Fenomena K-Pop bukan sekedar urusan musik. Gegap gempita K-Pop menarik dikaji dari beragam sudut pandang. Dari aspek relasi antarbangsa, K-Pop adalah bagian dari diplomasi budaya. K-Pop benar-benar menguntungkan Korea Selatan.
K-Pop dan film menjadi alat promosi Korea yang paling efektif. Popularitas K-Pop dan artis Korea lainnya mempunyai andil besar dalam meningkatkan keuntungan sektor industri di Korea Selatan. Bahkan, pemerintah Korea telah menyiapkan fasilitas halal bagi wisatawan Muslim.
Selain diplomasi budaya dan kepentingan ekonomi, K-Pop pun dapat dibaca dari sudut pandang gender. Apa keterkaitan antara K-Pop dengan isu gender? Keberadaan K-Pop telah memberikan alternatif terhadap pemahaman tentang maskulinitas selama ini melalui penampilan mereka yang sangat "cair".
Maskulinitas yang Problematik
Dalam tradisi masyarakat baik Barat atau Timur, laki-laki dianggap lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan. Kebiasaan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad sangat merendahkan perempuan. Perempuan dianggap seperti barang yang dapat diwariskan atau diperjualbelikan. Dahulu, praktik penjualan manusia (human trafficking) dilakukan secara terbuka.
Poligami bagi masyarakat Arab pra-Muhammad menandai tingkat status sosial seseorang. Semakin banyak istri yang dipunyai, semakin tinggi pula status sosialnya. Oleh karena itu, bilangan poligami tanpa batasan pasti. Model perkawinan mereka sangat bebas sesuai dengan selera. Misalnya, seorang perempuan yang sedang hamil akan menikah dengan salah satu laki-laki yang sering mendatanginya dan laki-laki yang terpilih tidak boleh menolak.
Di samping itu, ada perilaku masyarakat Arab jahiliyah yang di luar nalar. Mereka tega mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang baru lahir karena merasa aib. Anak laki-laki adalah kebanggaan keluarga dan suku. Mereka penerus keturunan sekaligus penjaga kelangsungan hidup suku.
Kedatangan anak laki-laki bukan saja harapan keluarga tetapi sukunya. Mengapa? Mereka perlu mempertahankan diri dari serangan suku lain. Tidak ada yang mampu bertempur kecuali laki-laki karena peperangan mengandalkan kekuatan fisik, agresivitas, dan keberanian. Kesemua kapasitas berperang sangat sulit ditemukan dalam diri seorang perempuan.
Bagaimana nasib perempuan masa Yunani kuno yang memiliki tradisi filsafat? Jawabnya, sangat memprihatinkan, memilukan, dan sangat miris. Dalam riset Asmanidar (2015), komentar para filosof tentang perempuan terkesan sangat merendahkan kedudukan perempuan. Aristoteles berkata, derajat perempuan sama dengan hamba sahaya. Menurut Plato, kehormatan laki-laki itu terletak pada kemampuannya memerintah dan kehormatan perempuan itu menuruti perintah laki-laki, mengerjakan pekerjaan sederhana dan hina.
Mengapa maskulinitas selalu selalu berkonotasi buruk? Apakah ada definisi maskulinitas yang baik? Zuleyka Zevallos (2013) yang diinspirasi oleh Tuki Clavero mengatakan, "Tidak mudah mendefinisikan maskulinitas yang baik, karena sesungguhnya maskulinitas itu tidak ada apabila kita tidak serius memikirkannya, maka makna maskulinitas itu bergantung dari budaya dan waktu. Sederhananya, maskulinitas itu adalah bagaiman kita membayangkan laki-laki dan relasi kuasa antarmereka serta, relasi kuasa antara laki-laki, perempuan, dan anak-anak."
Relativitas makna maskulinitas itu menyebabkan pesan-pesan hegemoni dan dominasi maskulinitas masih terasa meskipun sudah muncul kelompok feminis sebagai oposisi. Zuleyka (2013) menyebutkan, film James Bond 007 masih memperlihatkan dominasi laki-laki. Bond digambarkan sebagai sosok agen rahasia Inggris yang sempurna. Kesempurnaan Bond tidak lengkap tanpa kehadiran banyak perempuan di sekelilingnya sebagai pemanis.
Perempuan juga banyak dimanfaatkan dalam sektor industri untuk meningkatkan angka penjualan. Pameran otomotif, dunia iklan, hingga majalah dewasa pria selalu memanfaatkan kemolekan perempuan. Tidak jarang, perempuan juga menjalani pekerjaan-pekerjaan yang penuh risiko sebagai pekerja domestik di luar negeri. Mereka rentan terhadap perilaku kekerasan. Perempuan belum sepenuhnya terbebas dari hegemoni maskulinitas sekalipun di era modern.
Soft Masculinity
Dengan gaya dan penampilan yang sangat khas, K-Pop mempromosikan maskulinitas alternatif pada dunia. Seorang doktor alumni Universitas Melbourne, Australia, Sun Jun menyebut maskulinitas K-Pop sebagai "pan East-Asian soft masculinity". Sun Jun memperkenalkan istilah baru dalam diskursus maskulinitas yaitu, soft masculinity. Apa itu soft masculinity? Apakah istilah itu berhadap-hadapan dengan "hard" masculinity.
Laki-laki yang digambarkan oleh istilah hard masculinity secara tradisional berkembang di Australia. Ilmuwan Australia, Robin Morris mendefinisikan hard masculinity sebagai seseorang yang secara fisik berkulit putih, sangat heroik, berotot dan kekar, heteroseksual, tidak terlalu mementingkan intelektual dan tidak mengenal rasa takut. Profil mereka seperti pasukan ANZAC, pemadam kebakaran, dan bahkan perompak.
Melalui karya tulisnya, Sun Jun ingin menegaskan, maskulinitas itu tidak monolitik seperti pemahaman Barat yang dikemukakan oleh Morris. Tetapi, maskulinitas Asia menawarkan karakter berbeda. Menurut Sun Jun, soft masculinity Asia Timur, khususnya yang ditunjukkan dalam K-Pop, lebih variatif.
Soft masculinity itu adalah konstruksi maskulinitas yang berasal dari nilai-nilai ketimuran. Soft masculinity di Korea menggabungkan maskulinitas seonbi yang diinspirasi oleh Konfusius Cina, maskulinitas pretty boy Jepang, dan maskulinitas metroseksual global. Maskulinitas Korea itu berbeda seratus delapan puluh derajat dari maskulinitas Barat.
Dengan mengadopsi tiga tipe maskunilitas, konstruksi laki-laki dalam soft masculinity digambarkan sebagai lelaki yang terdidik, berbudaya, pandai membatasi diri, dan taat aturan, termasuk hormat pada orangtua atau orang yang lebih senior. Motto dalam kultur seonbi/wen adalah ulet, rendah hati, dan sopan.
Oleh karena itu, rerata anggota K-Pop berpendidikan tinggi. Mereka sekurangnya berhasil menyelesaikan S1 dan sebagian lainnya bergelar Master. Terinspirasi dengan "pretty boy" maskulinitas Jepang, K-Pop seakan meniadakan sekat gender antara laki-laki dan perempuan. Citra semacam ini diperkuat lagi dengan gaya penampilan metroseksual. Namun demikian, bukan berarti mereka kehilangan ciri fisik lelaki. Tubuh punggawa K-Pop harus atletis dengan tetap menonjolkan lekukan otot pria, inilah yang disebut Sun Jun dengan "beast-like masculinity".
Soft masculinity seakan menjawab gugatan kaum feminis terhadap kultur patriarki yang dibentuk oleh konstruksi hard masculinity. Selama ini, kekerasan dan eksploitasi perempuan disebabkan oleh dominasi laki-laki yang dibentuk oleh hard masculinity. Dalam upaya keluar dari kekuasaan hard masculinity, kelompok feminis pada pertengahan dan akhir abad ke-20 memperkenalkan feminisme lesbian. Mereka menggunakan gerakan lesbi sebagai identitas untuk melawan dominasi laki-laki dalam hubungan heteroseksual.
Soft masculinity menjadi 'poros tengah' dari kubu hard masculinity yang hegemonik-ofensif dan kubu feminism yang defensif. Dalam konsep soft masculinity, laki-laki bukan sosok yang eksploitatif dan agresif. Justru sebaliknya, laki-laki juga memiliki sisi kewanitaan dan kelembutan yang diekspresikan dengan "pretty boy".
Laki-laki bukan sosok yang arogan dan kasar, tetapi mereka juga ulet, sopan, dan rendah hati. Laki-laki bukanlah seorang yang kumal, apa adanya, dan bau tengik, tapi mereka bisa tahu cara memantaskan diri, rapi, dan wangi. Laki-laki bukan orang yang malas belajar, tetapi mereka sangat terpelajar. Soft masculinity boleh jadi merupakan impian perempuan terhadap sosok laki-laki yang lebih paham tentang mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak juga 'Ketiga Kalinya BTS Borong Daesang di MAMA':