Mendorong Pembelajaran Tatap Muka Penuh
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mendorong Pembelajaran Tatap Muka Penuh

Selasa, 14 Des 2021 11:28 WIB
Hermanto Purba
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Suasana belajar di kelas sebelum pandemi Covid-19 (Foto: koleksi pribadi)
Jakarta -

Secara berangsur, sekolah-sekolah telah melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Belum normal seperti sediakala. Namun setidaknya, sekolah kembali menggeliat. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hingga akhir Oktober 2021, sebanyak tujuh puluh persen sekolah di Indonesia telah menggelar pembelajaran di kelas dengan jumlah murid yang masih dibatasi.

Satu hal yang cukup menggembirakan. PTM terbatas setidaknya dapat mengurangi potensi learning loss akibat pembelajaran yang selama lebih dari satu setengah tahun terakhir dilaksanakan secara daring. Sebab mayoritas sekolah belum siap dengan sistem belajar online. Hanya sekitar tiga puluh persen sekolah saja yang tidak menemukan kendala berarti. Selebihnya, masih benar-benar gagap dengan cara belajar jarak jauh itu.

Di tengah pelaksanaan pembelajaran tatap muka yang masih membatasi jumlah murid serta durasi belajar selama beberapa bulan terakhir, ada sebagian kecil sekolah yang menerapkan blended learning system, sebuah sistem pembelajaran yang memadukan model daring dan luring. Dengan sistem itu, anak-anak tetap dapat belajar sekalipun mereka tidak hadir di sekolah karena pembatasan-pembatasan tadi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tetapi bagaimana dengan sekolah-sekolah yang tidak menerapkan sistem pembelajaran campuran? Kemunduran kualitas proses pembelajaran tetap saja terjadi. Sejatinya, bukan tidak bersedia melaksanakannya. Namun ada alasan pelik di balik itu. Selain masalah sinyal internet yang masih buruk, kemampuan sebagian guru untuk mengoperasikan perangkat-perangkat pembelajaran digital juga menjadi kendala.

Berdasarkan pengalaman saya, sebagai seorang guru yang selama PTM terbatas tidak menerapkan blended learning system, ada perlambatan pencapaian tujuan pembelajaran hingga lebih dari lima puluh persen. Bukan tanpa alasan memang. Dalam seminggu, setiap murid hanya belajar tiga hari di sekolah. Selebihnya, belajar mandiri di rumah. Durasi belajar yang hanya tiga puluh menit per jam pelajaran juga menjadi penyebab perlambatan tadi.

ADVERTISEMENT

Masalah perlambatan pencapaian tujuan pembelajaran bukan satu-satunya masalah yang muncul dari penerapan PTM terbatas. Ada persoalan lain yang menyangkut kejiwaan anak-anak. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, saya menemukan banyak murid yang seperti beradaptasi kembali dengan lingkungan sekolah dan proses belajar-mengajar di kelas. Persis seperti murid baru. Dan proses adaptasi itu berlangsung cukup lama.

Keintiman yang dulu terjalin antara guru dengan murid, serta antara murid dengan murid, seperti hilang oleh pandemi. Kami, guru, mengalami kesulitan membangun kembali interaksi dan komunikasi dengan murid. Ada pergeseran pola komunikasi murid sebelum dan sesudah pandemi. Pola pikir anak juga berubah selama belajar jarak jauh. Mereka menjadi cenderung individualis. Tidak acuh. Dan kurang bersosialisasi dengan sesamanya.

Rasa-rasanya, roh murid-murid itu seakan-akan tercerabut dari tubuh mereka. "Penyakit" itu menjadi masalah tersendiri bagi guru. Memberi pembelajaran tanpa mengobatinya terlebih dahulu, hanyalah sebuah kesia-siaan. Ini bukanlah masalah remeh. Karena menyangkut masalah psikis anak yang butuh sentuhan dan penanganan khusus. Yang terganggu bukan hanya lahir mereka saja tetapi juga batinnya.

Saya menduga, kebiasaan "bersahabat" dengan gadget selama pandemi menjadi salah satu penyebabnya. Sangat masuk akal memang. Durasi bersentuhan dengan gadget yang selama ini dibatasi, tapi selama pelaksanaan pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi Covid, justru harus berinteraksi dengannya secara intens. Sementara mereka belum sepenuhnya mampu memfilter aplikasi mana yang baik dan tidak baik bagi mereka.

Minimnya kontrol orang tua terhadap sebagian anak kian memperparah keadaan tersebut. Tak menunggu lama, pola pikir anak berubah. Belajar tidak lagi sebagai yang utama. Mereka terjebak dalam kenikmatan berbagai fitur dan aplikasi yang terinstal di layar ponsel mereka. Sehingga ketika PTM terbatas dilaksanakan dan mereka tidak lagi belajar secara virtual, ada keterkejutan dalam diri mereka. Dunia sekolah seakan jadi sesuatu yang asing bagi mereka.

Melihat beberapa persoalan yang muncul selama PTM terbatas, jalan keluar terbaik harus segera ditemukan. Anak-anak yang terserang sindrom kecanduan gadget itu harus diselamatkan. Mereka adalah anak-anak yang oleh pemerintah digadang-gadang sebagai generasi emas 2045 yang nantinya akan menjadi kekuatan utama untuk membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, maju, jaya, dan bermartabat.

Ada beberapa solusi yang mungkin segera dapat dilaksanakan. Salah satunya adalah peningkatan kualitas sinyal internet di seluruh pelosok negeri serta pelaksanaan pelatihan peningkatan kualitas guru agar melek teknologi, informasi, dan komunikasi. Sehingga sistem belajar campuran yang telah diterapkan di sebagian kecil sekolah, khususnya di sekolah-sekolah di perkotaan, dapat dilaksanakan secara merata di seluruh Indonesia.

Namun hal itu butuh waktu lama. Bahkan bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun. Sementara masalah yang muncul sekarang butuh solusi yang urgen. Saya berpendapat, melaksanakan pembelajaran tatap muka secara penuh dapat menjadi salah satu cara terbaik dan tercepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul pada PTM terbatas. Apa korelasinya PTM secara penuh dengan peningkatan kualitas kognitif dan afektif murid?

Dengan belajar tatap muka penuh, sekolah akan lebih leluasa "menggembleng" murid-muridnya. Aturan-aturan sekolah akan lebih mudah diterapkan karena murid tidak lagi hadir secara bergelombang di sekolah. Pembatasan jumlah murid selama ini secara tidak langsung juga membatasi peran sekolah melaksanakan tugasnya untuk menuntun dan menumbuhkan kodrat alamiah anak serta untuk menciptakan anak-anak yang berbudi pekerti.

Dengan pelaksanaan belajar tatap muka penuh, anak-anak diharapkan akan semakin terbiasa dengan kehidupan sekolah. Sebuah kehidupan yang selama berbulan-bulan mereka tinggalkan. Pada awal-awal mereka "dirumahkan", mereka masih merindukan suasana sekolah. Suara-suara ingin belajar di kelas masih ramai terdengar. Namun lama-kelamaan, rasa rindu itu kian terkikis. Mereka jadi betah berinteraksi secara maya.

Dengan hadir secara bersama-sama di sekolah, proses sosialisasi dengan teman-temannya, dengan guru-gurunya, dan dengan seluruh warga sekolah akan berlangsung lebih intensif. Secara lambat laun, perasaan anak-anak akan kembali tergugah. Bahwa ada sebuah kehidupan yang kepadanya mereka harus kembali. Bukan hanya sekedar belajar ilmu dan pengetahuan. Tetapi lebih dari itu: belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesamanya.

Mungkin PTM secara penuh tidak dapat dilaksanakan secara bersamaan di seluruh sekolah berhubung pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir. Tetapi melihat tren penurunan kasus positif Covid selama beberapa bulan terakhir, memberi sebuah harapan baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Belajar tatap muka penuh dapat segera terlaksana. Semester depan, mungkin. Tentu dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Jika memang tidak memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan secara nasional, di daerah-daerah yang saat ini berada di zona hijau (level 1), bisa diuji coba untuk melaksanakan PTM penuh dengan menerapkan aturan yang ketat tentunya. Sekolah-sekolah yang selama pandemi proses belajar daringnya cukup terkendala, pada umumnya berada di daerah-daerah pedesaan, yang saat ini masuk dalam kategori zona hijau.

Pelaksanaan PTM penuh di sekolah-sekolah di daerah zona hijau nantinya dapat dijadikan semacam pilot project oleh pemerintah. Jika pelaksanaannya berhasil, tanpa ada penularan virus corona secara signifikan di sekolah, atau tidak menimbulkan kluster penyebaran Covid-19 yang baru, misalnya, maka secara bertahap, PTM penuh dapat dilaksanakan di daerah-daerah kategori zona kuning (level 2).

Sebab apa pun ceritanya, saat ini, belajar secara tatap muka di sekolah masih menjadi cara terbaik untuk mengajar dan mendidik anak. Sebagian besar orang tua juga masih percaya, bahwa sekolah merupakan tempat terbaik untuk membimbing anak-anak mereka menjadi anak-anak yang lebih mandiri, berkarakter, memiliki sifat kesosialan, dan tempat untuk memperoleh ilmu yang akan menjadi bekal mereka kelak.

Hermanto Purba guru di SMP N 2 Pakkat, Humbang Hasundutan

(mmu/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads