Kolom

China Mengatasi Pandemi

Imron Rosyadi Hamid - detikNews
Jumat, 10 Des 2021 11:33 WIB
Rektor Unira Malang & Rois Syuriyah PCINU Tiongkok, Imron Rosyadi Hamid (Foto: China Media Group)
Jakarta -

Tahun lalu, majalah 'Foreign Affairs' mengangkat topik menarik yakni 'The World After The Pandemic' dengan menampilkan tulisan Francis Fukuyama berjudul 'The Pandemic and The Political Order'. Penulis buku laris 'The End of History and The Last Man' (1992) ini membandingkan penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah negara-negara di dunia, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.

Adapun kesimpulan dari penulis tersebut adalah distribusi kekuatan global akan terus bergeser ke Timur dan Asia telah melakukan penanganan pandemi COVID-19 secara lebih baik. Pakar Politik Internasional dari Stanford University ini juga terang-terangan mengatakan, meskipun COVID-19 muncul dan berasal dari China, tetapi Beijing secara impresif telah mampu mengendalikan situasi dan bergerak pada tantangan berikutnya, yaitu memulai kembali percepatan pembangunan ekonominya secara berkelanjutan (2020:28).

Data terbaru menunjukkan, sejak munculnya COVID-19 China mencatat kurang dari 100 ribu kasus dengan jumlah kematian kurang dari 4,7 ribu jiwa. Masyarakat China yang sudah divaksinasi penuh (fully vaccinated) sebesar 1,11 miliar jiwa atau sekitar 79,2 persen.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki penduduk kurang dari seperempat negeri tirai bambu, kini memiliki total kasus COVID-19 sebesar 49 juta dengan korban meninggal dunia sebesar 787 ribu jiwa. Penduduk Amerika yang telah divaksinasi penuh baru sekitar 59,7 persen, capaian ini masih di bawah Jepang (77,5 persen), Italia (74,1 persen), Inggris (69,1 persen), Jerman (68,9 persen), Brasil (64,2 persen), dan bahkan Thailand (59,8 persen).

Menurut Fukuyama (2020:26), perbedaan capaian penanganan pandemi COVID-19 di berbagai negara dipengaruhi oleh tiga faktor utama, antara lain kapasitas negara (state capacity), kepercayaan sosial (social trust), dan kepemimpinan (leadership). Artinya, negara dengan aparatur yang kompeten, pemerintahan yang suaranya didengar rakyat, dan kepemimpinan yang efektif akan mampu mengatasi persoalan pandemi dengan baik.

Sebaliknya, negara dengan aparatur yang tak berfungsi (disfunctional apparatus), rakyat yang terpolarisasi, dan kepemimpinan yang lemah akan semakin memperburuk dampak pandemi.

Respons Kedaruratan Cepat dan Terintegrasi

Ketika awal ditemukannya novel coronavirus akhir Desember 2019 hingga ditetapkannya lockdown total di Wuhan pada 24 Januari 2020, China telah melakukan respons kedaruratan secara cepat dan terintegrasi. Salah satunya dengan membangun rumah sakit khusus COVID-19 Huoshenshan di Wuhan sebagai upaya melokalisir penyebaran virus mematikan ini ke pasien non-COVID.

Tenaga medis dari berbagai penjuru seluruh negeri China berangkat ke Wuhan untuk mengatasi pandemi (Foto: China Media Group)

Rumah sakit seluas 33.900 meter persegi dengan kapasitas 1.000 tempat tidur dan dilengkapi fasilitas jaringan 3G,4G, dan 5G ini dibangun hanya dalam waktu 10 hari dengan menggunakan bangunan rakitan dilengkapi teknologi BIM (building information modeling) yang canggih dan mempekerjakan 1.400 tenaga konstruksi selama 24 jam non stop.

Tidak hanya itu saja, menjelang pengoperasiannya di awal Februari 2020, ada 10.000 sukarelawan dari seluruh China bahu membahu melakukan penataan (installment) ruang perawatan yang dilengkapi dengan fasilitas canggih untuk para pasien. Pada bulan Maret 2020, China bisa mengendalikan penyebaran COVID 19 secara efektif dan upaya penyembuhan pasien dan munculnya kasus baru bisa diturunkan secara signifikan. Direktur Jenderal WHO, Tedros

Adhanom Ghebreyesus pernah menyebut upaya mobilisasi yang dilakukan pemerintah China dalam melawan COVID-19 ini sebagai hal yang belum pernah dia lihat sepanjang hidupnya.

Kerja Sama Internasional Menghadapi Pandemi

Tidak di dalam negeri saja, China juga membangun kerja sama dengan komunitas kesehatan global dengan melakukan pertukaran informasi terkait penanganan virus dan kerja sama Internasional serta menyerukan solidaritas dunia memerangi pandemi.

China mengirim tim pakar medis ke Filipina untuk membantu mengatasi pandemi (Foto: China Media Group)

Callahan pernah menulis sebuah buku berjudul 'China Dream' (2013) dan menyebut bahwa masyarakat China kini memasuki era Taiping Shengshi atau era perdamaian dan kesejahteraan, baik domestik maupun internasional.

Sebagai kekuatan global, pendekatan Taiping Shengshi ini tengah dijalankan Beijing dalam rangka penanganan pandemi COVID-19. Baik dengan melakukan penambahan bantuan keuangan ke lembaga kesehatan dunia (WHO), maupun dengan peningkatan kerja sama bilateral di bidang kesehatan dengan negara-negara di berbagai kawasan.

Dalam Global Health Summit pertengahan tahun ini, Presiden China Xi Jinping menekankan isu solidaritas dan kerja sama internasional untuk menghadapi pandemi. Menurutnya, upaya melakukan manipulasi politik, pemberian label, ataupun stigmatisasi atas asal virus tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan justru akan mengganggu upaya masyarakat dunia dalam membangun komunitas kesehatan global. Sikap saling menyalahkan justru akan membawa kerugian yang lebih besar bagi upaya penyelamatan orang-orang di seluruh dunia dari ancaman pandemi.

Salah satu kerja sama dan kolaborasi yang dilakukan China dalam penanganan pandemi COVID-19 ini adalah bantuan peralatan medis dan pengadaan vaksin, termasuk dalam mengantisipasi munculnya varian-varian baru. Pidato Xi Jinping ini dinilai sebagai reaksi atas pernyataan beberapa pemimpin Barat yang secara peyoratif menyebut China sebagai sumber dari munculnya pandemi global.

Tantangan Baru

Masyarakat dunia saat ini tengah menghadapi munculnya varian-varian baru COVID-19, seperti Gamma, Delta, dan kini Omicron, di tengah upaya penanganan COVID jenis awal yang belum tuntas. Sampai saat ini, penanganan COVID-19 di seluruh dunia masih jauh dari paripurna. Hampir setiap hari terjadi kenaikan kasus baru yang jumlahnya ratusan ribu.

Pengiriman bantuan vaksin Sinovac dari Pemerintah China ke luar negeri (Foto: China Media Group)

Data WHO (World Health Organization) menunjukkan, total jumlah kasus COVID-19 seluruh dunia mencapai angka lebih dari 265 juta dengan kematian sekitar 5,24 juta jiwa. Jumlah vaksin dari berbagai jenis di seluruh dunia yang telah disuntikkan mencapai angka lebih dari 7,86 miliar dosis. Dari 168 juta dosis vaksin yang ada di Indonesia, 53 juta lebih di antaranya merupakan vaksin Coronavac produksi Sinovac China yang juga menjadi vaksin pertama yang disuntikkan di Indonesia.

Indonesia kini menjadi negara di urutan keenam dunia setelah China, India, Amerika Serikat, Brasil, dan Jepang dalam program vaksinasi COVID-19. Kerja sama dan kolaborasi internasional dalam menghadapi munculnya varian-varian baru COVID-19 juga harus terus didorong agar potensi hilangnya generasi (losing generation) di seluruh dunia tidak semakin bertambah. Kolaborasi dan kerja sama antar negara melawan pandemi adalah harga mati. Wallahu a'lam bisshawab.

Imron Rosyadi Hamid, Rektor Unira Malang, Rois Syuriyah PCINU Tiongkok 2017-2021




(Content Promotion/Sino Fintech)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork