Kolom

Akselerasi Generasi Digital, Merah Putih Fund, dan Tantangan Kita

Abdullah Sammy - detikNews
Senin, 27 Des 2021 13:10 WIB
Foto ilustrasi: Shutterstock
Jakarta - Presiden Jokowi meresmikan Gerakan Akselerasi Generasi Digital, Rabu (15/12). Bersamaan dengan peresmian itu, diluncurkan pula Merah Putih Fund yang menjadi wadah pendanaan bagi startup-starup digital lokal yang berstatus soonicorn.

Selain menyiapkan dana besar lebih dari Rp 4 triliun, Merah Putih Fund akan memberikan mentoring bisnis bagi anak muda yang meretas bisnis digital. Menteri BUMN Erick Thohir bahkan turun langsung sebagai Head Mentor Business. Dana dari Merah Putih Fund merupakan gabungan dari investasi BUMN maupun swasta.

Diharapkan dana dan mentoring bisnis via Merah Putih Fund itu bisa diserap anak muda yang mengembangkan startup di bidang-bidang strategis seperti pertanian, perikanan, dan kesehatan. Merah Putih Fund dan Gerakan Akselerasi Generasi Digital menjadi hal yang fundamental untuk merespons semakin derasnya perkembangan digitalisasi di segala bidang.

Datangnya pandemi nyatanya semakin cepat mendorong digitalisasi sekaligus efek disrupsi di segala bidang. Perubahan demografi, lingkungan, pendidikan, serta teknologi ini seakan menata ulang dunia. Tak pelak, disrupsi teknologi mengubah secara ekstrem strategi bisnis maupun korporasi. Pola yang dapat menjadi pelung sekaligus ancaman bagi Indonesia.

Sebagai contoh betapa ekstremnya perubahan yang terjadi efek digitalisasi, kita bisa berkaca dari data persaingan industri ponsel. Nokia, Samsung, Motorola, LG, dan Sony Ericsson secara akumulasi menguasai 90 persen dari keuntungan di pasar ponsel global pada 2007. Hanya selang delapan tahun, atau pada 2015, Apple lewat produk iPhone melejit dengan menguasai 92 persen dari keuntungan di industri ponsel.

Hanya Samsung dari kelima manufaktur yang berjaya pada 2007 yang tetap mampu bersaing di level teratas. Apa yang terjadi dalam industri ponsel menjadi contoh nyata bagaimana pola strategi bisnis dapat membedakan kejayaan dan kehancuran perusahaan dalam waktu singkat. Disrupsi teknologi yang telat direspons dengan perubahan pola strategi membuat perusahaan raksasa bisa tumbang dengan sekejap.

Sejumlah peneliti dalam rumpun ilmu manajemen mengulas sejumlah perubahan fundamental terkait strategi bisnis akibat digitalisasi. Inti dari perubahan itu terletak dari pergeseran dari pola industri tradisional (klasik) ke industri digital. Jika dalam pola industri tradisional, prosesnya mengandalkan rantai nilai (value chain), maka dalam industri digital polanya berubah menjadi platform yang mengorkestrasi jaringan (network) data digital.

Gawyer (2014) dalam Kenny, Rouvinen, Seppala, dan Zysman (2019) menjelaskan bahwa pola platform adalah saat organisasi bisnis berkembang menjadi meta organisasi yang mampu menjadi wadah yang mempertemukan sisi permintaan dan penawaran via media teknologi. Pola meta-organisasi inilah yang dikembangkan Apple.

Menurut Van Alstyne, Parker, dan Choudary (2016), platform telah mengubah paradigma industri konvensional yang selama ini menganggap nilai diperoleh dari suplai barang. Sebaliknya, dengan platform nilai justru tercipta lewat efek jaringan (network effect) yang merupakan hasil interaksi dalam ekosistem digital. Secara sederhana kita bisa merujuk apa yang terjadi dalam industri ponsel. Para pelaku industri ponsel yang memakai pola tradisional hanya fokus dalam menciptakan ponsel sebaik mungkin dengan harga sekompetitif mungkin.

Sebaliknya, Apple nyatanya bisa mendisrupsi secara cepat perusahaan ponsel mapan bukan sekadar karena produk ponselnya. Lebih dari itu, yang diciptakan oleh Apple via iPhone adalah sebuah platform yang memiliki sistem operasi yang bisa mempertemukan konsumen, produsen, maupun operator dalam satu ponsel. Walhasil dalam sebuah ponsel iPhone terdapat platform yang mempertemukan si konsumen (pemilik ponsel) dengan produsen yang menjual aplikasi dalam iStore.

Di sisi lain ada operator yang menyuplai paket data agar si konsumen dengan ponselnya bisa terus melakukan aktivitas. Walhasil, dalam satu iPhone, konsumen, produsen, distributor bertemu jadi satu dalam platform digital iStore. Interaksi dalam iStore ini menciptakan dampak finansial sekaligus data yang tak ternilai harganya bagi Apple. Inilah produk inti yang dijual iPhone. Interaksi antara konsumen, produsen, dan distributor ini yang menghasilkan keuntungan jaringan (network effect) bagi Apple.

Data besar (big data) sebagai hasil interaksi dalam platform iStore inilah yang menjadi cuan yang tak ternilai harganya. Dengan iStore, Apple memiliki big data konsumen, produsen, hingga distributor yang amat lengkap. Apa kegemaran konsumen, hingga produk konten aplikasi apa yang laris bisa diketahui secara singkat oleh Apple. Big data ini ibarat tambang emas di era digital.

Berbasis bekal big data itu, Apple bisa dengan leluasa mengetahui apa minat konsumen, karakteristiknya, dan potensi-potensi bisnis apa yang bisa dikembangkan di masa depan. Tak heran ketika jaringan Apple itu dimanfaatkan untuk meluncarkan produk bisnis lain, seperti iWatch, Apple mampu secara cepat menggoyahkan pasar jam yang selama ini didominasi Swatch.

Dengan efek jaringan via platform digital, Apple mampu melakukan penetrasi pada segala bisnis. Inilah kedahsyatan pola bisnis digital yang secara cepat mampu meluluhlantakkan perusahaan yang bertahan dalam konsep rantai nilai konvensional. Perubahan pola bisnis konvensional menjadi platform digital inilah yang menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Jangan justru bangsa ini hanya terjebak dalam pola klasik rantai nilai yang hanya mengeksploitasi sumber daya.

Jangan pula bangsa ini hanya sekadar berpartisipasi sebagai konsumen yang memperkaya platform digital asing. Sebaliknya, bangsa ini harus menjadi tuan rumah sendiri yang memiliki platform digital yang ekosistemnya terdiri dari provider, produsen, maupun konsumen lokal. Sehingga akhirnya aset bangsa ini tidak lari ke mana-mana. Gerakan Akselerasi Generasi Digital dan wadah Merah Putih Fund adalah titik tolak yang amat penting untuk merespons peluang sekaligus ancaman akibat revolusi digital.

Peluang di era digitalisasi ini sejatinya merupakan hal yang kerap ditekankan Presiden Jokowi di sejumlah kesempatan. Bahkan Jokowi menegaskan bahwa Indonesia mesti menjadi raksasa digital seperti China dan India. Syaratnya adalah dengan terus mendorong literasi digital dalam pendidikan. Tak heran, Jokowi menunjuk seorang praktisi digital Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan. Pun halnya Erick Thohir di kursi Menteri BUMN yang memiliki background ekonomi kreatif yang kini menunjang pembiayaan Merah Putih Fund.

Dengan Gerakan Akselerasi Generasi Digital ini kita tentu berharap di negeri ini terus bermunculan anak muda yang tak sekadar mengerti ilmu teknologi (IT), tapi mengawinkannya dengan strategi ekonomi yang baik via startup-startup potensial. Dengan bekal itu, platform-platform digital lokal akan tumbuh secara sehat dan merata.

Selain literasi digital, bangsa ini memang butuh proteksi dan regulasi untuk membatasi serbuan platform asing. Kita tentu tak ingin menjadi pasar empuk bagi platform digital asing yang menjual produk-produk impor pula. Platform asing ini yang menempatkan bangsa ini sebagai target konsumen dalam ekosistemnya berbekal strategi predatory pricing. Oleh karenanya, seruan Jokowi, Merah Putih Fund bisa mendorong tumbuhnya platform digital lokal yang mampu bersaing dengan asing sangat krusial.

Tentu arahan Presiden ini mesti diimbagi action plan yang detail untuk mendorong ekosistem platform digital lokal mampu bersaing dari sisi harga. Pada akhirnya, kekayaan sumber daya bukan lagi menjadi satu-satunya hal utama. Sebagai bukti, Uber tak memiliki sumber daya berupa moda transportasi milik mereka sendiri. Airbnb pun tak memiliki kamar hotel. Tapi keduanya kini menjadi raja binis transportasi dan penginapan berkat keberhasilan mereka membangun sistem platform digital yang mampu mengorkestrasi kebutuhan penjual, pembeli, maupun provider komunikasi.

Perubahan pola bisnis inilah yang mesti kita cermati secara serius. Tentu sebagai negara yang memiliki sumber daya besar, bangsa ini tak ingin bak berada di kursi penumpang yang sekadar memesan via aplikasi. Atau, ibarat pemilik taksi yang menjajakan jasa via aplikasi. Bangsa ini mesti berdiri di atas platform digital milik sendiri.

Abdullah Sammy peneliti strategi manajemen, CEO Rikreatif Indonesia




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork