Kolom

Agenda HAM, Mendesak!

Amiruddin al-Rahab - detikNews
Minggu, 02 Jan 2022 11:29 WIB
Wakil Ketua Komnas HAM-RI Amiruddin Al Rahab (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Ketika tahun baru tiba, harapan juga tumbuh. Untuk agenda HAM tahun 2022, tentu juga menumbuhkan harapan keadilan akan datang. Banyak warga negara RI ini telah begitu lama menunggu yang namanya keadilan itu tiba. Negara tidak bisa menghindar atas tuntutan agenda keadilan tersebut.

Jika dibaca dengan ayat-ayat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, maka tahun 2021 dapat disebut sebagai tahun terabaikannya hak atas kesejahteraan dan tertundanya hak untuk mendapat keadilan. Begitu data pengaduan masyarakat yang masuk ke Komnas HAM.

Dalam khasanah HAM, kewajiban menciptakan kesejahteraan dan menghadirkan keadilan adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Begitu pula perintah konstitusi Indonesia, UUD'45.

Jika kita simak perjalanan permasalahan HAM yang mencuat di tahun 2021, tampak hal itu mendesak untuk diselesaikan oleh pemerintah di 2022 ini. Kemendesakan itu terjadi karena beberapa agenda HAM itu ada yang telah terbengkalai hampir selama 20 tahun, serta korbannya banyak. Jika ditunda, keadaan bisa menjadi lebih buruk lagi.

Agenda pertama adalah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000. Semangat reformasi, memberi jalan dua jalur bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu ini. Sesuai UU No 21 Tahun 2000, yaitu melalui Pengadilan HAM dan bisa dan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Sayangnya, Pengadilan HAM dalam 15 tahun terakhir ini tidak pernah dibentuk. Langkah penyidikan atas rekomendasi dari hasil penyelidikan Komnas HAM, selalu dimentahkan oleh Jaksa Agung. Sementara itu, UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR, belum sempat dijalankan telah dimatikan oleh putusan MK di tahun 2006. Argumen MK membatalkan UU KKR versi 2004 itu adalah karena pada pokoknya, kompensasi untuk korban tidak boleh dipertukarkan dengan amnesty bagi pelaku.

Selama tahun 2021, agenda yang paling mendesak ini, hampir-hampir tidak mendapat perhatian. Mandek. Jalan di tempat. Yang muncul ke permukaan hanya wacana dari Menko Polhukam dan janji-janji Presiden, bahwa jalan non-yudisial akan diambil untuk mengurai peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu itu. Namun, langkah non-yudisial itu konsep dan prosedurnya tak kunjung dibuka. Wacananya hanya bergerak pada dasar formalitasnya yaitu perlu dibuat UU atau cukup dengan Keputusan Presiden. Sampai tahun 2021 tutup, Pengadilan HAM tidak ada, KKR pun tidak nyata. Langkah baru menjadi tidak tampak wujudnya.

Agenda kedua adalah konflik bersenjata terbuka di Papua. Jika kita simak judul-judul berita media massa mengenai Papua sekarang ini, hampir sama dengan judul berita yang ada di media di tahun 90an. Intinya adalah senjata menyalak setiap saat dan korban jiwa jatuh saban minggu. Artinya 20 tahun reformasi politik dan sistem politik yang demokratis, tidak mampu menghentikan senjata bicara di Papua. Meski pun UU Otonomi Khusus juga sudah 20 tahun berjalan.

Selama 2021, terutama setelah bulan April, kekerasan melonjak di Papua. Upaya Menko Polhukam melabeli aksi-aksi kelompok bersenjata sebagai aksi teroris tidak membuat kekerasan surut, melainkan melonjak. Hal itu dikonfirmasi oleh Kapolda Papua, Irjend Mathius Fakhiri ke media bahwa telah terjadi 92 aksi kekerasan bersenjata sampai akhir 2021. Respons atas aksi kelompok bersenjata itu, dilancarkan 13 operasi. Korban jiwa 19 orang warga biasa, 11 orang prajurit TNI, 4 orang anggota Polri dan 12 orang yang diduga anggota KKB (detik.com, 23/12/2021). Jika disimak data dari Kapolda itu, tampak korban jiwa bisa jatuh dari pihak mana pun. Sesungguhnya situasi begitu sudah berlangsung lama di Papua. Sungguh memprihatinkan.

Permasalahan mendasar dalam konflik di Papua adalah permasalahan HAM, terutama agenda keadilan. Sayangnya agenda itu pula yang terus-menerus dihindari. Dalam perubahan UU Otsus Papua 2021 dan aturan turunannya, agenda keadilan itu tampak tidak terperhatikan secara seksama, jika tidak dikatakan terlupakan.

Persoalan mendesak lainnya yang perlu menjadi perhatian di tahun 2022 adalah perilaku dan pelayanan anggota kepolisian. Ini PR terbesar Kapolri sekarang ini. Sepanjang tahun 2021 kita disajikan banyak sekali pelayanan publik oleh anggota-anggota kepolisian di berbagai daerah yang mencengangkan jika ditilik dari sisi norma HAM. Dari pengaduan masyarakat yang masuk ke Komnas HAM tampak, ada dua persoalan besar, yaitu pelayanan kepada masyarakat yang buruk dan tindakan kekerasan yang berlebihan.

Gejala di lapangan dan terekam oleh media tampak mengkonfirmasi aduan-aduan itu. Seperti peristiwa di Luwu Timur, seorang ibu yang melaporkan 3 anaknya diperkosa, namun polisi menghentikan proses penyelidikan dengan alasan bukti kurang. Di Percut Sei, Medan, seorang perempuan menjadi korban penganiayaan, tetapi ditetapkan oleh Polisi sebagai tersangka, karena dilaporkan oleh pelaku penganiayaan.

Ada juga aksi kekerasan seksual oleh seorang polisi di Polres Lahat terhadap istri seorang tahanan, dengan diancam akan memindahkan suaminya ke Nusa Kambangan. Namun yang lebih menggetarkan hati adalah perilaku seorang anggota polisi di Mojokerto yang melakukan kekerasan seksual berulang terhadap seorang perempuan, yang menyebabkan perempuan itu kemudian bunuh diri. Bahkan di Bekasi yang dekat dari Ibu Kota, seorang ibu yang mengadu ke Polisi bahwa anaknya mengalami kekerasan seksual, laporannya justru ditolak dan si ibu disuruh menangkap sendiri pelakunya.

Tindakan kekerasan oleh anggota Polri dalam menjalankan kewenangannya dalam menegakkan hukum, seperti pemukulan oleh petugas Satlantas Polres Deli Serdang terhadap seorang yang melanggar rambu lalu lintas. Di Gorontalo, empat orang polisi menganiaya seorang tahanan sampai meninggal. Di Balikpapan juga terjadi penganiayaan oleh 5 orang Polisi terhadap tahanan yang diduga mencuri telepon genggam. Kejadian serupa juga terjadi di Bener Meriah, Aceh, seorang tahanan meninggal karena dianiaya dalam tahanan. Begitu pula di Sumba, NTT, seorang tahanan meninggal dianiaya di sel Polsek Katikutana. Juga seorang polisi membanting seorang mahasiswa yang demonstrasi di Tangerang.

Persoalan konflik agraria atau sengketa tanah juga sangat mencuat di tahun 2021. Sebagian besar konflik tanah itu telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak kunjung terselesaikan. Mulai dari sengketa lahan di Sumut, Sumsel, NTT, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan. Sengketa lahan ini sebagian besar berkaitan dengan proyek-proyek besar negara, pertambangan, dan perkebunan besar serta lokasi proyek pariwisata raksasa.

Karakteristik dari konflik pertanahan ini adalah menyangkut penetrasi modal besar yang lapar tanah ke berbagai wilayah Indonesia. Bahkan saat ini menjalar sampai ke pulau-pulau kecil, seperti Sangihe-Talaut, Sumba, dan beberapa pulau di Maluku. Selain itu melibatkan banyak orang. Serta kerap berujung pada aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum, atau melibatkan orang-orang perusahaan. Warga selalu menjadi korban.

Agenda-agenda mendesak tadi, secara faktual terkonfirmasi dari data pengaduan yang masuk ke Komnas HAM sepanjang tahun 2021. Polisi adalah pihak yang terbanyak diadukan. Selain itu adalah perusahaan-perusahaan besar swasta dan BUMN/BUMD yang terkait sengketa tanah. Begitu pula pemerintah daerah, yang terkait pelayanan publik.

Jika kita ingin persoalan HAM di tahun 2022 membaik, tidak ada jalan lain selain membenahi kerja-kerja instansi negara yang berkaitan dengan persoalan-persoalan HAM yang menonjol di atas.

Untuk pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, pengadilan HAM harus dijalankan dengan memulai penyidikan atas beberapa peristiwa-peristiwa yang direkomendasikan Komnas HAM. Sementara pengungkapan kebenaran tidak bisa dihindari, maka dari itu formulanya harus ditentukan di 2022 ini. Sementara peristiwa yang diungkap kebenarannya harus melampaui peristiwa-peristiwa yang pernah diselidiki Komnas HAM. Sebab pengungkapan kebenaran bertujuan untuk mengenali anatomi kejahatan yang melibatkan unsur-unsur negara di dalamnya dan mengakui bahwa kejahatan itu memang pernah terjadi. Kemudian merehabilitasi dan memulihkan hak-hak korban.

Papua perlu mendapat perhatian lebih. Persoalan Papua adalah permasalahan HAM. Pendekatan HAM sudah seharusnya dikedepankan. Maka dari itu operasi-operasi militer dan kepolisian perlu dievaluasi. Korban sudah terlalu banyak. Serta langkah yang lebih dialogis perlu diambil, melalui penunjukan sosok yang akan menjalankannya secara penuh waktu. Papua tidak bisa ditangani secara sambilan.

Modal utama polisi bisa menjalankan tugas pokoknya dalam penegakan hukum dan pelayanan publik adalah kepercayaan publik (public trust). Mencuatnya #percumalaporpolisi setelah viral baru ditindaklanjuti menunjukkan berkurangnya kepercayaan publik. Mantan Kapolri, Tito Karnavian dalam bukunya Democratic Policing (2017) menegaskan integritas dan profesionalitas anggota-anggota kepolisian adalah dasar bagi tumbuhnya kepercayaan masyarakat.

Maka dari itu tiap-tiap anggota polisi harus menyadari bahwa dirinya mewakili seluruh polisi. Prilaku polisi di lapangan, menjadi cerminan kondisi HAM. Maka dari itu perbuatan setiap orang anggota polisi harus dimintai pertanggungjawabannya. Langkah-langkah Kapolri Jenderal Sigit yang menegaskan "potong kepala, jika tidak bisa menertibkan ekor," sudah di jalur yang tepat, namun itu saja tidak cukup. Program pembenahan perilaku dan pelayanan harus segera dibuat.

Untuk mengurai sengketa agraria, tidak bisa lagi diulur-ulur. Tindakan yang bisa memberikan kepastian penyelesaian diperlukan. Untuk itu keputusan-keputusan pemerintah yang lebih operasional dinanti. Agenda reformasi agraria harus dipercepat. Moratorium pemberian izin-izin lokasi, izin prinsip dan izin operasional untuk berbagai perusahaan perlu dilakukan.

Maka dari itu, di tahun 2022 ini Presiden perlu benar-benar membuat agenda prioritas untuk langkah-langkah penyelesaian persoalan-persoalan HAM yang mendesak itu. Agar kita sebagai bangsa punya harapan, bahwa HAM akan terlindungi dan keadilan bisa tegak. Tanpa menyelesaikan agenda yang mendesak itu, maka permasalahan HAM di Indonesia akan berlarut, dan kita terjebak dalam kubangan yang sama.

Amiruddin al-Rahab, Wakil Ketua Komnas HAM-RI dan Dosen di FH Ubhara Jaya




(mae/mae)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork