Menimbang Rencana Moratorium Ekspor Nikel
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menimbang Rencana Moratorium Ekspor Nikel

Selasa, 14 Des 2021 14:50 WIB
Kristianus Jimy Pratama
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Jokowi
Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Jakarta -
Presiden Joko Widodo secara tegas mengemukakan kesiapan Pemerintah Indonesia untuk menghadapi gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) yaitu pada kasus DS592: Measures Relating to Raw Materials yang menempatkan Uni Eropa sebagai complainant. Kasus DS592 tersebut bermula dari kebijakan Pemerintah Indonesia untuk melarang kegiatan ekspor bijih nikel. Salah satu argumentasi pokok yang kemudian dibangun oleh Pemerintah Indonesia adalah sehubungan dengan hak kedaulatan sebuah negara dalam mengelola sumber daya alamnya.

Sejatinya argumentasi tersebut lahir dari prinsip-prinsip nasionalisme yang bertujuan untuk melindungi kepentingan segenap bangsa. Apabila meninjaunya dari perangkat hukum nasional, ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara memiliki hak untuk mengelola sumber daya alam secara penuh untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu manakala mengemukakan kesiapannya untuk menghadapi kasus DS592 di WTO, Pemerintah Indonesia dalam perspektif hukum nasional telah menunjukkan komitmennya atas pengelolaan sumber daya alam untuk kemaslahatan bangsa.

Namun di sisi lainnya, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat adalah bagian dari masyarakat hukum internasional. Adapun Pemerintah Indonesia pernah menjadi complainant ketika mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di WTO, yaitu pada kasus DS593: Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Hal ini menunjukkan bahwasanya perangkat hukum nasional tidak dapat berdiri dengan menyimpangi perangkat hukum internasional yang ada, salah satunya adalah the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)1947 dan GATT 1949 yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

Salah satu aspek yang perlu dikritisi dari kedua kasus tersebut yaitu kasus DS592 dan kasus DS593 adalah kesamaan pengunaan ketentuan pasal GATT yaitu Pasal XI:1 dan Pasal 3.1 (a) Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yaitu sehubungan dengan tindakan subsidi dan countervailing. Ketentuan-ketentuan ini pula yang digunakan oleh Indonesia sebagai dasar argumentasi terhadap larangan ekspor crude palm oil (CPO) asal Indonesia yang dinyatakan tidak memenuhi standar Uni Eropa perihal wawasan lingkungan hidup. Tetapi justru kini Pemerintah Indonesia digugat dengan ketentuan serupa ketika bersengketa dengan Uni Eropa.

Dalam konsep perdagangan internasional yang dianut oleh GATT, terdapat dua prinsip GATT yang mendasar yaitu prinsip most favored nation (MFN) dan prinsip larangan restriksi kuantitatif. Sehubungan dengan prinsip national treatment, ketentuan Pasal I:1 GATT mengatur bahwa negara anggota GATT dilarang untuk memberikan perlakuan yang berbeda (secara diskriminatif) kepada negara anggota GATT lainnya.

Meskipun Uni Eropa dalam kasus DS592 tidak mengajukan gugatan atas dasar dalil prinsip MFN, Pemerintah Indonesia harus mencermati kebijakan pembangunan smelter yang dikelola oleh investor asing. Hal ini dikarenakan besar kemungkinannya bagi pihak investor asing mendapatkan pendanaan dari dana pemerintah negara asalnya. Adapun model investasi tersebut berpotensi untuk digunakan oleh negara anggota GATT untuk dapat menyimpangi prinsip MFN secara terselubung. Apabila kemudian model investasi seperti ini terjadi, maka negara anggota GATT yang menerapkan model investasi tersebut akan mendapatkan subsidi dari Pemerintah.

Hal tersebut tentu akan menciderai hak negara anggota GATT lainnya untuk mendapatkan subsidi yang sama. Terlebih apabila Pemerintah Indonesia tidak menjelaskan alasan keamanan nasional dan pengecualian umum yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal XX dan Pasal XXI GATT. Bukan tidak mungkin, hal tersebut dapat digugat kembali tidak hanya oleh Uni Eropa melainkan negara anggota GATT yang mengalami kerugian akibat hal tersebut.

Selain itu, prinsip larangan restriksi kuantitatif yang diatur dalam ketentuan Pasal XI:1 GATT yang didalilkan oleh Uni Eropa berpotensi dilanggar dikarenakan Pemerintah Indonesia menerapkan sebuah kebijakan yang tergolong sebagai non tariff barriers (NTB) dengan menghapuskan kuota ekspor bagi negara anggota GATT. Terlebih ketika yang didalilkan adalah mengenai kedaulatan negara atas sumber daya alam, tentu hal ini tidak sejalan dengan ketentuan XX GATT mengenai pengecualian umum.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga belum menunjukkan upaya konservasi sumber daya alam yang dalam hal ini adalah bijih nikel atas pelaku dalam negeri secara cukup dan cenderung melakukan tindakan yang bertendensi monopolistik di pasar bijih nikel dunia. Adapun Pemerintah Indonesia juga perlu mencermati bahwa pembatasan ekspor hanya dapat dilakukan untuk sumber daya alam berupa emas dan perak. Sehingga gugatan Uni Eropa atas Indonesia di WTO (DS-593) perlu untuk dicermati secara serius dibandingkan sebatas mempertahankan argumentasi kedaulatan negara yang bersandar pada perangkat hukum nasional.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu untuk mempertimbangkan kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel sesuai dengan ketentuan GATT. Adapun setidaknya terdapat dua hal yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam melindungi akses dan pengelolaan bijih nikel dalam negeri terhadap perilaku pasar. Pertama, Pemerintah Indonesia dapat memodifikasi kebijakan yang ada yaitu dengan memberikan kenaikan tarif atas bea eskpor bijih nikel kepada seluruh negara anggota GATT. Hal ini sejalan dengan ketentuan XI:1 GATT dan memberikan peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan restriksi perilaku ekspor secara wajar.

Langkah kedua yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan tidak menyimpangi prinsip national treatment yaitu tidak memberikan perlakuan yang tidak lebih baik kepada pemilik modal dan pelaku pembangunan smelter dalam negeri dibandingkan pelaku asing yang hendak melakukan impor bijih nikel ke wilayah negaranya.

Perlakuan tidak lebih baik yang dimaksud adalah bahwa Pemerintah Indonesia menjamin bahwa pemberian subsidi tidak akan menurunkan produk sejenis dari negara anggota GATT yang masuk ke wilayah Indonesia secara signifikan. Sehingga kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel seyogianya ditimbang ulang kembali oleh Pemerintah Indonesia agar sesuai dengan tidak hanya pada perangkat hukum nasional melainkan patuh terhadap perangkat hukum internasional itu sendiri.

Kristianus Jimy Pratama
mahasiswa Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, peneliti We Make Change Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads