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang seingat saya campuran antara bahasa Jawa dan doa-doa cara Islam dalam bahasa Arab.
Dengan mengendap-endap saya pun mendekat, dan tampak di hadapan Pak Wo ada kemenyan dibakar, asapnya mengepul menyesaki ruangan itu. Penuh rasa ingin tahu, saya bertanya, "Pak, kalau bakar kemenyan apa harus sambil muni kayak gitu?" Muni itu istilah Jawa untuk bersuara, atau bicara, atau sejenisnya.
Pak Wo diam saja, masih melanjutkan membaca doa-doa. Saya jadi takut sendiri, lalu berlari pergi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesampai di rumah, saya ceritakan semuanya kepada bapak saya. Bapak sejak muda aktif di organisasi Muhammadiyah. Nenek saya dari Bapak sebenarnya berangkat dari akar keluarga petani dusun yang abangan sebagaimana lazimnya pada zaman itu, meski kemudian seluruh keluarga besar ter-Muhammadiyah-kan. Adapun ibu saya memang baru ikut Bapak setelah menikah, di saat Pak Wo masih abangan- -meski beberapa belas tahun sebelum meninggal, beliau dan terutama nenek saya sudah cukup rajin bersembahyang.
Mendengar cerita saya, Bapak tentu saja menanggapi dengan standar perspektif Muhammadiyah, yaitu bahwa aktivitas bakar kemenyan dan sebagainya itu tidak sesuai dengan ajaran agama. Muhammadiyah sangat gencar menjalankan gerakan anti-TBC, alias anti-takhayul-bidah-churafat, menolak hal-hal yang dianggap nyerempet-nyerempet perklenikan.
Bahkan, sebagaimana pakemnya, saat itu muncul pula istilah "syirik" dari Bapak, meskipun dalam nada yang wajar dan datar, tanpa satu pun tanda seru.
Sejak itu, saya justru dibikin penasaran dengan dunia-dunia gaib. Betapa antusias saya mendengar cerita-cerita mistis dan kisah ilmu-ilmu kesaktian. Saya meminta izin Pak Wo agar boleh melihat benda-benda pusakanya, mulai bebatuan akik sampai cundrik kepala Semar. Masih membekas tajam di ingatan saya, menurut Pak Wo, cundrik itu beliau dapatkan dari seorang sakti bernama Amat Tohir, dan Pak Amat Tohir memperolehnya dari sinar yang jatuh setelah pohon preh di depan rumahnya roboh diterpa angin.
Pada kelas empat atau lima SD, saya meminta kepada Pak Wo agar dibelikan cincin akik. Tak saya sangka, Pak Wo begitu serius dengan permintaan saya. Dibonceng dengan sepeda kumbangnya, saya pun diajak ke orang pintar yang buka lapak di pasar hewan Kuncen. Dengan sebagian uang hasil penjualan sapi, Pak Wo membelikan akik yang dipilihkan oleh si orang pintar itu.
Itu akik mahal. Ketika harga semangkok soto masih dua ratus perak, akik itu harganya sembilan ribu lima puluh rupiah. Motifnya puser bumi, yang konon akan bikin saya pintar bila saya rawat dengan tata cara tertentu (karena belakangan tidak saya rawat, mungkin itu yang bikin saya jadi kurang pintar).
Tahu saya dibelikan akik oleh Pak Wo, seingat saya Bapak tidak berkomentar serius. Mungkin beliau anggap itu cuma main-main seorang anak yang penasaran dengan segala yang aneh-aneh. Tapi apa pun itu, seiring dengan saya punya pusaka baru, ketertarikan saya semakin besar, dan pertanyaan-pertanyaan di dalam kepala saya juga semakin gencar. Bukan cuma ketertarikan kepada yang gaib-gaib, namun juga kepada perspektif agama dalam memandang yang gaib-gaib itu.
Saya ingat ketika Bapak menyebut syirik untuk perkara bakar kemenyan. Dalam keluguan saya sebagai anak kecil, saya bertanya-tanya. Syirik itu kan menyekutukan Allah, alias menganggap ada makhluk yang layak disembah selain Allah. Nah, pertanyaannya, apakah membakar kemenyan dan memberikan sesajen itu menyembah?
Saya sendiri tidak yakin, sebab Pak Wo berdoanya pun kepada Allah, cuma sambil bakar kemenyan dan mungkin menjadikan asap kemenyan itu sebagai suguhan bagi roh-roh halus. Belakangan, ketika sudah mulai punya teman di sana-sini, saya pun sedikit tahu bahwa dalam khazanah praktik spiritual Jawa, sesaji itu bukan untuk menyembah, melainkan sebagai semacam suguhan, penghormatan. Itulah kenapa namanya sesaji, sesuatu yang disajikan. Tuhan yang disembah ya tetap Gusti Allah, Gusti Kang Akarya Jagad, Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Lalu, kenapa penghormatan semacam itu disebut syirik? Bukankah, sekali lagi, syirik itu menyekutukan Allah alias menyembah sesuatu selain Allah? Itu diam-diam terus menjadi pertanyaan saya sampai menginjak remaja.
Waktu itu saya berpikir, ibaratnya ada orang tua, seorang sesepuh yang sangat dihormati di sebuah kampung. Dia jadi semacam pepundhen, penguasa kultural kecil-kecilan. Kan ya biasa saja to kalau kita sowan ke beliau, membawa oleh-oleh gula dan teh, atau rokok kretek tiga bungkus, atau setandan pisang. Dengan begitu si pembawa bingkisan menunjukkan rasa takzim, sebagaimana tata krama sewajarnya.
Nah, kebetulan saja sesepuh yang diberi oleh-oleh itu wujudnya manusia, punya bodi yang bisa dilihat, punya tangan yang bisa dijabat. Lalu kalau si sesepuh itu dalam bentuk makhluk tak terlihat bagaimana? Apakah lantas memberikan penghormatan kepada mereka dengan oleh-oleh yang disukai, dalam bentuk sesisir pisang dan segenggam kembang kantil berarti menyembah atau menuhankan?
Itu terus-menerus menjadi pertanyaan-pertanyaan seorang Iqbal kecil, meski si kecil itu tak pernah berani secara vulgar mempertanyakannya.
"Lho, tapi kan ketika memberikan sesaji itu pelakunya juga meminta-minta?"
Saya ingat, model gugatan semacam itu saya dapatkan dari teman saya ketika saya sudah SMP atau SMA.
Tentu saja dia benar. Banyak orang memberikan sesaji sambil meminta sesuatu kepada yang diberi sesaji. Misalnya minta restu, minta lancar rezeki, dan lain-lain. Seharusnya, kata teori baku dalam agama, meminta itu hanya kepada Allah. Masalahnya, saya ingat jawaban saya, kepada orangtua sendiri toh kita juga meminta-minta. Minta uang, minta jajan, minta dibayarin SPP. Apa lantas artinya kita musyrik dan menuhankan ortu sendiri?
Lebih bikin ruwet lagi ketika teman-teman saya membandingkannya dengan berhala-berhala di zaman jahiliyah yang dihancurkan oleh Nabi. Itu perbandingan yang menurut saya waktu itu kurang manis. Berhala Latta Uzza jelas menjadi sesembahan, sedangkan para dhanyang alias bangsa jin yang jadi sesepuh-sesepuh itu bukan sesembahan.
Saya semakin pusing. Untunglah, setelah agak gede lagi, saya sudah meninggalkan kegelisahan-kegelisahan dan rentetan pertanyaan semacam itu. Saya lupa kenapa. Mungkin karena sibuk ujian Ebtanas, atau pacaran, atau ngaji liqo' bersama teman-teman.
Tapi sekarang muncul lagi obrolan tentang itu, tentang tendangan seorang lelaki muda kepada benda-benda sesaji. Itu membuat saya membongkar ingatan atas pertanyaan-pertanyaan lama di masa kecil saya hingga remaja.
Tentu saja sampai setua ini tidak pernah sekali pun saya mempraktikkan sesaji-sesajian, apalagi sejak SMA akik puser bumi saya sudah hilang. Saya pun lebih nyaman menjalankan hal-hal profan dan kasat mata semacam ngopi-ngopi, atau kerja keras dan jalan-jalan, daripada membaca mantra dan membakar kemenyan.
Meski demikian, saya tetap percaya bahwa makhluk-makhluk tak kasat mata itu ada, toh agama saya juga mengakui eksistensi mereka. Namun satu-satunya hal yang saya lakukan dalam menghormati mereka cuma mengucap salam dan nuwun sewu tiap kali saya terpaksa kencing di semak-semak atau lewat jembatan sepi di tengah malam. Ya, minimal biar mereka tidak mendadak caper muncul di depan kaca mobil seperti di sinetron-sinetronan.
Selebihnya, saya menceritakan pertanyaan-pertanyaan lugu saya itu, dalam alam pikiran kanak-kanak, yang sampai tua nggak pernah ahli dalam ilmu agama, tetapi masih menyimpan sedikit kegundahan: apa iya sih kita tidak perlu sesekali melihat dari perspektif pelaku sesajian itu, sungguh-sungguhkah mereka sedang menyembah apa yang mereka beri sesaji?
Tapi itu pun tak perlu saya pikir lagi berpanjang-panjang. Sebab di saat yang sama, saya sendiri lebih mungkin jadi musyrik karena diam-diam menuhankan uang, juga menuhankan ego diri sendiri yang tak henti berkubang kesombongan.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
Simak juga 'Ponpes Bekas Tempat HF Mengajar Sesalkan Perusakan Sesajen di Semeru':