Selama pandemi, banyak program kegiatan desa yang telah direncanakan gagal dieksekusi. Anggaran desa banyak tersedot pada program penanganan Covid dan pemulihan ekonomi masyarakat, misalnya BLT Dana Desa dan penyediaan shelter Covid. Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pun terkena imbasnya. Rencana penyertaan atau penambahan modal ke BUM Desa gagal terlaksana karena refocussing anggaran. Akibatnya rencana bisnis BUM Desa belum sepenuhnya berjalan.
Belum banyak BUM Desa bisa menghimpun modal usaha dari masyarakat. Padahal PP 11 Tahun 2021 tentang BUM Desa pada Pasal 41 menyatakan bahwa penyertaan modal desa dan atau modal dari masyarakat desa dapat dilakukan untuk modal awal pendirian dan atau penambahan modal BUM Desa. Tentu mekanisme keputusannya harus melalui musyawarah desa.
Setidaknya ada dua penyebab mengapa BUM Desa belum menghimpun modal usahanya dari masyarakat. Pertama, keberadaan BUM Desa dan regulasinya belum semua tersosialisasi dengan baik. Selama ini keberadaan BUM Desa seolah hanya milik pemerintah desa, belum banyak masyarakat yang berpartisipasi pada proses bisnisnya. Akibatnya masyarakat merasa berjarak dengan BUM Desa. Jangankan mau menyertakan modal, berpartisipasi pada kegiatan BUM Desa saja masyarakat apatis.
Kedua, masyarakat masih ragu pada bisnis yang dijalankan BUM Desa. Ragu, apakah bisnisnya dikelola secara profesional atau tidak. Ketiadaan studi kelayakan bisnis, rencana bisnis, dan model bisnis semakin menguatkan keraguan masyarakat tersebut. Di tambah lagi, tidak adanya laporan semester atau tahunan dari pengurus sebagai bentuk pertanggungjawaban. Secara tidak langsung ini juga mengindikasikan keraguan masyarakat kepada kinerja Pengurus. Bukan berarti BUM Desa yang sudah lengkap dokumen perencanaannya, otomatis ada penyertaan modal dari masyarakat. Kembali soal pendekatan.
Harusnya keraguan masyarakat itu segera diantisipasi. Bagaimana sosialisasi keberadaan BUM Desa dan regulasinya itu bisa dilakukan dengan berbagai kesempatan. Bisa melalui forum maupun event yang ada di desa. Tak hanya itu, komitmen kuat harus dimiliki pengurus BUM Desa, Kepala Desa dan BPD agar bisa meyakinkan masyarakat mau berinvestasi ke BUM Desa. Dokumen perencanaan bisnis dan laporan pertanggungjawaban harus dilaporkan dengan baik.
Keuntungan
Ada keuntungan ketika BUM Desa bisa menghimpun modal dari masyarakat. Pertama, BUM Desa bisa mendapatkan dana segar untuk penambahan modal usaha. BUM Desa tak sekedar menengadah tangan ke Pemerintah Desa berharap kucuran Dana Desa. Walaupun diperbolehkan secara regulasi, ke depan harus tetap dipikirkan agar BUM Desa lebih mandiri. Tak mungkin juga anggaran desa tiap tahun untuk penambahan modal.
Kedua, menambah motivasi pengurus dalam menjalankan BUM Desa. Ada semacam beban moral dari Pengurus apabila usaha yang sudah mendapatkan modal dari masyarakat mengalami kerugian. Walaupun kerugian bukan berarti akhir segalanya, namun tetap ada rasa 'sungkan' jika tidak ada laba yang dibagi ke masyarakat. Pengurus tentu akan meningkatkan kinerjanya demi performa BUM Desa di hadapan masyarakat.
Ketiga, dukungan penuh dari masyarakat. Dukungan muncul karena ada harapan bahwa BUM Desa bisa memutarkan dana yang diinvestasikan. Ketika laba tentu masyarakat juga bisa ikut merasakannya. Keterlibatan BUM Desa pada berbagai kegiatan di desa menjadi bukti bahwa BUM Desa mendapat dukungan. Ketika ada rapat-rapat di lembaga desa, BUM Desa bisa berpartisipasi pada penyediaan konsumsi. Apalagi kalau bisa berperan pada penyediaan bahan material untuk pembangunan infrastruktur di desa.
Praktik Baik
Praktik baik bisa kita lihat di BUM Desa Kemudo Makmur, Klaten, Jawa Tengah. Pada 2016 sebanyak 1589 Kepala Keluarga (KK) kompak menyertakan uangnya masing-masing Rp 50.000 ke BUM Desa. Total dana terkumpul saat itu sebesar Rp 79.450.000. Dana segar tersebut dimanfaatkan dalam pengembangan unit usaha limbah sampah (termasuk palet kayu).
Dana tersebut telah membantu pengembangan unit usaha, terbukti pada 2020 telah dibagikan laba kepada 1589 KK masing-masing sebesar Rp 400.000. Tidak semua dalam bentuk kas. Uang Rp 250.000 langsung masuk rekening KK dan Rp 150.000, diberikan dalam bentuk voucher belanja di Kama Jaya Mart (toko desa yang dikelola BUM Desa Kemudo).
Bukan besar kecilnya modal masyarakat yang digelontorkan ke BUM Desa. Namun lebih pada kepercayaan masyarakat ke BUM Desa. Penambahan modal bukan menjadikan pengurusnya bersantai ria namun sebaliknya lebih serius dalam menjaga amanah. Dalam pembukuan double entry, penambahan modal saat di jurnal ada pada posisi kredit bukan di debit (kas pada modal). Artinya modal itu harus kembali, bahkan bisa menghasilkan laba.
Di satu sisi, BUM Desa harus berhati- hati. Jangan seolah-olah berkedok masyarakat namun penguasaan modalnya lebih besar penyertaan modal masyarakat daripada penyertaan desa. Dalam Penjelasan PP 11 Tahun 2021, minimal 51% harus dimiliki oleh pemerintah desa. Ini penting agar BUM Desa tidak dikuasai oleh kepentingan pemodal. Masyarakat desa tidak boleh menjadi penonton di rumahnya sendiri.
Tidak hanya penyertaan modal dari masyarakat yang bisa mendukung BUM Desa. Modal sosial yang dimiliki masyarakat menjadi "modal utama" agar bisa tumbuh secara berkelanjutan. Tanpa masyarakat, BUM Desa hanya sekedar bisnis biasa, tak ubahnya seperti usaha lain di desa.
BUM Desa harus sesuai namanya sebagai Badan Usaha Milik Desa. Desa yang mana? Pemerintah desa atau masyarakat desa? Tentu harus keduanya. Desa tidak lepas dari entitas sebagai masyarakat berpemerintahan (Self Governing Community) dan pemerintahan berskala lokal (Local Self Government).
Azsep Kurniawan staf klinik BUM Desa BBPPM Yogyakarta
(mmu/mmu)