Tidak terasa kita sudah berada di ujung tahun. Duh, pembukaan tulisan saya kok seperti renungan saja ya. Padahal kalau sesi renungan saya lebih sering tidur. Haha. Tapi memang benar, ini adalah kolom terakhir saya di tahun 2021. Kolom penutup tahun yang saya sendiri bingung enaknya mau membahas apa. Kalau harapan tahun depan seperti sehat dan kaya raya sepertinya banyak orang juga ingin begitu.
Mungkin kalau boleh saya tambahi, semoga WhatsApp segera menghilangkan pemberitahuan jika seseorang mau meninggalkan grup atau menghapus pesan. Sungguh, dua hal itu seharusnya diatur tidak ada bekasnya saja, supaya tidak membuat orang pekewuh. Orang mau left grup ya biarkan left, orang sudah menghapus pesan ya tidak usah ditanya, "Tadi ngirim apa kok dihapus?" --namanya saja dihapus, ya biar tidak dibaca kok masih ditanya! Ya, saya juga masih sering menjadi pelaku yang bertanya.
Seperti yang baru saja terjadi setengah jam lalu sebelum saya menulis kolom ini. Saya menerima pesan dari teman yang belum sempat saya baca tapi dihapus. Langsung saya tanya, "Ada apa?" Dia menjawab bahwa salah mengirim foto. Harusnya dia mengirim ke tantenya, tapi malah keliru ke saya. Seharusnya penjelasan itu cukup, tapi malah masih saya tanya, "Foto apa?" Sungguh betapa gabut-nya saya ini.
Teman saya kok ya masih menjawab, "Haha foto kenangan Natal kok. Natal tahun ini sepi, tidak ada Karmel dan Mbah Santa. Masih ingat kan sama mereka?" teman saya mengonfirmasi ingatan saya.Tentu saja saya masih mengingat mereka. Karmel adalah sepupunya yang sudah meninggal, begitupun orang yang dia sebut sebagai "Mbah Santa". "Mbah Santa" adalah tetangganya yang sering berkunjung ke rumahnya untuk menghibur sepupunya itu.
Saya akan mendongeng, kalau membosankan boleh Anda lewati saja. Kita sepertinya sudah sering membaca cerita yang sering beredar di dunia maya tentang anak kecil di sebuah mall yang bertanya di mana santa berada. Lucunya security memberi informasi bahwa santa sedang Salat Asar. Pertama kali membaca kita mungkin juga akan tertawa. Dan ternyata banyak beredar foto yang menggambarkan ada santa yang benar-benar salat di musala.
Cerita tentang santa memang selalu mengasyikkan meski sudah bukan anak-anak lagi. Saya sempat membaca tweet teman saya, dia sudah berumur 20-an tahun, tapi masih saja dikejutkan oleh bapaknya yang berpura-pura menjadi santa. Lengkap dengan kostum dan hadiahnya.
Nah, cerita teman saya hampir mirip situasinya, tapi bedanya santa ini bukan seseorang yang memakai baju santa dan membawa karung hadiah serta menunggang kereta yang ditarik rusa seperti yang digambarkan pada umumnya. Santa yang dimaksud teman saya ini adalah seorang simbah-simbah sarungan yang tidak pernah absen berjamaah di masjid dekat rumah tantenya teman saya.
Jadi, Karmel, sepupunya teman saya ini sering keluar-masuk rumah sakit karena menderita kanker. Saya kurang tahu kanker apa, yang jelas dia masih kecil. Setahunan terakhir sebelum meninggal, dia sudah tidak dirawat di rumah sakit lagi, tapi ingin menghabiskan waktunya di rumah saja. Karmel ini paling suka jika mendengar suara terompah Mbah Mukhlis, kakek-kakek tetangganya yang sering berjamaah di masjid dekat rumahnya.
Mbah Mukhlis ini memang paling suka dengan anak-anak. Dulu beliau adalah penjual mainan keliling. Sampai akhir hayatnya dia masih suka membuat mainan untuk anak-anak, termasuk untuk Karmel. Karmel selalu minta didorong kursi rodanya ke emper rumahnya agar bisa memanggil Mbah Mukhlis sepulang dari masjid. Mbah Mukhlis akan menyapanya dan mengajak ngobrol sebentar. Walau sebentar, itu seperti memperpanjang umurnya karena dia selalu tertawa dengan dongengan Mbah Mukhlis.
Setiap subuh dan asar, Karmel selalu minta didorong kursi rodanya untuk keluar rumah. Suara terompah Mbah Mukhlis selalu menarik hatinya. Terkadang kalau sedang longgar, Mbah Mukhlis-lah yang mendorong kursi rodanya keliling kampung. Karmel paling suka jika Mbah Mukhlis mengajak ke rumahnya dan mulai membuatkan mainan. Dari mobil-mobilan kulit jeruk, boneka dari anyaman bambu, dan mainan lain dari barang-barang bekas.
Semakin menarik karena Mbah Mukhlis selalu menyisipkan cerita dalam setiap mainan yang dia buat. Terkadang Karmel diajak ke ladang melihat Mbah Mukhlis panen sayuran yang ditanamnya. Karmel selalu ceria ketika pulang diantar Mbah Mukhlis. Karena sering diberi hadiah, Karmel menganggap Mbah Mukhlis adalah Santa Claus-nya. Mbah Mukhlis memang berjenggot dan berpostur tubuh seperti Santa Claus, hanya saja santa yang ini bersarung dan memakai terompah.
Hal yang paling tidak pernah dilupakan teman saya adalah ketika Mbah Mukhlis memberi Karmel hadiah mainan dalam kotak yang besar dan ditaruh di bawah pohon talok depan rumah Karmel ketika Natal. Bukan hadiah di bawah pohon cemara. Waktu itu Karmel bangun agak kesiangan sehingga tidak mencegat Mbah Mukhlis pulang dari masjid. Sebulan setelah itu Mbah Mukhlis berpulang, disusul Karmel tidak lama setelah itu. Mereka bukan pasangan kakek dan cucu kandung, bahkan berbeda keyakinan, tapi selalu berbagi kebahagiaan. Cinta menyatukan mereka.
Saya mengingat cerita teman saya sambil membayangkan dulu ketika berkunjung ke rumah tantenya untuk mengantar buku-buku cerita untuk Karmel. Dia memang anak yang ceria dan mudah berteman. Sayangnya saya belum sempat bertemu dengan Mbah Mukhlis atau Mbah Santa. Sebagai seseorang yang tidak pernah bertemu dengan kakek kandung dua-duanya, saya memang paling suka ngobrol dengan simbah-simbah yang asyik.
Bahkan saya sampai sekarang masih sering ngobrol dengan simbah-simbah lucu di WhatsApp. Saya sering mendapat hadiah dari mereka. Kadang uang, kadang buku-buku (karena sebagian besar mereka adalah penulis). Rasanya seperti cucu yang dikasih sangu oleh simbahnya. Kata teman saya, Karmel pernah berkata bahwa Mbah Mukhlis adalah hadiah Natal terbaik selama hidupnya. Diberi hadiah dengan cara yang baik dan tulus, rasanya memang membahagiakan. Saya jadi paham apa yang dirasakan Karmel; tiap dari kita memang punya Santa Claus masing-masing dalam hidup yang ingin ditemui untuk ditunggu hadiahnya.
Saya tidak tahu apakah tulisan ini menjadi tulisan renungan atau cerita-cerita toleransi umat beragama yang seharusnya memang biasa terjadi tanpa perlu dilebih-lebihkan. Tapi entah kenapa saya bahagia menuliskannya. Saya mengingat cerita teman saya sambil mendengar lagu Gloria in Exelcis Deo dan Felis Navidad. Dua lagu yang suka saya dengarkan ketika malam Natal walau saya tidak merayakan Natal. Siapa tahu ada santa yang mengetuk pintu rumah saya dan memberi hadiah minyak goreng yang harganya semakin tidak masuk akal. Hohoho.
Gondangrejo, 25 Desember 2021
Impian Nopitasari penulis
(mmu/mmu)